Ayah adalah seorang pengrajin, tidak memiliki rumah dan harus tinggal berpindah-pindah tempat, membuat kondisi sangat memprihatinkan. Ini adalah tempat yang ke-4 yang ditinggali keluarga kami, tanah yang menumpang dengan rumah papan. Kondisi perekonomian yang sulit membuat Bapak menerima tawaran dari Saudara Ibu untuk bekerja jauh meninggalkan kami. Hari-hari yang kami lalui meski banyak kekurangan tidak menjadikan kami putus asa. Sudah sekitar sebulan Bapak pergi bekerja demi untuk kelangsungan hidup keluarga.
"Nang makanlah ini, adanya cuman ini. Kita belum bisa kebeli beras, adanya singkong jadi Mamak buat Nasi Tiwol". Mamak menjelaskan kepada ke-4 Anaknya prihal kondisi yang terjadi. Si Sanjay hanya menangis melihat suguhan butir Nasi Tiwol berwarna merah. Berbeda dengan ke-3 saudaranya yang cuek dan menyukai Nasi Tiwo. "Aku ga mau Mak, makan nasi warna hitam gitu, hu...hu...hu...Aku ga mau makan". Tangis Sanjay tanpa peduli dengan ke-3 saudaranya. "Terus mau makan apa? mau pinjam uang kemana untuk beli beras, kondisi paceklik begini. Adanya ini, ini juga enak kok." Mamak tepat membujuk Sanjay untuk memakan Nasi Tiwol tersebut.
"Aku, makan singkong rebus aja Mak, ga mau makan itu." Sela Sanjay kepada Mamak. Sausan terbiasa dengan rengek kakak lelakinya, yang bener-bener tidak mau makan Nasi Tiwul. Sausan dan lainnya tetap menikmati hidangan ternikmat buatan Mamak. Bapak pun belum ada kabar, waktu itu keluarga tidak memiliki alat komunikasi, jadi benar-benar tidak tahu kapan Bapak pulang. Kami sekeluarga menumpang di tanah tetangga yang cukup luas, selain rumah kami yang tertancap di atas tanah itu Mamak dan Kakak-kakak memanfaatkan tanah dengan menanam tanaman berupa Singkong, Labu, cabe, kates dan tanaman lain yang bisa dimanfaatkan untuk makan sehari-hari. Bahkan Mamak memelihara ayam, sesekali ayam dijual untuk beli beras dan tentunya lauk makan. Sehari-hari meski nasinya tiwul atau singkong rebus Mamak menyembelihkan ayam untuk lauk makan.
Bapak pulang dimalam hari ketika kami tertidur, hal yang sangat menyenangkan ketika Bapak pulang. Ternyata Bapak pulang betul-betul dengan tangan kosong. Hasil kerja selama di rantauan tidak ada hasil. Bapak hanya pulang dengan cukup ongkos naik kereta api dan makan dijalan. Ternyata bekerja hanya bekerja, tenaga terbuang waktu terbuang, kerja Bapak tanpa dibayar. Alasan belum punya uang cukup untuk bayar Bapak. Tragis ketika kerja ikut dengan Saudara.
Dan yang buat Bapak merasa nelongso, oleh-oleh yang tertinggal di becak yang dikendarai Bapak. Kondisi malam dan lelah tidak memungkinkan untuk mengejar becak yang mungkin sudah jauh pergi.
"Biarlah Pak, nanti anak-anak dibuatkan makanan dari Singkong dan Labu, mereka sudah senang. Mau gimana lagi Kalau saudara tega sama kita yang sudah susah begini. Mending ga usah kemana-mana, nanti Mamak yang keliling siapa tahu ada yang mau benerin pekakas dapur." Penantian Mamak atas kepergian Bapak tidak membuahkan hasil, padahal harapan dari kepulangan Bapak bisa untuk bayar SPP Kakak.