Pertanyaan

Setelah memarkirkan motornya di garasi bawah tanah, Hardi langsung merangsek masuk ke dalam ruang pusat kendali. Nafasnya begitu memburu, seolah dirinya baru saja berlari jauh.

“Kenapa monster itu jadi setengah manusia!? Siapa orang pake baju besi merah itu!? Kenapa dia datang pake gir motor terus ngebunuh monster itu!? Apa tujuannya!? Darimana datangnya!? Apa Mbak kenal dia!? Apa nanti dia jadi musuh kita!?”

“Tenang dulu, Har!” Disty melepas headsetnya dan bangkit dari meja kerja, sementara Aldo berjalan mendekat dengan wajah dingin. “Paling nggak lepas dulu topeng kamu, oke?”

Hardi buru-buru melepaskan topengnya. Tapi karena topeng itu tersangkut di hidung, ia jadi gelagapan dan mencoba dengan lebih kasar. Tak kunjung bisa membebaskan diri, Disty sampai harus membantunya.

“Aku nggak tahu dia itu siapa, Har,” ucap Disty setelah topeng itu terlepas dan menggelayut di bagian belakang kostum Hardi. “Tapi aku tahu jenis senjata yang digunakannya kalau emang bener itu seperti gir motor. Dia itu kemungkinan orang militer di duniaku atau orang yang punya akses ke sana.”

“Militer?”

“Ya, militer. Di duniaku, sebagian pasukan militer diberi kebebasan untuk memilih senjata yang nggak konvesional, baik itu jarak jauh atau dekat. Alasannya biar cara bertarung mereka susah diprediksi. Gir motor…. Cakram itu salah satunya,” terang Disty lagi.

Hardi mengusap wajahnya dan melemparkan diri ke sofa, berusaha menenangkan diri. Disty berinisiatif mengambil sebotol air mineral dari kulkas, sementara Aldo malah bersandar di dinding dan melipat tangan di dada.

“Jadi Mbak bilang, dia juga berasal dari dunianya Mbak?” serbu Hardi kepada Disty yang baru menaruh botol air mineral ke atas meja.

“Ya, dari Einzaar.” Disty menempatkan dirinya ke samping Hardi.

Hardi langsung mengernyitkan dahi saat mendengar kata aneh itu. “Apa? Kelenjar?”

“Einzaar, nama dunia kami. Berbeda dengan Bumi, dunia kami itu mempunyai satu pemerintahan. Tapi karena banyak pemberontak dan teroris, maka militer tetap dibutuhkan.”

“Apa dia punya kecepatan dan kekuatan lebih, sehingga bisa mengimbangi kamu?” Aldo ikut nimbrung.

Hardi mengingat-ngingat kejadian di gudang rongsok beberapa saat lalu itu. Yang paling berkesan untuknya adalah lompatan si cakram merah yang begitu tinggi.

“Kayaknya, sih.”

“Sepertinya dia pakai serum terlarang yang akan membuat kecepatan, kekuatan, dan, refleksnya meningkat. Di atas kertas dia emang masih ada di bawahmu, tapi kalau benar dia militer, pasti pengalamannya udah banyak,” lanjut Disty.

“Aku juga nyoba ngalirin kekuatan ke bajunya, Mbak. Tapi nggak berhasil.”

Disty mengangguk pelan. “Ada dua kemungkinan. Dia make material yang emang nggak bisa dialiri, atau dia memakai alat khusus yang bisa memblok kekuatan kamu itu. Yang jelas, dua hal itu nggak bisa didapatkan sembarangan… Yah, kecuali kalau dia mencurinya dari instansi militer. Nanti aku cek lagi.”

“Apa tadi kamu lari?” tanya Aldo lagi.

“Yah…” Hardi membuka botol air mineral dan menenggaknya banyak-banyak. Ia berusaha melupakan cara bertarungnya yang buruk, penuh kepanikan dan amburadul. “Iya, sih. Tapi aku sempet bekuin tangannya pake kulkas, panasin mukanya pake magic jar, sama nusuk kakinya di dua bagian.”

“Wow! Dan kamu nggak kena luka-luka sama sekali.” Disty langsung melirik Aldo dan mengedipkan sebelah mata. Aldo sendiri malah membuang muka dan melenguh.

“Tapi aku nggak bisa nyelametin perempuan itu, Mbak.” Penyesalan kini mulai memenuhi diri Hardi kembali. “Dia itu minta tolong… Apa semua monster yang kita lawan itu dulunya manusia?”

“Itu tidak penting,” balas Aldo sengit.

Tentu saja itu penting bagi Hardi. Kalau benar mereka dulunya manusia, maka Hardi adalah sang pencabut nyawa. Mencabut nyawa manusia, apa pun alasannya, bukanlah sesuatu yang sepele. Dan dia sudah melakukannya dua kali.

Disty menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya ke senderan sofa. “Mungkin sekarang waktu yang tepat buat nyeritain tentang mereka. Mereka itu disebut Xaadme… Erm… Panggil saja mereka… Kalau sesuai bahasa bumi… Panggil saja mereka Amethyst… Ametis…”

“Kayak batu mulia yang warnanya ungu itu?” Hardi langsung merinding membayangkan warna dari keriput-keriput di tubuh monster-monster itu. “Apa tujuan mereka?”

“Wilayah. Dengan satu pemerintahan seperti dunia kami, tak semua ideologi bisa diakomodir. Awalnya mereka memberontak. Tapi karena selalu gagal, mereka mencari tempat lain, seperti di bumi ini.” Disty berdiri dan berjalan pelan.

Hardi menggaruk rambut, berusaha menyimpulkan keterangan Disty itu. “Jadi Mbak mau bilang Ametis itu organisasi komunis dari dimensi lain?”

“Gitu juga boleh.” Disty terkekeh pelan, tapi mukanya segera menjadi serius kembali. “Tapi untuk menguasai Bumi, mereka butuh pasukan yang nggak sedikit. Daripada bawa dari Einzaar, mereka memilih makhluk Bumi untuk dijadikan senjata.”

Keterangan itu seolah menonjok perut Hardi. “Ta…tapi, monster-monster yang aku lawan itu dikit banget, Mbak! Nggak bisa dibilang pasukan!”

“Kemungkinan itu cuma uji coba, Har. Mereka bereksperimen dengan manusia-manusia dan sekarang mereka sudah menerjunkannya ke lapangan. Mungkin monster yang setengah manusia itu adalah kegagalan eksperimen,” tambah Disty dengan nada getir.

Hardi sampai berdiri karena saking tak mampunya mencerna semua itu. “Apa ada hubungannya dengan orang-orang hilang di berita-berita?”

Disty mengangguk pelan. “Dan nggak menutup kemungkinan juga kalau setelah pasukan mereka banyak, mereka akan menyerang Einzaar. Karena itulah kita ditugaskan di sini.”

“Kalau gitu kenapa Mbak nggak kerja sama dengan pemerintah?”

“Percayalah, kami sebagai agen dari pemerintah Einzaar sudah berusaha mendekati pemerintah Bumi, terutama Indonesia. Tapi kesan yang kami dapat, mereka menginginkan teknologi kami untuk senjata, Har.” Disty memejamkan mata dan memijat bagian tengah keningnya. “Untuk sementara kita kerja sembunyi-sembunyi dulu.”

Hardi kembali duduk. Seluruh tubuhnya seolah dirambati aliran listrik. Kalau benar apa yang dilawannya kemarin-kemarin itu hanya eksperimen, lalu bagaimana kalau pasukan Ametis itu membesar? Melawan satu saja dirinya kewalahan.

“Ada kemungkinan lawan kamu yang membawa cakram itu anggota Ametis. Dia cuma melakukan tugas untuk membunuh eksperimen yang gagal. Dan sekalian ketemu kamu. Yah… Satu dayung dua tiga pulau terlampaui,” kata Disty lagi. “Yang aku takutkan dia punya alat buat mendeteksi kekuatan kamu waktu diaktifkan. Bisa-bisa markas kita ketahuan. Kalau memang benar dia punya akses ke militer, mungkin aja dia bisa mendapatkan alat seperti itu.”

Semua yang ada di situ membisu, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

“Terus, apa kamu siap buat melawan mereka ketika tahu mereka itu manusia, Hardi?” tanya Aldo beberapa detik kemudian. Nada suaranya terdengar begitu sengit.

“A… Aku nggak tahu, Mas. Maksud aku… Aku lihat sendiri kalau salah satu dari mereka itu manusia. Aku nggak mau jadi pembunuh.”

“Tapi pikiran mereka sudah tidak normal! Mereka tidak bisa disembuhkan! Apa kamu tahu apa yang ada di pikiran mereka!? Mereka cuma ingin mati karena begitu menderita!!!”

Disty mulai memijat-mijat keningnya lagi. “Pokoknya kamu fokus melawan monster-monster itu. Kita pikirkan orang bersenjata cakram itu nanti. Terus, biar aku dan orang-orangku yang menguak organisasi Ametis ini, Har. Kamu dan kekuatanmu itu kartu as buat kita.”

Hardi mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. Di pundaknya kini ada beban yang begitu berat. Ini bukan sekedar melawan monster untuk menyelamatkan orang. Bahkan mungkin saja masa depan Bumi kini menjadi tanggung jawabnya. Memangnya pria menyedihkan seperti dirinya bisa menerima semua itu?

“Aku nggak tahu, Mbak.” Air mata Hardi benar-benar mengancam jatuh. “Aku… Aku….”

Aldo mendesah kecewa, lalu keluar dari ruangan begitu saja.

“Aku akan kasih waktu buat kamu mikirin ini, Har. Tapi… Aku sebagai perwakilan Einzaar memohon dengan sangat agar kamu memikirkannya baik-baik.” Disty duduk menjejeri Hardi kembali. Tangannya mengusap lembut pelindung gabus di dada pria itu.

“Bagaimana rasanya saat kamu bisa menolong orang?”

Dengan gerakan kaku, Hardi berusaha menatap mata gadis itu. Tapi saat mendapati lapisan cairan bening di sana, Hardi justru menunduk dalam-dalam.

“Rasanya… nggak bisa diomongin, Mbak,” jawabnya jujur, lagi-lagi ucapan terimakasih ibu dan anak waktu itu melintasi otaknya.

“Nah, bagaimana rasanya kalau kamu menyelamatkan seluruh umat manusia?”

Tentu saja Hardi tak tahu jawabannya.

***

Sambil berbaring di kasur rumah barunya, Ken memperhatikan Lisa yang membuat bebatan perban terakhir di tangannya. Nyaris tak ada rasa apa pun di tangan yang baru membeku itu, kecuali kaku di persendiannya.

“Untung kamu punya istri yang mantan perawat,” keluh Lisa seraya mengusap keningnya yang penuh peluh.

“Makasih ya, Bun,” ucap Ken, agak tidak jelas karena terhalangi bebatan perban di sekeliling mulutnya yang baru terbakar.

Lisa memandang suaminya dengan muram. “Tapi aku tetap pengen bawa kamu ke dokter, Mas.”

“Tenang aja, serum yang aku pakai itu bisa mempercepat regenerasi, tapi aku masih tetap butuh beberapa hari. Habis itu aku bahkan nggak akan punya bekas luka. Lagian, kalau ke dokter pasti ditanya macam-macam,” jawab Ken, memaksakan senyum di bibirnya yang kaku.

“Apa besok-besok tetap akan seperti ini? Apa Mas akan luka-luka begini lagi?”

Ken menggeleng pasti. “Nggak, tadi aku cuma kurang persiapan aja.”

“Pokoknya Mas harus istirahat, jangan kemana-mana. Aku ke belakang sebentar.” Setelah menghela napas panjang, Lisa keluar dari kamar dan menutup pintunya.

Begitu suara langkah kaki Lisa lenyap, Ken bangkit dan duduk di kursi kerjanya. Ia membuka laptopnya dan mulai membuka sebuah aplikasi. Aplikasi itu seperti GPS, menampilkan suatu area dengan nama-nama jalan dan tempat. Dan di tengah tampilan itu, ada titik hijau yang berkelap-kelip.

Titik itu adalah tanda kekuatan hijau telah diaktifkan beberapa saat yang lalu. Berbeda dengan dua kejadian sebelumnya, kali ini kekuatan itu diaktifkan bukan di area kemunculan monster, melainkan di tempat lain. Jaraknya lumayan jauh dari gudang rongsok itu. Ya, Ken sudah bisa menyimpulkan itu adalah lokasi markas si manusia bertopeng.

Ia tersenyum tipis, memuji dirinya sendiri yang sudah maju satu langkah ke depan.