Tutor

"Kenapa belum siap-siap? Pelanggan minta ketemu setengah jam lagi." Yohan bersidekap dada di depan pintu kamar Raeha. Menatap tajam sang adik yang sedang berkutat dengan buku pelajaran.

"Aku berhenti." balas gadis berambut seleher itu, melirik Yohan sekilas.

Rahang Yohan mengeras. Dengan langkah panjang ia menghampiri Raeha, kemudian melempar buku gadis itu ke sembarang arah. "Gunakan otakmu, sialan! Kalau kau berhenti, mau makan apa kita?! Mau jadi gembel?!" maki Yohan dengan suara keras.

Raeha meremat kuat pulpen yang ia pegang. Tangan kirinya yang kosong── yang bertumpu di atas meja, mengepal. Sebelum akhirnya dengan kasar ia menaruh pulpen tersebut di atas meja, kemudian bangkit berdiri. Berbalik menghadap Yohan dengan dengan mata menyorot tajam.

"Aku sudah mendapatkan pelanggan tetap. Akan ku pastikan keuntungan yang didapat darinya lebih banyak dari penghasilanku sebelumnya. Kau tidak akan menjadi gembel. Karena aku akan mempertaruhkan apapun yang aku punya supaya kita tetap bisa hidup enak." terang Raeha sarkastik, menekan beberapa kata di akhir kalimat.

Yohan terdiam sesaat. Raut murkanya mulai luntur. Namun, lelaki itu masih menatap gadis di depannya dengan sorot tajam nan dingin. "Siapa?"

"Kanapa aku harus memberitahu mu?" Raeha tersenyum miring, yang kembali memancing emosi Yohan.

"Aku berhak tau pria seperti apa yang kau layani!"

Sontak Raeha terkekeh sinis. Maniknya menatap Yohan geli. "Kenapa kau sok peduli seperti ini? Bukannya selama ini kau selalu tak acuh, ketika aku melayani kakek-kakek ataupun suami orang? Yang penting uangmu terus mengalir, kan?"

...

Raeha menatap pantulan dirinya melalui cermin full body di depannya. Tubuh kecilnya terbalut crop top putih tulang dengan bawahan celana jeans hitam panjang. Yang biasanya merias wajah full make-up, malam ini Raeha berdandan natural.

Empat puluh lima menit yang lalu, Jae Wook mengirim pesan, meminta Raeha untuk datang ke apartemennya. Raeha sedikit kesal lantaran lelaki itu memberitahunya secara mendadak. Bahkan dipekerjaan lamanya, Raeha bersiap-siap hampir satu jam lebih sebelum jadwal pertemuan dengan pelanggannya. Serta merta agar sang pelanggan tidak kecewa.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di apartemen Jae Wook. Raeha langsung menuju unit pemuda Han itu, yang sebelumnya Jae Wook sudah mengirimnya pesan tentang dimana letak kamarnya. Selain itu, Jae Wook juga memberitau Raeha password apartmentnya. Setelah masuk ke dalam, Raeha langsung menggerakkan tungkai kakinya menuju kamar Jae Wook.

"Telat 12 menit 19 detik."

Raeha tersentak kaget ketika suara britone itu menyambut, begitu ia membuka pintu kamar. Jae Wook yang tadinya berdiri menyandar di samping pintu, melangkah arogan menghampiri Raeha. Berhenti di hadapan sang gadis sembari bersidekap dada.

"Salahmu. Lain kali kalau memberitahu, jangan mendadak seperti ini." balas Raeha menantang.

"Aku membayarmu. Kalau salah, harusnya minta maaf. Bukan malah balik menyalahiku." sindir Jae Wook.

Raeha mendengus. Sempat membuang muka, sebelum kembali menatap Seungwoo. "Maaf." katanya. Singkat dan tidak ikhlas.

"Ka──"

Cup

Raeha berjinjit, menarik tengkuk Jae Wook ke bawah, kemudian membungkam bibir laki-laki itu. Jae Wook yang mulanya kaget, sedetik kemudian berubah menyeringai. Kemudian Jae Wook mendorong tubuh Raeha membentur tembok, menghimpit tubuh gadis itu dan memperdalam ciuman mereka.

"Kau memang berbakat menyenangkan lawan jenis." Jae Wook tersenyum miring, setelah melepas pangutannya.

Raeha merotasikan mata, enggan menanggapi. "Jadi?" Raeha menaikkan sebelah alisnya. Menanyai apa maksud lelaki itu memanggilnya secara tiba-tiba.

Jae Wook mundur selangkah, memperlebar jarak. "Ajari aku Kimia"

"Hah?" untuk pertama kalinya, Raeha memasang tampang cengo di depan Jae Wook. Tak ayal membuat pemuda itu mendengus geli.

"Besok kelas kita ulangan Kimia. Kau kan jago Kimia, jadi ajari aku."

"Bentar-bentar,” Raeha mengangkat tangan kanannya, kode agar Jae Wook berhenti berbicara. Manik hitamnya menatap Jae Wook sangsi. “Hubungan kita ini friend with benefit, kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menjadi tutormu?" bantah Raeha.

"Sudah ku katakan kalau tugas mu itu melayaniku. Jadi kau harus melayaniku dalam bentuk apapun."

Raeha mendengus. "Bayarannya dua kali lipat."

"Sinting!" seketika Jae Wook menghardik.

"Begini ya Han Jae Wook, jelas-jelas kau memintaku melayanimu dalam dua hal yang berbeda. Berarti aku mempunyai dua pekerjaan. Satunya untuk memuaskan hasratmu, satunya lagi menjadi tutor belajarmu. Beda pekerjaan, beda bayaran!"

"Mata duitan sekali kau!” delik Jae Wook.

"Bukan mata duitan, tapi realistis." sanggah Raeha.

Jae Wook mendengus. Mau tak mau akhirnya lelaki itu mengangguk setuju. Bagaimanapun, kali ini nilainya harus sempurna. Satu setengah jam mereka habiskan untuk belajar. Jae Wook benar-benar fokus mendengarkan penjelasan dari Raeha.

"Kenapa kau memintaku untuk mengajarimu? Bukankah nilaimu lebih unggul dariku?" tanya Raeha.

Sesi belajar mereka sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Kini keduanya sedang bersantai di atas kasur. Dengan Raeha duduk menyandar di kepala tempat tidur, sedangkan Jae Wook berbaring── menjadikan paha Raeha sebagai bantal. Tangan kecil Raeha bergerak lembut mengusap rambut lebat Jae Wook.

"Aku mau nilaiku sempurna kali ini. Kebetulan kau jago Kimia." balas Jae Wook dengan mata tertutup, menikmati usapan Raeha.

Raeha mendengus. Menurutnya, nilai Jae Wook sudah sempurna. Walau Jae Wook bukan peringkat satu se-angkatan, tapi perbedaan nilainya dengan si juara satu tidak jauh. Memang dasarnya tidak mau bersyukur.

"Kau bisa bayar tutor yang lebih hebat dan berpengalaman dari ku."

"Aku hanya ingin diajar oleh mu."

"Aku tidak menyangka aslinya kau seperti ini." Raeha menghela napas, kemudian menurunkan pandangannya ke bawah. Ternyata Jae Wook juga tengah menatapnya. Dahi lelaki itu berkerut samar, tidak paham dengan apa yang Raeha katakan.

"Udah berapa perempuan yang kau sentuh?"

"Tidak tahu. Aku tidak pernah menghitungnya."

"Bajingan." Desis Raeha kesal. Sebisa mungkin gadis itu menahan diri agar tidak menjambak rambut Jae Wook. Sementara Jae Wook menyerigai tipis, merasa terhibur melihat respon Raeha. Gadis itu satu-satunya perempuan yang berani mengumpat Jae Wook. Kepribadian Raeha yang dingin membuat Jae Wook merasa tertantang.

"Semua orang punya topeng masing-masing dalam menjalani kehidupan." utar lelaki bertato itu. "Kau juga begitu, yang ternyata bekerja sebagai pelacur. Padahal di sekolah kau selalu memasang ekspresi polos." tambahnya disertai senyum miring, yang sialnya terlihat sexy.

Tanpa sadar Raeha tersenyum kecut. Jae Wook benar. Dunia ini diisi oleh orang-orang munafik.