Tongkat ajaib Tristan

Suara dering ponsel membangunkan Tristan yang baru saja terlelap. Ia duduk di tepi ranjang dan mengambil ponsel yang diletakan di nakas. Dahinya mengernyit melihat nama si penelepon. Ia menaruh ponselnya kembali dan tidak mau menerima panggilan itu.

Namun, ponsel itu terus berbunyi, membuat Tristan sangat kesal dan terpaksa menjawab panggilan telepon itu.

"Halo, mau apa kamu?" sapa Tristan dengan nada dingin penuh tekanan di setiap nada bicaranya.

"Sayang, kamu kenapa sih? Masih marah sama aku?" tanya Stevi dengan manja dari seberang telepon.

Ya, panggilan telepon yang membuat Tristan marah itu adalah telepon dari Stevi. Tristan hanya mendecih mendengar kata-kata lembut dari bibir Stevi. Tristan menjawab setelah beberapa kali menghela napas berat. Ia berusaha menahan emosinya saat kata sayang itu keluar. Dulu ia sangat menyukai panggilan sayang dari Stevi, tapi kini berbeda. Hati Tristan yang telah terluka itu kini menjadi benci mendengarnya.

"Stevi Amanda Sari, apa kau pikir … kau pantas menanyakan hal menjijikan itu sekarang? Kau bukanlah orang yang tepat, sehingga aku akan marah padamu. Bagiku, kau … tidak pernah ada. Jangan terlalu percaya diri untuk memanggilku dengan panggilan menggelikan seperti itu," ucap Tristan dengan senyum menyeringai.

"Aku tahu kamu masih marah. Aku tidak akan menyerah untuk mengejarmu kembali, Sayang. Sampai jumpa, siang nanti," ucap Stevi mengakhiri panggilan suara itu.

Praang!

Tristan membanting ponselnya ke lantai sampai hancur berantakan. Amarahnya memuncak mendengar Stevi dengan tanpa rasa bersalah memanggilnya dengan panggilan sayang seperti lima tahun yang lalu. Stevi juga mengatakan ingin mengejar Tristan tanpa rasa malu. 

"Bu Sin!" panggil Tristan dengan teriakan yang membuat suaranya terdengar sampai ke seluruh ruangan.

Sinta yang sedang menyiapkan sarapan di ruang makan itu pun dapat mendengarnya dengan jelas.

"Yul, kamu lanjutkan menata makanan di meja," perintah Sinta pada Yuli.

"Baik, Senior Sin," jawab Yuli.

Sinta pun segera berlari menuju kamar Tristan.

Suara benda pecah dan teriakan Tristan itu juga membangunkan Haruna dari mimpi indahnya. Hanya dalam mimpi ia dapat bertemu keluarganya dan kini mimpi itu buyar karena teriakan Tristan.

"Dasar kakek darah tinggi. Masih pagi sudah teriak-teriak," cibir Haruna. Dengan malas Haruna terpaksa bangun dan melangkah ke kamar mandi. Ia menatap pantulan tubuhnya di cermin besar yang menempel di dinding kamar mandi. Haruna melihat luka memar di lehernya. Luka bekas cekikan Stevi kemarin sore itu terlihat memudar setelah Tristan mengobatinya dengan salep. Entah salep apa yang dioleskan oleh Tristan. Haruna mengingat kembali saat jari Tristan mengoleskan obat, jari itu bergerak pelan dan hati-hati sekali. Seakan takut Haruna merasa kesakitan jika Tristan mengolesnya terlalu kuat.

"Dia pasti sedang mabuk, mana mungkin dia melakukannya kalau tidak mabuk, ya gila," gumam Haruna. Ia pun masuk ke dalam bak mandi yang sudah terisi penuh dengan air dingin. Haruna tidak suka mandi air hangat karena tidak terasa segar, setelah mandi malah terasa panas dan membuatnya berkeringat. Ia berendam dalam air yang sudah dicampur dengan esens bunga melati.

Sedangkan Tristan masih duduk di tepi ranjang di dalam kamarnya.

"Suruh Levi membelikan ponsel dan nomor baru untuk saya. Bilang juga padanya, jangan lama-lama," ucap Tristan.  

"Baik, Tuan," jawab Sinta sambil memunguti pecahan ponsel yang berserakan.

"Dia, apa dia sudah bangun?" 

"Maksud, Tuan, Nona Haruna? Apa Tuan, sangat menyukai Nona Haruna?" tanya Sinta untuk meyakinkan.

"Apa Ibu sudah sangat tua sampai begitu lamban mengerti pertanyaan saya?" Tristan menatap Sinta dengan kesal. Ia tidak mungkin menjawab pertanyaan Sinta dengan jujur. Menjawab pertanyaan di dalam hatinya saja, Tristan masih belum bisa. 

Sinta hanya tersenyum dengan kemarahan Tristan. Ia tidak pernah menganggap serius setiap ucapan Tristan, karena Sinta sudah tahu sifat dan kepribadian majikannya itu seperti apa.

"Nona belum bangun. Saya akan membangunkannya sekarang," ucap Sinta.

"Tidak perlu. Aku yang akan membangunkannya. Ibu lanjutkan saja pekerjaan, Ibu," ucap Tristan.

Sinta pun hanya mengangguk sebelum keluar dari kamar Tristan.

Tristan membasuh wajahnya lalu pergi ke kamar Haruna. Saat Tristan masuk, ia tidak melihat Haruna di tempat tidurnya. Jantungnya berdetak kencang, perasaan cemas merasuk ke dalam hatinya. Ia khawatir kalau Haruna kembali mencoba bunuh diri. Tristan berlari ke arah balkon dan melihat ke bawah. Ia hanya melihat dua orang penjaga, hatinya sedikit tenang. Namun, bayangan saat Haruna tenggelam di bak mandi pun membuat ia kembali khawatir. Tristan pun segera berlari ke arah kamar mandi.

Cekle!

"Aaahhhh!" 

Haruna menyilangkan kedua tangannya di dada, ia mencoba menutupi kedua bukit kembar yang terlihat oleh Tristan.

"Dasar brengsek! Mau apa kamu? Pergi!" Haruna berteriak mengusir Tristan, tetapi bukannya pergi, Tristan justru mendekat ke arah bak mandi. Haruna menjadi semakin ketakutan melihat Tristan semakin mendekat. Ia lupa kalau Tristan bukanlah orang yang bisa diperintah begitu saja.

"Gawat! Apa dia tersinggung dengan ucapanku? Aku mohon Tuhan, tolong selamatkan aku," batin Haruna. Tubuh Haruna gemetar ketakutan melihat Tristan menjulurkan tangannya. Haruna memejamkan mata dengan rapat, ia benar-benar ketakutan. Meskipun tubuhnya terendam air, tapi tubuh bagian atasnya itu terekspos sempurna. Kedua tangan Haruna pun tidak bisa menutupi bukit kembarnya yang berukuran lumayan besar.

Tristan mencelupkan tangannya ke dalam air dan matanya membelalak saat merasakan suhu air di dalam bak mandi. Matanya memerah, darah Tristan bergolak dan kemarahannya pun pecah. Dengan emosi, Tristan menarik tangan Haruna dan menariknya untuk bangun.

"Bangun!"  hardik Tristan dengan suara yang memekakkan telinga.  

Plakk!

Haruna segera duduk kembali di dalam bak mandi.

"Kau! Berani-beraninya kau menamparku!'' Tristan berteriak dan menarik kembali tangan Haruna.

"Tristan, lepaskan aku! Aku tidak mau bangun," jawab Haruna sambil berpegangan pada tepi bak mandi dengan sebelah tangannya. Haruna memberontak agar Tristan melepaskan tangannya, ia menahan sekuat tenaga agar tubuhnya tidak sampai keluar dari bak mandi.

"Kau sengaja mandi dengan air dingin karena mencoba bunuh diri lagi, hah!" maki Tristan.

"Aku tidak suka mandi air hangat, siapa yang mau bunuh diri. Dasar brengsek!" jawab Haruna dengan tak kalah kencang suaranya.

Tristan melepaskan tangan Haruna dengan canggung. Ia sudah salah paham pada Haruna, ia bahkan memaksa Haruna bangun dari bak mandi. Tristan segera berbalik membelakangi Haruna.

"Cepat keluar dari kamar mandi atau aku akan memaksa kamu keluar! Aku tunggu di depan kamar mandi," ucap Tristan sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Tidak lupa Tristan juga menutup pintu kamar mandi.

"Dasar brengsek!" teriak Haruna saat Tristan keluar tanpa meminta maaf sama sekali.

Bukan Tristan namanya, kalau dia mau mengaku salah. Tristan tidak mau meminta maaf meskipun dia tahu perbuatannya salah. Terlalu memalukan baginya mengucap kata maaf. Ia hanya berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi. Menunggu Haruna keluar dari sana. Hatinya berdebar-debar mengingat kejadian tadi, saat Haruna berdiri sebelum menamparnya. Tubuh molek dan putih bersih itu membangkitkan hasratnya. Tongkat ajaib miliknya itu pun bereaksi, membuat Tristan jadi salah tingkah. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya beberapa kali untuk meredakan gejolak gairahnya.