GADIS dengan surai hitam itu menggosokkan kedua telapak tangannya sambil meniupnya pelan. Tangannya terasa beku. Salju kembali turun membuat suhu udara menurun drastis. Musim dingin memang sedikit merepotkan, menurutnya. Butiran es yang meleleh di rambutmu. Mantel. Sepatu. Entah kenapa dia jadi merindukan panasnya sinar mentari. Gadis dengan netra hazel muncul dari balik pintu cafè dengan dua gelas plastik berisi cappucino panas ditangannya. Asap kopi yang mengepul dari balik gelas menarik perhatian Seomi.
“Ini untukmu. Bonus dari bos,” ujar Hera sambil memberikan salah satu cup berukuran sedang itu pada Seomi.
“Terimakasih. Hm? Bonus apa?”
“Aku rasa bos tahu cuaca semakin ekstrem sekarang. Kudengar banyak pegawai yang mengeluh karena harus berangkat saat hujan salju begini.”
Seomi mengangguk pelan. "Artinya kita harus bekerja lebih giat, Kak."
"Iya. Kau benar."
Mereka berdua pun berjalan kaki menuju halte bus yang berada tak jauh dari sana. Sesekali kedua gadis itu berbincang sambil tertawa lepas. Menikmati waktu senggang sangatlah berharga bagi ke duanya. Biasanya mereka hanya berkutat dengan hal menyangkut vampir dan hal lain di markas. Beberapa menit kemudian, raut wajah Seomi berubah serius.
“Kak."
“Iya?”
“Apa kamu masih berhubungan dengan pria itu?”
“Eh?"
Hera mengalihkan pandangannya. "Kalau soal itu ....”
“Tentu kau masih ingat peraturan pertama yang harus kita taati sebelum menjadi hunter?” potong Seomi.
“Aku tau. Setiap anggota dilarang berhubungan dengan vampir dalam bentuk apapun, pengecualian hanya untuk tim Alpha.”
“Kau bisa dikeluarkan dari organisasi, Kak. Skenario terburuknya, ingatanmu akan dihapus. Kau tak akan bisa mengingat kami. Semua hal tentang organisasi. Semua kenangan bersama—“
“Ya. Aku tau itu.”
Tangan Seomi mengepal kuat mendengar jawaban singkat dari mulut gadis di sampingnya. Jika ingatan Hera dihapus, dia tidak akan mengingat apapun tentang organisasi juga tentang dia dan Chan-sol. Semuanya. Apa gadis itu sudah benar-benar yakin dengan jalan yang akan dia pilih?
“Aku tidak akan melaporkan hubungan kalian pada master. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan ada anggota lain yang melaporkan hubungan kalian berdua."
“Aku paham, Seomi. Sekarang aku sudah tidak peduli lagi.”
Langkah kaki gadis bertubuh tinggi itu terhenti. Ia menatap rekannya itu sambil tersenyum lembut.
“Karena aku mencintainya.”
‘Kak Hera ... Kau benar-benar serius?’
Seomi hanya tersenyum mendengar jawaban Hera. Setidaknya dia bisa bernafas lega. Apapun jalan yang dipilih Hera, dia akan mendukung itu. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk gadis yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Seomi tersenyum sambil menatap gadis di sampingnya.
“Orang dewasa memang membingungkan, ya.”
“Memangnya kau pikir aku sudah tua?!” seru Hera.
“M-maksudku bukan begitu.”
Seorang pria dengan surai pirang kecokelatan memanggil nama Hera dari kejauhan sambil melambaikan tangan kanannya ke arah mereka berdua. Senyuman manis yang mampu melelehkan hati hacker tim mereka, Gwan Yeong-Jun.
“Oppa!” teriaknya antusias sambil membalas lambaian tangan pria itu.
Pria itu berjalan mendekat. Raut wajah Hera terlihat senang melihat kedatangan pria yang ia cintai itu.
“Oppa, kenalkan ini Seomi. Seseorang yang sering ku ceritakan. Seomi, ini Yeongjun-oppa. Dia pacarku.”
Pipinya sedikit memerah ketika mengucapkan kalimat terakhir. Seomi hanya bisa menahan tawa. Orang yang sedang jatuh cinta memang berubah.
“Halo," sapa Yeong-Jun ramah.
Gadis di depannya mengangguk kecil. Ia merasa aneh berada di sekitar mereka berdua. Lebih seperti obat nyamuk? Mungkin bisa dibilang seperti itu.
“Senang bertemu denganmu, Seomi.”
“Iya.”
Yeong-Jun tersenyum setelah melepaskan jabatan tangan mereka. Seomi membalas dengan senyuman kecil sambil menyesap cappucino di tangannya tadi. Yeong-Jun beralih mengacak rambut Hera pelan. Pipi gadis itu memerah saat tangan Yeong-Jun menggenggam erat tangannya.
“Apa kau masih kedinginan?” tanya pria itu.
“T-tidak, kok.Sudah lebih baik.”
Seomi pura-pura melihat ponselnya. “Kak, aku pergi dulu. Ada urusan mendadak.”
“Eh-- Kenapa tiba-tiba? Kita belum makan malam--”
“Maaf. Lain kali saja,”potong Seomi sambil berlari menjauh.
Heramemanggil nama gadis dengan surai hitam itu cukup kera. Seomi menutupi telinganya. Pura-pura tak mendengar seruan Hera. Ia terkekeh pelan sambil terus melangkahkan kedua kakinya menuju taman. Seomi berhenti. Manik birunya menangkap satu bangku taman yang kosong tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia duduk sambil mengamati salju yang turun perlahan. Seomi memejamkan matanya sejenak. Seulas senyum terukir di bibirnya. Rasanya menyenangkan melihat Hera menemukan seseorang yang dia cintai.
‘Kapan aku bisa menemukannya juga?’
“Maksudmu kau ingin dibodohi?” tanya seseorang dari arah samping.
Seomi menoleh. Ia mendengus kesal mendapati sosok pria tengah duduk disebelahnya sambil menyilangkan tangan di depan dada. Iris kelam pria itu menatap lurus ke depan. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia tak habis pikir. Di antara milyaran orang di dunia ini, kenapa dia harus bertemu dengan pria menjengkelkan itu lagi.
“Sedang apa kau disini?”
Hyeon-sol menoleh ke arahnya sambil menyunggingkan seringai kecil. Wajah pria itu tampak lebih menjengkelkan saat tersenyum seperti sekarang.
“Tidak suka?”
“....”
“Aneh."
“Apa maksudmu?”
“Wanita lain akan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatianku. Sedangkan kau ... Apa kau tak normal?”
“Maaf saja, Pangeran. Aku samasekali tak tertarik dengan psikopat brengsek sepertimu.”
“Julukan yang bagus.”
Ia mendekatkan wajahnya ke arah Seomi. Mata onxy hitam miliknya beradu pandang dengan iris biru shappire di hadapannya. Hyeon-sol melirik ke bawah sekilas. Lalu, pria itu tersenyum meremehkan.
"Aku jadi penasaran. Bagaimana rasanya memotong lidahmu itu agar kau tak bisa bicara lagi.”
Seomi tertegun. Firasat buruk mulai menghantui pikirannya. Dia salah karena sudah meremehkan pria di depannya. Hyeon-sol tetaplah seorang vampir bangsawan. Kekuatan mereka tentu sangat tak sepadan.
“Waktu bermain sudah selesai, Kim Seomi.”
Tangan besar milik pria itu mencengkeram kuat rahang bawah gadis dihadapannya. Seomi menjerit tertahan. Tangan mungil gadis itu berusaha melepaskan cengkraman tangan Hyeon-sol. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Tenaganya tak cukup kuat untuk melepas cengkraman tangan pria bertubuh tinggi itu.
“Kau harus tahu posisimu, Bodoh.”
“Cih. Apa kau bangga menjadi makhluk menyedihkan yang hanya bisa bergantung pada manusia yang kau anggap lemah?”
“Diam.”
“Kau lebih lemah dari kami. Kalian tidak akan bisa hidup selama itu tanpa darah kami--”
Seomi menjerit pelan ketika pria itu memperkuat cengkraman tangannya. Kuku-kuku pria itu sampai menembus kulit wajahnya. Perih. Cairan merah pekat mengalir keluar membasahi pipinya. Pangeran psikopat itu akhirnya melepaskan cengkeramannya. Darah segar membasahi jari tangannya. Ia mengusap pelan pipi gadis itu dengan tangan besarnya.
“Aku paling benci seorang budak yang tidak mematuhi perintah tuannya.”
“Aku bukan budakmu, Brengsek.”
Ia terkekeh pelan mendengar jawaban gadis di depannya. Netra kelam itu menatap tajam ke arah Seomi. Tangan Hyeon-sol menarik kasar rambut hitam milik gadis itu, memaksanya untuk mendongak ke atas.
“Kau memang harus diajari sopan santun.”
***
Seorang pria tengah duduk sambil memandangi foto seorang wanita muda yang sedang menggendong bayi mungil di lengannya. Bayi perempuan cantik itu memiliki mata biru shappire. Sama dengan dirinya. Wajah polos bayi itu membuat pria itu tersenyum simpul.
“Anak kita sudah besar sekarang. Wajahnya sangat mirip denganmu, Hyojin. Maaf aku tidak bisa menjaga kalian berdua.”
Ia menyelipkan foto tadi ke dalam sebuah buku dan menaruhnya ke dalam laci meja. Dia memejamkan matanya sebentar. Memori saat dia masih bersama dengan wanita cantik itu kembali berputar di otaknya. Ia membuka matanya dan melihat salju yang turun dari balik jendela. Iris biru shappire-nya tampak sendu. Sebuah senyum miris menghiasi bibirnya.
“Aku memang ayah yang terburuk.”