THE SECRET BOOK AND MEMORIES

‘Tanpa sadar dia membuka gerbang itu. Tak ada jalan kembali.’

.

.

☘☘☘

“ADA yang ingin kukatakan padamu,” Chan-sol tampak menghela nafas sebelum melanjutkan, “aku ingin bilang … Kalau aku—“

“K-kalian berdua sedang apa?”

Pria dengan surai cokelat itu langsung melepaskan pelukannya. Ia melihat ke arah Hera. Gadis itu berdiri mematung sambil menatap mereka dengan mata membelalak, tak percaya. Hera masih berusaha mencerna kejadian beberapa menit lalu.

“J-jadi ini yang kalian lakukan kalau aku tidak ada. Kau benar-benar berani, Senior.”

“K-kau salah paham, Oke!”

“Hehe. Teruskan saja. Aku kembali karena dompetku tertinggal,” ujar gadis itu sambil mengambil dompet di atas sofa.

“Apa kau bertemu seseorang tadi, Kak?” tanya Seomi pada gadis bersurai coklat kemerahan itu.

Hera tampak sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan dari fighter tim mereka. Seomi bisa tahu karena dia mencium aroma vampir yang tertinggal di tubuh Hera. Aroma yang sama. Pria bertubuh tinggi yang sering berkunjung ke café tempat mereka bekerja. Gwan Yeong-jun. Hera tertawa kecil sambil mengalihkan pandangannya dari mereka berdua.

“Hanya seorang teman. Kalau begitu aku pamit.”

“Tunggu, Kak. Ini sudah terlalu malam. Biarkan kak Chan-sol mengantarmu.”

“Aku bisa jaga diri, Seomi. Lagipula aku tidak ingin mengganggu acara kalian.”

“Apa maksudmu, Kak?”

“Apa kau tidak tahu? Saat seorang pria bersentuhan dengan wanita yang dia sukai. Dia tidak akan bisa menahan-- SAKIT!”

Chan-sol menarik telinga milik gadis itu dengan keras. Seomi tak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi wajah Hera kesakitan.

“Jangan racuni Seomi dengan pikiran kotormu itu. Akan kuantar kau pulang.”

“Ampun Senior … Aduh, Sakit!”

“Ini hukumanmu karena sudah mengajari Seomi yang tidak-tidak.”

“Siapa yang mengajarinya? Jelas-jelas kau malah memeluk—“

“Kita ke basemen sekarang,” tegas Chan-sol sambil berjalan ke arah basement. Tangannya masih menarik telinga milik Hera.

Tiba-tiba ia teringat dua buah buku yang dipinjamnya dari perpustakaan kemarin. Seomi belum sempat membacanya. Lalu, gadis itu berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Tangan mungilnya meraih dua buku tebal dari rak kayu dan menaruhnya di atas meja belajar. Ia menyalakan lampu baca. Lalu, Seomi mengambil buku pertama. Buku dengan tebal sekitar sepuluh sentimeter itu mempunyai ukiran-ukiran yang indah di bagian luar. Dia mulai membaca kata demi-kata di lembar pertama buku tersebut.

‘Tulisan kuno lagi? Ah, kalau begini aku sama sekali tidak bisa membacanya.’

Kepalanya mendadak pusing melihat tulisan latin kuno dalam buku tebal itu. Seomi membuka lembaran yang lain. Lagi dan lagi. Ia menghela nafas panjang. Ternyata buku itu ditulis menggunakan huruf dan simbol kuno.

“Bagaimana aku bisa membacanya? Apa aku minta kak Chan-sol untuk mengajariku?”

‘Ddrrtt.. Ddrrtt..’

Ponsel hitam gelap yang berada di samping tangannya bergetar. Dahinya berkerut melihat notifikasi panggilan di layar ponsel. Sebuah nomor tak dikenal.

“Siapa yang menelpon malam-malam begini?”

‘Mungkin hanya orang iseng.’

Gadis itu mengedikkan bahunya, tak peduli. Ponselnya itu berhenti bergetar. Seomi kembali fokus dengan kegiatannya tadi. Ia beralih ke buku lainnya. Buku kedua tampak lebih lusuh dan usang. Banyak debu yang menutupi bagian sampul. Tangannya bergerak membersihkan sampul buku tadi sambil sesekali meniupnya.

Ponselnya kembali bergetar dengan panggilan dari nomor yang sama. Seomi berdecak kesal. Ia segera mengangkat panggilan tadi.

“Halo.”

“….”

Hening. Tak ada jawaban dari seberang telepon.

“Yeobseyo.”

“….”

‘Tut … tutt ….’

Tiba-tiba si penelpon tadi menutup panggilannya. Seomi hanya terdiam sambil menatap layar ponsel. Aneh.

“Apa dia berniat menakutiku?”

Seomi kembali meletakkan ponselnya. Tangannya bergerak membersihkan buku kuno tadi. Buku bersampul ‘The Power of Darkness’ itu memiliki bentuk yang unik. Ukiran bunga mawar dengan gaya minimalis yang ada dibagian sampul tampak nyata. Seomi belum pernah melihat cover buku seperti ini sebelumnya. Dia mencoba membuka buku tadi, tapi buku itu tak bisa dibuka.

“Apa ada cara khusus untuk membukanya?”

Netra biru sapphire-nya mengamati setiap ukiran di buku tebal itu. Ada sesuatu yang aneh. Ukiran-ukiran dalam sampul buku itu berpusat pada sebuah simbol yang ada dibagian tengah sampul depan. Telinganya menangkap suara mobil memasuki pekarangan basemen. Dia melirik jam weker digital yang berada di atas meja disamping tempat tidur. Pukul setengah satu.

“Sial. Ini sudah lewat tengah malam.”

Chan-sol akan marah jika tahu Seomi tidur terlalu larut. Ia buru-buru menyembunyikan buku tebal tadi di bawah bantal. Kemudian, gadis cantik itu menarik selimut dan pura-pura tidur. Suara pintu terbuka membuat jantungnya berdebar kencang. Chan-sol berdiri di ambang pintu sambil menatapnya.

“Sudah tidur rupanya.”

Ia melangkah mendekat dan menghidupkan lampu tidur di samping ranjang.

“Good night, Seomi.” ujar Chan-sol sambil membelai rambut gadis itu pelan.

Lalu, dia berjalan keluar ke arah pintu. Tangan milik Chan-sol menekan saklar lampu yang otomatis membuat lampu kamar itu mati. Setelah pria itu menutup pintu, Seomi perlahan membuka matanya. Netra biru itu menatap lampu tidur disamping tempat tidurnya.

“Apa kau memang perhatian pada orang lain? Atau … hanya padaku?”

***

Seorang pria dengan garis wajah sempurna itu menatap salju putih yang turun perlahan dari kaca jendela kamarnya.

“Apa yang kau pikirkan, Kak?” tanya Ji-ho yang tengah duduk di sofa sambil menyesap cangkir berisi darah di depannya.

Mata onxy hitam milik pria itu hanya melirik adiknya, seakan tak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh adiknya. Kemudian, dia kembali menatap keluar jendela.

“Tidak ada.”

“Aku tau kau berbohong. Kita berdua sudah hidup bersama selama ratusan tahun. Ahh— tidak. Ribuan tahun. Jadi … aku tau kau sedang ada masalah atau tidak.”

“Aku ingin keluar,” ucap Hyeon-sol sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Aku ini belum selesai bicara— Dasar.”

Ji-ho kembali menikmati minumannya. Ia mengaduk cairan merah dalam cangkir dengan jari telunjuknya. Kemudian, ia membersihkan darah dari jari telunjuk itu dengan lidahnya.

“Lebih enak jika diminum langsung dari pemiliknya,” ucap Ji-ho sambil tertawa pelan.

Hyeon-sol berjalan ke arah danau yang letaknya berada di belakang kastil. Danau ini merupakan tempat favoritnya sejak kecil. Ajaibnya, air di danau itu tidak membeku padahal saat ini musim dingin dan salju turun terus menerus. Di tempat ini Hyeon-sol bisa melepaskan semua beban pikiran dan masalahnya. Tempat ini juga menyimpan kenangan terpendamnnya bersama seseorang.

Mata onxy hitam itu kini terpejam. Seulas senyuman tipis muncul di bibirnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan terpaan angin dingin dan salju yang mulai menutupi sepatunya. Tubuhnya yang sedingin es itu mematung di pinggir danau. Mata onxy milik pria bertubuh tinggi itu terbuka saat mengingat kenangan itu. Kenangan indah bersama cinta pertamanya.

“Aku merindukanmu.”

Note :

*Yeobseyo artinya Halo (biasa dipakai pada percakapan di telepon).