Sekolah dikejutkan dengan berita kehilangan Rachel.
Polisi sudah mencari jejaknya kemana-mana tetapi tidak juga ditemukan. Beberapa orang terdekatnya juga diinterogasi, termasuk aku. Aku berkata jujur apa adanya ketika mereka menanyaiku beberapa pertanyaan. Terakhir aku bertemu dengan Rachel adalah beberapa hari yang lalu, di kelas, saat dia tiba-tiba menerima pesan di smartphonenya lalu pergi begitu saja tanpa membalas sapaanku. Aku memang sedikit bingung saat itu tetapi tidak menaruh curiga sedikit pun. Aku tidak menyangka saat itu akan jadi saat terakhir aku melihatnya.
Kulihat Naura menangisi Rachel. Secara tidak masuk akal dia juga menuduh Joshua sebagai penyebabnya. Tetapi hasil pemeriksaan menunjukan kalau Joshua bersih tidak bersalah. Joshua memang tidak ada di sekolah ketika Rachel menghilang. Tetapi Joshua bisa membuktikan kalau dia tidak bersama dengan Rachel dengan kesaksian dari satpam. Satpam mengatakan kalau Joshua dan Rachel tidak pergi bersama-sama dan saat Joshua kembali, Rachel tidak kembali.
Joshua justru menunjukan beberapa foto dari smartphone temannya yang menunjukan Rachel sedang merokok dengan kakak-kakak kelas. Kakak-kakak kelas yang melabrakku. Joshua menantang para guru untuk menanyai orang-orang itu ketimbang dirinya.
Kakak-kakak kelas itu langsung ketakutan. Mereka berusaha menghindar awalnya tetapi pada akhirnya mengakui kalau mereka dalam satu pertemanan. Jauh sebelum Rachel berteman denganku, Rachel sudah lebih dulu berteman dengan mereka sejak SMP. Kemudian dari itu juga aku tahu kalau Rachel adalah anak nakal yang berteman denganku demi mendekati Joshua, dan aku mengetahui kalau penyebab aku dilabrak kemarin adalah Rachel.
Orang yang kuanggap temanku sendiri.
Joshua benar, aku seharusnya lebih berhati-hati dengan temanku sendiri. Kulirik Naura, dia masih menangis dan menuduh Joshua secara histeris. Sedangkan Adam, sedang entah berada dimana.
Beberapa minggu kemudian, berita mengejutkan datang memperparah atmosfir sekolah. Mayat dengan wajah hancur dan tubuh yang hampir busuk karena air ditemukan di dasar danau saat pekerja dari pemerintah mulai menggali disana. Meski tubuhnya hancur, seragam yang dipakai mayat itu masih utuh dan bisa dikenali. Rachel Winda, nama itu tertera di seragam tersebut.
Seisi sekolah gempar. Naura yang paling histeris. Semua kakak-kakak kelas itu terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Wajah mereka pucat seperti mendapat masalah besar.
Mulai saat itu pencarian pun dihentikan. Keluarga Rachel tampaknya sudah cukup bersyukur dengan ditemukannya mayat Rachel. Mereka menghentikan kasus ini dan memilih untuk mengurusi mayat anak mereka.
Kami mulai menaruh bunga di atas meja Rachel. Aku memandang kelu buket bunga lili yang kubeli lalu menaruhnya dekat foto Rachel yang terpajang di atas meja. Ingin menangis, tapi rasanya tidak ingin juga.
Aku sudah tidak dibully oleh siapa-siapa lagi sekrang. Tetapi tampaknya itu dikarenakan orang-orang mulai menjauhiku, entah mengapa. Bahkan Naura, sejak dia membenci Joshua, dia juga menjauhiku. Sedangkan Adam, dia tidak ingin kelihatan dekat denganku ketika sedang ada orang lain.
Hanya Joshua yang masih tetap sama.
Mungkin tidak juga.
Sejak kejadian Rachel dan pembullyan itu, Joshua semakin protektif padaku. Bahkan jauh lebih parah dari saat aku baru sembuh dari kecelakaan beberapa tahun lalu. Joshua sangat memonitori kegiatanku. Sedang apa, dengan siapa, dimana, dan lain sebagainya. Dia bahkan meninggalkan banyak kegiatan ekskulnya hanya untuk menemani aku lebih lama. Aku mulai merasa sesak kembali dan butuh ruang untuk bernafas.
Aku melepas sebentar kacamata bacaku dan mengusap pelan kedua mataku lalu kembali memfokuskan diri pada buku yang kubaca. Rasanya sulit untuk berkonsentrasi sekarang. Kulihat dahan pohon di depan rumahku mengetuk pelan jendela kamar dikarenakan angin. Pikiranku mulai kacau. Aku terjebak kembali pada masa ingin menghindari Joshua. Tetapi apa akan ada hal buruk lagi jika aku melakukannya?
Ding!
Satu pesan chat masuk. Dengan malas aku hanya melirik smartphoneku. Pasti dari Joshua. Bahkan beberapa chat darinya ada yang belum aku baca karena sudah hafal. Tidak jauh dari bertanya “sedang apa”, “sampai kapan”, dan “kabari aku secepatnya”.
Kunyalakan smartphoneku dan membuka aplikasi chat. Dengan hati-hati mengecek inbox tanpa membuka chat dari Joshua yang belum dibaca. Terkadang aku hanya ingin membukanya dan malas membalasnya. Tetapi jika tidak dibalas, Joshua akan semakin ganas mengirimkan pesan. Aku tidak ingin repot.
Mataku menangkap sebuah nama lain. Adam. Dia yang mengirimkan pesan barusan. Tumben sekali. Aku membuka chatnya dan dia mengirimkan pesan yang membuatku bingung.
"Jauhi Joshua"
Aneh? Kulihat dia tidak pernah punya masalah dengan Joshua. Terlebih, dia sangat jarang berkomunikasi denganku akhir-akhir ini. Sekarang tiba-tiba dia menyuruhku menjauhi Joshua?
"Ada apa emangnya?" balasku.
Baru beberapa detik pesan itu dikirim, smartphoneku bergetar keras. Aku kaget dan hampir saja smartphoneku jatuh. Sebuah panggilan masuk, dari Joshua. Aku jadi pucat.
"Ha-halo..." jawabku gugup.
"Kenapa gak dibalas?"
"Aku baru aja buka handphone. Baru mau buka chatmu..."
"Bohong" aku tersentak mendengarnya.
"Kamu online lebih dari beberapa menit dan gak buka chatku. Daritadi juga kamu tahu chatku masuk tapi kamu gak buka" lanjutnya, memojokkanku.
Aku kembali layar Home tanpa menyudahi panggilan itu dan membuka aplikasi chat. Kulihat chat dari Joshua dan kembali pucat setelah kutahu apa yang dia kirim.
"Hanessa"
"Kenapa dilihat saja lampu notifnya. Balas"
"Han"
"Chat siapa itu yang masuk? Balas punyaku dulu"
"Hanessa I'm getting angry"
"Han"
Pesan terakhir yang dia kirim hanya "Han" kupikir dia hanya memanggilku biasa. Tunggu, dia tahu dari mana ada chat orang lain masuk dan aku menunda-nunda membuka chatnya? Kalau dia bisa tahu aku online, mungkin bisa dari status onlineku tapi kedua soal itu, aku tidak mengerti.
"Jo, kamu tahu darimana...?" tanyaku gugup. Tengkukku sudah mendingin.
"Aku 'kan sudah sering bilang" suaranya di seberang sana tertahan.
"Aku selalu memantau kamu" lanjutnya.
Tiba-tiba aku merasa sangat diperhatikan. Seperti seluruh barang di kamarku memiliki mata. Aku menelan ludah sebelum menjawabnya. "Ka-kamu ga pasang cctv atau penyadap kan di kamarku?!" tuduhku
"Mungkin...? Entahlah. Perasaanku kuat ke kamu, aku bisa tahu apa saja" balasnya santai.
"Gila ya kamu"
"Karena kamu"
Aku tersentak, sempat terdiam beberapa detik. Ini hampir di luar batas pertemanan. Aku benar-benar harus menghindarinya sekarang. Otakku berpikir cepat untuk membuat alasan.
"Jo, sorry, besok gak usah datang jemput aku. Aku mau pergi naik motor"
"Sama siapa?" tanyanya. Suaranya setenang air.
"Adam, temanku"
"Why?"
"Aku ada urusan sama dia"
"Aku antar kamu naik motor. Ketemu dia di sekolah saja" tawarnya, meski terdengar lebih ke perintah. Emosiku terpancing lagi karena sikapnya ini.
"Kamu bukan orangtua ku kan? Jangan ngatur! Kita udah sering deh berantem kayak begini, udahlah Jo!" bentakku langsung.
Tiada suara diseberang sana, hanya suara nafas pelan yang terdengar. Joshua masih di seberang sana. Aku tidak peduli. Jika dia tidak mau menjawab itu bukan urusanku. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mematikan panggilan ini.
"I just want to be the first man you see in your morning"
Tanganku berhenti ketika Joshua akhirnya menjawab. Butuh beberapa detik aku menangkap maksud omongannya. Dia... Ingin apa?
"...and then be the first person you'll see every morning when you woke up" lanjutnya.
"Han, do you hate me?"
Aku langsung menutup telefonnya. Tidak menjawab, tidak tahu apa yang ingin dikatakan. Aku memang mengenal Joshua sejak lama tapi kali ini rasanya seperti menerima telefon dari orang yang tidak kukenal namun menyatakan cinta.
Cinta...?
Apa mungkin? Joshua mencintaiku? Tetapi, ini tidak seperti definisi cinta yang mama ajarkan padaku. Cinta yang kutahu adalah sabar, lemah lembut dan pengertian. Tidak memaksa dan mendominasi. Jika Joshua benar mencintaiku, seharusnya tidak seperti ini. Perasaannya padaku terasa sakit sekali. Aku tidak bisa bernafas.
Smartphoneku bergetar lagi, kali ini chat masuk dari Adam. Aku segera membacanya tetapi harus kecewa karena dia hanya memberikan alasan klise. "Ya pokoknya jauhi aja Joshua, ya" balasnya. Aku pun sudah berniat untuk itu.
Aku segera membalas apa dia mau menjemputku ke sekolah besok pagi. Meski dia sedikit ragu, tetapi pada akhirnya dia setuju. Aku lega. Setidaknya bisa menghindari Joshua besok pagi.
Aku merebahkan diri kembali ke atas kasur. Aku menghembuskan nafas lega. Kurasakan smartphoneku bergetar sekali lagi di telapak tanganku dan aku langsung membukanya. Kupikir itu hanya balasan chat dari Adam.
Namun ternyata perkiraanku salah. Aku terlanjur membuka chat itu dan tidak bisa menghindari lagi. Chat itu dari Joshua.
"I have a confession for you. I can't wait. See you tomorrow, Hanessa"
***
Adam.
Adam Hizkia Lubis.
Kelas 10 C, sekelas dengan Hanessa. Duduk beda dua kursi dari sebelah kiri dari Hanessa. Berkali-kali kelihatan sedang menatap Hanessa diam-diam. Bukan memandangi wajahnya, tapi memandangi dada dan pinggangnya. Tidak punya track record buruk. Hanya saja tidak punya teman laki-laki karena sedikit ‘melambai’.
Tidak, dia normal. Aku tahu dia normal, bahkan cabul. Dia tidak tertarik pada laki-laki. Dia begitu agar bisa dekat dengan banyak perempuan. Dan kini Hanessa salah satu wanita yang dekat dengannya. Aku tahu dia merencanakan sesuatu jika dia tidak menjauhi Han setelah apa yang kulakukan pada Rachel. Dia dan Naura pasti sebetulnya tahu yang terjadi dan tahu hubunganku dengan Han. Meski begitu, dia masih berani mendekati Han.
Aku mempertanyakan jika serangga sampah bernama Adam ini masih punya pikiran untuk meremehkanku. Bahkan Rachel yang perempuan saja kubuat seperti itu. Apalagi laki-laki sepertimu, aku tidak akan main halus. Brengsek.
Aku melihat keluar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi besok. Angin yang sama juga pasti terlihat dari kamar Hanessa. Ribut dan membawa sedikit kehancuran. Seperti apa yang kurencanakan pada Adam.
"Han, do you hate me?"
Ucapanku pada Hanessa tadi tiba-tiba kembali terngiang. Perasaanku sudah meluap, hampir tumpah. Aku tidak bisa menahannya lagi. Segera, harus segera. Aku harus segera memiliki Hanessa. Dia akan diambil orang lain jika aku tidak cepat. Dan membiarkan dia dekat dengan orang yang punya niat jahat padanya, apa dia pikir aku akan diam saja? Cukup dengan nama itu saja, aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.
Aku mengetik pesan terakhirku malam ini pada Hanessa. Aku tidak sabar, ya sangat tidak sabar untuk besok. Han akan jadi milikku.
"I have a confession for you. I can't wait. See you tomorrow, Hanessa"