Tenggelam

Tubuh Haruna menggelosor masuk ke dalam bak mandi dan tenggelam.

"Dia tidak akan berbuat macam-macam di kamar mandi, kan?" gumam Tristan. Karena merasa khawatir, Tristan masuk ke dalam kamar mandi yang tidak dikunci oleh Haruna. Tristan seketika panik saat melihat Haruna tenggelam di bak mandi. Tristan segera mengeluarkan Haruna dari bak mandi dan membaringkannya di lantai kamar mandi. Tristan melakukan CPR dengan wajah ketakutan. Pertama kali dalam hidup Tristan, dirinya merasa ketakutan. Selama ini, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya takut. Namun, saat ini dia merasa takut, panik, khawatir.

Berkali-kali Tristan melakukan CPR pada Haruna, membantu memberikan napas buatan dari mulut ke mulut, tetapi sudah tiga kali masih belum ada reaksi apapun dari Haruna. Setelah delapan kali, barulah Haruna sadar dan terbatuk sambil memuntahkan air yang masuk ke dalam tubuhnya.

"Uhukk uhuukk." 

"Haruna, syukurlah kau sadar," ucap Tristan. Ia membantu Haruna bangun agar duduk dan mengeluarkan air yang tertelan saat tenggelam tadi. Tristan memeluk Haruna dengan erat, ada rasa lega dalam hati Tristan. Ia sangat bahagia saat Haruna sadar.

"Lepaskan aku!" ucap Haruna sambil mendorong Tristan. Haruna bangun dan memakai handuk kimononya. Ia melangkah keluar dengan lemah, di depan pintu kamar mandi Haruna kembali terkulai tidak sadarkan diri. 

Untung saja Tristan menangkap tubuh Haruna tepat waktu, jika tidak, mungkin kepala Haruna membentur tepian tiang pintu. Tristan menggendong Haruna dan membaringkannya di tempat tidur. Tristan menelpon Dokter pribadi keluarga untuk memeriksa keadaan Haruna. Ia memakai piyama tidur dan membuka pintu saat mendengar bunyi bel.

Ceklek!

"Kau kelihatan baik-baik saja. Ada apa memanggilku tengah malam seperti ini?" ucap Dokter Budi. Dokter Budi adalah Dokter pribadi keluarga Izham. Dokter Budi juga merupakan paman dari Tristan, usianya saat ini sudah menginjak kepala empat. 

"Bukan aku yang sakit, tapi … ah, ikut saja!" Tristan melangkah lebih dulu dan membawa Dokter Budi ke kamar Haruna. "Tolong periksa dia! Dia tenggelam di bak mandi. Aku sudah melakukan CPR dan dia sudah memuntahkan air yang masuk. Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Tristan dengan cemas.

Budi melihat wajah Tristan dengan heran. Tidak biasanya Tristan terlihat cemas dan ketakutan seperti saat ini. Budi memeriksa keadaan Haruna dan memberikan resep pada Tristan.

"Ini resep obat untuk Nona ini. Dia baik-baik saja. Sepertinya air yang masuk juga tidak terlalu banyak, mungkin dia baru tenggelam dan kau menyelamatkannya tepat waktu."

"Hah. Untung saja tidak terlambat," gumam Tristan sambil mengembuskan napas lega.

"Siapa gadis ini? Dia pasti bukan wanita nakal yang biasa kamu sewa, kan?"

"Dia, Haruna. Asal-usulnya, Paman tidak perlu tahu. Yang jelas, dia bukan wanita seperti yang Paman pikirkan," jawab Tristan. 

"Apa dia kekasihmu? Kalau iya, segera menikah saja! Kau sudah berusia dua puluh lima tahun. Kau mau Chris terus menunggumu menikah lebih dulu. Kalau kau sudah menikah, baru dia mau menikah?" 

"Siapa yang menyuruh kakak menungguku. Kalau dia mau menikah, ya menikah saja lebih dulu."

Budi hanya menggeleng pelan. Seluruh keluarga Izham tahu apa alasan Christian belum mau berumahtangga. Christian sangat menyayangi adiknya, Tristan. Christian hanya mau menikah jika Tristan sudah menikah. Namun, sampai saat ini Tristan masih saja bermain-main dengan para perempuan malam. Semua Tristan lakukan untuk mengalihkan rasa sakit hatinya, setelah lamarannya ditolak oleh Stevi. 

"Aku pergi! Hah, tubuh rentaku ini sudah tidak sanggup bekerja lembur. Sepertinya sudah saatnya aku pensiun," ucap Budi menggoda Tristan.

"Maaf. Paman puas sekarang?" tanya Tristan dengan wajah cemberut.

Budi tersenyum melihat keponakannya. Tristan mengantar Budi sampai pintu depan dan membukakan pintu mobil untuk pamannya. Budi menepuk pundak Tristan lalu masuk ke dalam mobil. Mobil Budi melaju pergi meninggalkan halaman rumah Tristan. Budi sempat melihat sekeliling. Ia tidak menemukan orang lain selain Tristan dan Haruna yang terbaring di ranjang. Padahal biasanya di rumah Tristan banyak pelayan dan para penjaga. 

Setelah mobil pamannya tidak terlihat, Tristan kembali ke dalam rumah dan mengambil jaket di dalam lemari di kamarnya. Tristan masuk ke kamar Haruna dan berpamitan pada Haruna yang tertidur. "Aku pergi membeli obat dulu," ucap Tristan lalu ia mengecup kening Haruna dengan lembut. Tristan pergi dengan mobil hitamnya. Ia mencari apotek yang buka 24 jam untuk menebus resep obat dari Budi. Setelah mendapatkan obat yang dicari, Tristan segera kembali ke rumah.

Saat Tristan datang, Haruna sudah bangun dan duduk bersandar di ranjang. Pandangannya menatap kosong ke arah cermin. Melihat pantulan dirinya di cermin, Haruna merasa jijik melihat dirinya sendiri yang sudah tidak suci lagi. Kembali air mata Haruna menetes, ia menangis tanpa suara. Betapa malang nasibnya yang harus kehilangan harga diri karena pria yang sangat arogan dan dingin seperti Tristan.

"Kau sudah bangun? Makan buburnya dan minum obat," ucap Tristan. Ia memasak bubur untuk Haruna dan membawa semangkuk bubur itu ke kamar. Tristan juga membawakan obat dan air minum untuk Haruna.

"Aku tidak mau." Haruna menjawab dengan ketus tanpa melihat ke arah Tristan. 

"Ini aku masak sendiri buburnya, makanlah!" 

"Aku bilang, aku tidak mau!" 

Prang!

Haruna menepis bubur di tangan Tristan hingga terjatuh dan mangkuk itu pecah berantakan. Tristan meradang dan mengambil obat dari wadahnya.

"Baiklah, kalau tidak makan, tidak apa-apa. Tapi kau harus meminum obatnya!"

"Aku tidak mau!" teriak Haruna.

Tristan memasukkan obat itu ke dalam mulutnya dan meminumkannya pada Haruna langsung dari mulutnya.

"Uhukk uhuukk. Brengsek!" maki Haruna. Ia mengusap bibirnya dengan kasar.

Tristan meminumkan obat itu dari mulut ke mulut. Ia lalu membersihkan bubur dan pecahan mangkuk yang berserakan di lantai. Tristan kembali ke dalam kamarnya setelah membersihkan kamar Haruna. Tristan melemparkan tubuhnya ke ranjang dan berbaring menatap langit-langit kamarnya. Ia meremas rambutnya dengan kuat. Ia benar-benar bingung mengartikan perasaannya. Jika niatnya membalas dendam seharusnya ia merasa senang karena telah berhasil menghancurkan Haruna. Namun, melihat Haruna sekarang, hati Tristan menjadi tidak senang. Ia tidak pernah menyangka kalau ia akan ketakutan karena seorang Haruna.

Haruna telah tertidur setelah Tristan pergi dari kamarnya. Gurat kesedihan tergambar jelas di wajahnya, sekalipun ia sedang tertidur. Sisa air mata pun telah mengering, membentuk garis transparan di kedua pipinya. Hati dan tubuh Haruna sangat lelah malam ini. Hari-hari indah yang selama ini dilaluinya, kini telah berganti dengan kemalangan. Biarkan malam ini berlalu dengan mimpi indah. Esok, entah hari-hari seperti apa yang akan dilaluinya. Ia hanya ingin melupakan kejadian tadi untuk sementara dengan menenggelamkan diri di alam mimpi.