Deru hujan terdengar memekik telinga. Kabut putih menyelimuti hampir seluruh hutan kawasan tempat tinggal Artemis, dan sekarang pemandangan wilayah berkabut tersebut menjadi objek pandang tujuh pasang mata yang tampak mengeluarkan aura bersiaga akan terjadinya sesuatu.
Angin merambat masuk dari sela pintu berbahan dasar kaca bening tersebut dan membelai halus seluruh sisi kulit ketujuh makhluk iblis yang sedang berdiri di sana.
"Uhuk! Uhuk!"
Hanya perlu suara batuk tersebut dan segala susana tenang berubah seketika. Ketujuh pasang mata yang sedari tadi menatap area hutan di belakang rumah tersebut tiba-tiba saja memicing tajam. Suara deru hujan akhirnya bercampur dengan langkah kaki mereka yang terdengar sangat terburu-buru kemudian disusul dengan bantingan pintu yang sangat keras pada tiga buah pintu kamar.
"Cepat evakuasi seluruh selimut di kamar kalian!" teriak seorang pria bersurai putih dengan manik mata coklat terang di balik kacamata hitamnya.
"SIAP!"
Enam orang yang sedang sibuk pada masing-masing kamar tersebut mengambil semua selimut yang mereka miliki. Sementara itu, pria yang mengenakan kacamata hitam memilih untuk pergi dan menggeledah seluruh isi dari sebuah benda kotak bersuhu dingin di ruang makan tersebut dengan sangat brutal.
Cakar di jari-jari kokohnya timbul sangat tajam dan mengobrak-abrik isi kulkas milik Artemis. "Astaga di mana sih obatnya!" keluh Lucifer yang tak kunjung menemukan benda yang dicarinya.
Tangannya meraih sebuah botol obat, dan membaca keterangan yang tertulis pada lebel botol tersebut. "Ini dia yang kucari!" ucapnya bangga. Tampaknya, bagi Lucifer itu tiada hari tanpa rasa bangga. Hanya melakukan hal kecil sedikit saja sudah dapat membuatnya menjadi sangat bangga melebih apapun.
Yah, kita maklumi saja karena Lucifer merupakan sosok iblis dan penguasa yang melambangkan kebanggaan.
===
Keringat mengalir dari pelipis seorang gadis bersurai cokelat yang sedang berusaha sekeras mungkin untuk memejamkan matanya dan melupakan segala rasa sakit di tubuhnya. Sesekali ia terbatuk pelan agar tidak terdengar oleh makhluk-makhluk neraka yang tinggal bersamanya.
Ia sadar bahwa dirinya sekarang tidak lagi tinggal sendirian di rumah tersebut. Dan ia juga tau jikalau sekarang bukanlah waktu bagi dirinya untuk membuat khawatir ketujuh makhluk tersebut.
Ruangan kamarnya bagaikan terselimuti oleh es. Suhu dingin yang diciptakan oleh hujan tersebut membuat suasana kamarnya menjadi luar biasa dingin dan berisik. Kamarnya yang terletak di loteng tersebut seperti sebuah kamar tak berpenghuni.
"Semoga mereka bertujuh gak dengar suara batuk ku," ucapnya.
Namun, tak berselang waktu lama setelah gadis tersebut mengucapkan kata-kata. Pintu sudah dibanting dengan sangat kencang dan menampilkan tujuh pria gagah yang masing-masing tengah memegang selimut di tangan kekar mereka. Artemis yang sangat terkejut menjadi semakin terbatuk-batuk tanpa henti ketika melihat ketujuh makhluk tersebut berada di ambang pintu kamarnya saat ini.
"Ap-Uhuk! Yang kal-Uhuk! Lakukan!"
Satan melangkah maju menghampiri Artemis yang terbaring di tempat tidurnya. "Kenapa kamu tidak makan bersama tadi pagi? Kamu tahu 'kan hukumannya kalau kamu berani sekali-kali buat kita nunggu buat waktu yang segitu lamanya?"
Manik coklat sayu tersebut menatap Satan. "Ah, aku lupa. Seharusnya kalian tidak perlu menungguku, seharusnya kalian makan saja."
"Tidak ada satupun yang akan makan jika kita tidak makan bersama," ucap Beelzebub menyahuti perkataan Artemis, dan ucapannya tersebut cukup membuat semua orang yang mendengarnya tampak sangat terkejut.
"Baal. Kamu belum makan sama sekali?" Beelzebub menganggukkan kepalanya dengan raut wajah serius. "Kalian juga?" Keenam makhluk neraka lainnya ikut menganggukkan kepala mereka sebagai jawaban dari pertanyaan Artemis.
Gadis bersurai cokelat tersebut menghela nafas panjang. Tangan kanannya bergerak untuk membuka ujung selimutnya dan perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Dengan langkah kaki yang tergontai gadis tersebut berjalan sembari memasang senyumannya. "Kalau bagitu mari kita makan."
"Oh tidak-tidak!" kening Artemis mengerut ketika mendapatkan ucapan tersebut terlontar dari bibir Mammon. Ia menatap heran ke arah pria bermanik layaknya bunga lavender tersebut.
Mammon meraih semangkuk makanan dan memberikannya kepada Lucifer. Ia mendorong Lucifer masuk ke dalam kamar Artemis dan berkata, "Kamu akan menjaga Artemis dan biarkan kami berenam makan di ruang makan. Itu makanan buat kalian berdua jangan lupa di makan. Terus jaga baik-baik Artemis, kalau sampai lecet sedikit maka nyawamu juga akan lecet."
Dentuman kencang dari arah pintu mengakhiri celotehan dari iblis serakah tersebut. Lucifer yang masih tidak menangkap makna dari ucapan Mammon hanya dapat berkedip beberapa kali sebelum akhirnya manik matanya membulat sempurna, bibirnya bergerak untuk melontarkan beberapa protes pada iblis keserakahan tersebut namun sebuah tarikan dari arah rambutnya membuat seluruh perhatiannya teralihkan.
"Rambutmu Bagus!" puji Artemis sembari meraih beberapa helai surai putih milik Lucifer.
Cahaya matahari redup yang merambat dari kaca jendela milik Artemis tersebut mencahayai surai putihnya dan membuat surai tersebut menjadi tampak berkilau.
"Artemis makan dulu," ucap Lucifer menyodorkan sesendok nasi pada Artemis yang membuat gadis tersebut hanya menatap nasi putihnya tanpa ada niatan sedikitpun untuk mencernanya.
"Aku bisa makan sendiri nanti," ucap Artemis yang mengalihkan pandangannya dan memilih fokus untuk melanjutkan kegiatan mengelabangi rambut Lucifer.
Namun, belum jari lentiknya menyentuh surai putih halus tersebut, Lucifer telah meraih rambutnya dan membawanya ke depan tanpa membiarkan Artemis menyentuhnya barang sedikit pun.
"Makan dulu baru boleh lanjut."
"Aku bukan anak kecil."
"Jawab!"
"Iya mau!"
Artemis memilih pasrah daripada harus susah-susah berdebat dengan pria di hadapannya, adanya energinya hanya akan terbuang sia-sia untuk berbicara dan berdebat. Jari lentiknya kembali meraih surai putih tersebut, manik coklatnya yang serupa dengan warna tanah tersebut menatap sayu ke arah rambut di jarinya.
Lucifer yang duduk memunggunginya sesekali berbalik untuk menyuapi Artemis sesendok nasi dengan lauk. Tampak seperti anak kecil? Benar sekali, walau sebenarnya Artemis tak ingin tampak seperti ini namun dirinya sedang sakit, dan tak memiliki begitu banyak energi untuk protes ataupun berdebat.
Pelepas bosannya hanya dengan memainkan rambut pria di depannya ini. "Setelah makan, minum obatmu, oke?" Artemis mengangguk setuju yang dilihat oleh Lucifer melalui ekor matanya. Di dalam batin, makhluk neraka tersebut terus berdoa agar rambutnya sehat-sehat saja setelah diperlakukan seperti itu.