Jadian

Chris melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia khawatir kalau Tristan marah atas kelakuan Vivi dan melampiaskannya pada Haruna. Meskipun, Christian tahu bahwa Tristan menyukai Haruna, tetapi rasa khawatir itu tetap ada.

Tristan sering sekali bermain wanita. Hal itulah yang membuat Chris khawatir kalau rasa suka Tristan hanyalah sementara. Chris takut, Haruna hanya menjadi mainan bagi Tristan.

"Tunggu aku, Haruna!" gumamnya sambil terus memperhatikan jalan.

***

Tristan melajukan mobilnya ke arah pantai. Tiba di tepi pantai, Tristan mematikan mesin mobil. Ia menoleh ke arah Haruna yang masih terpaku menatap telapak tangan dalam pangkuannya.

"Sampai kapan kamu akan terus diam seperti itu?" Tristan tidak bisa menahan rasa kesalnya. 

Namun, Haruna masih tetap berdiam diri. Tristan pun menarik tangan Haruna dan mengecup paksa bibirnya. Tidak ada pilihan lain bagi Tristan selain memaksanya. 

"Tris … uhm, lepaskan!" 

Tristan sengaja melakukannya agar Haruna berhenti melamun. Tentunya itu adalah cara yang paling manjur. Terbukti, meskipun Haruna sedari tadi mengacuhkan Tristan, tetapi saat Tristan menyentuhnya, Haruna pun bereaksi.

Tristan melepaskan kecupannya dan tersenyum penuh kemenangan. Haruna selalu kalah dari Tristan. Kali ini pun, Tristan kembali membuat Haruna kalah dalam pertarungan saling mengacuhkan.

"Kamu!" bentak Haruna sambil mengusap bibirnya.

"Kenapa, kecewa karena tidak dilanjut seperti tadi pagi," goda Tristan. 

"Tristaaan!" Haruna berteriak kesal. Ada rasa malu yang membuat Haruna kesal mendengar ucapan Tristan. Haruna malu karena ia begitu menikmati permainan lidah dan tangan Tristan tadi pagi.

Sementara Tristan tertawa geli melihat amukan Haruna. Wajah Haruna yang sekarang, terlihat lebih baik dari beberapa saat yang lalu. Ia berteriak kencang ketika Haruna menggigit tangannya.

"Akh! Sakit! Kamu itu seperti macan saja," ucap Tristan sambil mengusap tangannya. 

"Biarin! Karena kamu menyebalkan. Untung cuma aku gigit tangannya. Macan kalau sudah gigit leher, mati kamu!" Haruna menggerutu kembali.

"Ehm, jadi macanku ini ingin menggigit leher. Kalau gitu coba gigit, nih!" Tristan mendongak dan mendekatkan lehernya pada Haruna.

"Mau apa kamu? Jangan dekat-dekat!" Haruna mendorong tubuh Tristan sekuat tenaga, tetapi Tristan tidak bergeser sedikit pun. Ia juga tidak bisa lari kemana-mana karena mereka masih di dalam mobil.

"Katanya mau menggigit leher? Ini, ayo gigit kalau berani!" tantang Tristan.

"Enggaakk! Pergi sana! Siapa yang bilang aku mau melakukannya, dasar cabul!" teriak Haruna.

"Kamu tidak mau? Kalau begitu … biar aku saja," ucap Tristan dengan senyum nakalnya.

"Hah? Tidak, jangan Tris! Uhm …." 

Haruna tidak bisa lagi menceracau karena Tristan membekap mulut Haruna dengan satu tangan. Satu tangan Tristan yang lain menahan kedua tangan Haruna di belakang jok mobil. Tristan menggigit kecil leher Haruna dan menghisapnya dengan lembut. 

Tristan menghentikan kecupannya dan berbisik di telinga Haruna. "Mau dilanjut tidak?" bisiknya. Embusan napas Tristan menyapu daun telinga Haruna. 

Haruna menggeleng cepat saat mendengar pertanyaan penuh hasrat dari Tristan. Ia tidak mau Tristan kembali berbuat macam-macam padanya. Haruna menatap wajah Tristan dengan pandangan menghiba. 

Tristan melepaskan tangan yang membekap mulut Haruna. Ia mengusap pipi Haruna kemudian mendaratkan bibirnya di bibir Haruna. Mengecup lembut bibir tipis merah muda itu dengan rakus. Awalnya Haruna hanya terdiam. Namun, permainan lembut bibir Tristan membuat Haruna perlahan ikut terbakar hasratnya.

 Haruna membalas pagutan mesra Tristan dengan mata terpejam. Perlahan Tristan melepaskan cekalan tangannya di kedua tangan Haruna. Haruna melingkarkan tangannya di leher Tristan dan mereka pun saling bertukar saliva. Mereka saling menghisap dan menggigit pelan lidah pasangannya.

Hubungan tanpa status jelas itu terus berlanjut hingga Haruna terengah-engah saking lamanya mereka berciuman. Tristan menarik wajahnya sedikit menjauh. Ia menatap Haruna dengan senyum bahagia. Sementara Haruna menundukkan wajahnya karena malu. Tristan mengangkat dagu Haruna dengan telunjuknya.

"Haruna, aku menyukaimu."

Deg!

Haruna seperti mendapat pukulan keras di dadanya. Jantungnya seperti hendak meloncat keluar, rasa sesak pun menghinggapi kerongkongannya. Antara percaya dan tidak, saat Haruna mendengar pernyataan cinta dari bibir Tristan. 

"Maukah kau menjadi pendampingku?" tanya Tristan dengan pandangan lembut.

Kedua manik mata mereka saling bertemu. Beradu pandang dengan jarak yang sangat dekat, membuat Haruna semakin merasa gugup dan canggung. Hatinya pun membatin lirih.

"Haruna, kamu harus terlepas dari pria arogan ini. Bagaimana bisa menerima dia jadi pendamping? Aku harus berbuat apa?" lirih hati Haruna.

"Tristan, bisakah kamu duduk dengan benar?" tanya Haruna. Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia takut Tristan mendengar debaran di dadanya itu.

Tristan kembali duduk bersandar di balik kemudi. Ia menatap lautan luas di depannya. Hatinya sedang harap-harap cemas menantikan jawaban Haruna.

"Aku rasa, aku akan lebih mudah melarikan diri jika aku berpura-pura menerimanya. Tapi aku harus meminta waktu padanya sebelum menikah. Aku harus menyiapkan tempat untuk keluargaku lebih dulu sebelum nanti aku kabur dari rumah Tristan," batin Haruna. Ia menoleh ke arah Tristan. Dengan sedikit keraguan, Haruna menjawab.

"Aku tidak mau menjadi pendampingmu. Aku tidak mau hidup seperti tahanan rumah. Menjadi istrimu berarti aku akan selamanya terpenjara di rumahmu. Aku tidak mau," jawab Haruna. Ia sengaja mengatakannya agar Tristan berubah pikiran.

"Apa yang kau inginkan? Aku akan mengabulkannya, kecuali kembali pada keluargamu," ancam Tristan.

"Berikan aku waktu dua bulan sebelum kita menikah," ucap Haruna.

"Oke." 

"Izinkan aku bekerja lagi," ucap Haruna kembali.

"Boleh, tapi menjadi asistenku di kantor. Aku tidak mau kamu kembali bekerja di bank," jawab Tristan.

"Tidak masalah. Satu lagi, aku mau kamarku diberi kunci!" pinta Haruna.

"Kenapa?"

"Aku tidak mau kau berbuat hal macam-macam padaku saat tengah malam," jawab Haruna dengan bibir cemberut.

"Oke, aku turuti semua kemauanmu. Jadi, apa sekarang kita berkencan?" tanya Tristan dengan senyuman manis melebihi gula.

Haruna hanya mengangguk pelan. Tristan sangat bahagia dan memeluk erat tubuh Haruna. Meluapkan perasaan yang mengganggu hatinya beberapa hari terakhir ini.

"Aku ingin bertanya padamu, kenapa tadi kamu terus diam. Aku sangat tidak nyaman melihatmu murung," ucapnya.

"Aku merasa sedih karena aku telah menggunakan tangan ini untuk menyakiti Vivi," jawabnya pelan. Ia kembali menatap telapak tangannya. Namun, kini Tristan menggenggam telapak tangannya.

"Apa alasanmu menamparnya?" tanya Tristan. Ia ingin tahu apa alasan Haruna melakukan itu. Apa karena ia tidak rela Vivi mempermalukannya atau ada alasan lain.

"Tidak mungkin aku jawab karena takut kamu menyiksaku lagi, kan? Kenapa harus menanyakan hal yang sulit seperti itu," batin Haruna.

Melihat Haruna diam, Tristan pun tidak bertanya lagi. Ia tidak peduli apa alasan Haruna. Saat ini, ia hanya ingin menikmati kebahagiaan bersama Haruna. Manikmati indahnya perasaan cinta yang dulu sempat hilang karena kekasihnya, Stevi.