Sabtu, 23 Juni 2018.
*menua berdua - senar senja 🎶*
Sanubariku hanyut, nuranikuu luruh. Mereka saling sahut, sepakat bahwa iramanya menggambarkan nuansa lukisan masa depan yang ku harapkan. Berjalan santai menyisiri pinggiran sawah, menyapa semua pasang mata dengan sangat bahagia tanpa jeda. Sampai pada tempat yang di tuju dengan sambutan senyum sumringah lengkap dengan setiap jeritan yang melantun, "selamat pagi bu guru" khas dengan totok jawanya.
Disana kami akan bercengkrama, saling bertukar pelajaran bukan sekedar mengajar. Bersama kami bahagia ketika lonceng pulang berbunyi, akan ada anak-anak yang sibuk berlari sana sini menuju arah rumah masing-masing, tak lupa mereka lambaikan tangan dengan jemari-jemari mungilnya. Mereka tertawa, pulang dengan puas menikmati pelajaran serta proses belajarnya. Sembari memalingkan muka, "daahh bu guruu!" dan semesta pun pasti ikut berbahagia mendengarnya.
Langitnya amat cerah, matahari begitu terik. Baru mau ku langkahkan kakiku, bunyi lonceng sepeda itu melegakanku. "Ayo cepat naik! Perutku dah demo nih", kata (yang akan menjadi) teman hidupku. Ku lingkarkan tangan di perutnya, kami bersenandung bersama sepanjang jalan.
Ku rentangkan satu tanganku lagi, ku tutup mata lalu berkata, "Tuhaaann, bisa ku minta ini nyata, selamanya saja!? Ku rasa disini jiwaku seharusnya, bukan di kota yang penuh sandiwara. Ku rasa disini hatiku seharusnya, bukan di antara para manusia yang hanya mementingkan apa, siapa, dan dimana (posisinya). Ku rasa disini hidupku, bukan di dunia yang pengap itu! Tolongg Tuhaann, ku mohon."
*Lagunya habis* 🍃
Mataku terbuka, hayalan terhenti, air mataku jatuh. Aku masih disini, di dunia pengap ini. Tak dapat memutar waktu ataupun mengubahnya, sadar! Masih dengan sebongkah beban di pundak, di tuntut begini begitu, diminta kesini kesitu, ditunjuk ini itu.
Seketika MUAK! Bahkan seketika pun SADAR! Disini aku, ini aku. Tuntaskan saja dulu, baru bisa hidup yang seperti "hidup".