Alma sempat mengira bahwa mereka akan makan di sebuah restoran mewah di hotel bintang lima—fine dining dengan cahaya lilin, pemandangan malam kota Jakarta, dan pelayan berdasi kupu-kupu yang mengantarkan botol wine. Namun ia sadar bahwa mereka tidak sedang berbulan madu, dan ia bukanlah pelacur dari kalangan artis yang tarifnya lima puluh juta rupiah semalam. Karena itulah, saat Said mengendarai mobilnya masuk ke jalur drive-thru sebuah restoran cepat saji, Alma sama sekali tidak protes.
Dua buah kotak berisi nasi "organik", ayam goreng, minuman bersoda, dan kentang goreng ukuran reguler mereka terima lewat jendela mobil. Setelah mendapatkan uang kembalian, Said segera memarkirkan mobilnya di lapangan parkir yang lengang, mematikan mesin, dan membuka jendela. Angin malam kembali menggerayangi tubuh mereka. Untunglah hujan sudah reda, mereka tidak perlu takut terciprat air hujan.
Alma keluar dari pintu belakang, kemudian pindah ke kursi depan di sebelah Said. Ia tidak ingin pelanggannya itu malah terasa seperti supir pribadinya.
"Tadinya saya mau ajak kamu makan di restoran yang lebih bagus, tapi jauh, nanti keburu lapar," ujar Said sambil mengambil kotak makanannya.
"Nggak masalah, ini juga enak, kok," jawab Alma.
Ia baru sadar bahwa sebenarnya sejak tadi perutnya sudah kelaparan. Akhir-akhir ini ia memang sudah berhenti makan malam. Selain karena diet, ia juga harus mengirit pengeluaran. Namun tampaknya, malam yang "tidak biasa" ini telah menguras energinya berkali-kali lipat.
Alma bersyukur Said mengajaknya makan terlebih dulu. Meski begitu, di dalam hati, Alma juga bertanya-tanya, kenapa mereka tidak makan di dalam restoran saja? Seolah-olah mereka begitu terburu-buru sampai harus makan di tempat parkir. Mungkin laki-laki ini khawatir tarifnya akan dihitung per jam, padahal mereka bahkan belum bernegosiasi masalah harga.
Sepanjang perjalanan tadi, mereka memang tidak banyak bicara. Alma sudah mencoba memulai obrolan, tapi Said tidak terlalu menanggapi. Ia lebih sering tersenyum sambil sesekali melirik ke arahnya. Entah apa yang ada di pikirannya. Alma sama sekali tidak membayangkan bahwa pelanggan pertamanya adalah laki-laki seperti ini. Ia sudah membayangkan om-om genit yang tak sabar menggerayanginya, memperlakukannya seperti binatang atau bahkan benda mati, kemudian meninggalkan segepok uang dan melupakannya begitu saja. Namun laki-laki di sampingnya tampak seperti spesies yang sangat berbeda. Mungkin tidak sepenuhnya seperti stereotip CEO tampan di novel-novel internet, tapi setidaknya ada kecenderungan ke arah sana.
Ia mencoba menerka, mungkinkah ini juga pengalaman pertama Said menyewa PSK? Jika ya, mereka benar-benar cocok. Alma pun tak perlu sungkan lagi, sebab mereka sama-sama tak tahu apa yang harus dilakukan. Ah, tidak mungkin, pikirnya. Bahkan hampir semua teman lelaki di kampusnya dulu pernah jajan di panti pijat plus-plus, termasuk yang bertampang lugu sekalipun.
Alma ikut mengambil nasi dan ayam goreng sambil mengamati Said yang sudah mulai menyantap dengan lahap.
Ia percaya bahwa cara seseorang menyantap nasi cepat saji dapat melambangkan kepribadiannya. Setidaknya ada dua gaya yang selama ini ia amati. Gaya pertama adalah gaya "menelanjangi" atau disebut juga gaya konservatif, yaitu dengan cara membuka seluruh bungkus kertas, meletakkan nasi di atas wadah atau meja, lalu menyantapnya dengan tangan seperti sedang makan di warteg. Orang yang makan dengan gaya ini biasanya adalah orang yang blak-blakan, cuek, tidak suka basa-basi, tetapi jujur dan bisa diandalkan. Tidak pintar foreplay, tetapi bertenaga.
Gaya kedua adalah gaya "mengintip", yaitu dengan cara membuka sebagian bungkus kertas, lalu menggigit bagian nasi yang mengintip keluar. Orang yang nyaman dengan gaya ini biasanya adalah orang yang tertutup, sabar, efisien, romantis, tapi juga penuh tipu daya. Ia pandai memancing gairah, tapi sulit dipahami.
Said tampak menggunakan gaya kedua, ia menggigit nasi seperti sedang memakan burger. Namun pada satu titik, ia tampak gelisah dan kemudian membuka bungkus nasi itu seluruhnya. Cara makannya menjadi berantakan, bahkan ada beberapa butir nasi yang jatuh ke jok mobil. Alma berhenti membuat artikel majalah wanita dewasa di kepalanya ketika Said tiba-tiba bersuara.
"Lagi diet? Atau nggak doyan?"
"Oh, nggak. Kayanya masih panas banget, agak susah makannya." Alma lalu mulai membuka bungkus nasinya—dengan gaya mengintip—sambil sesekali meniupnya. Ia tak habis pikir bagaimana Said bisa melahap nasi sepanas ini dengan mudahnya. Ia pun beralih mencomot kulit ayam goreng yang renyah dan tidak terlalu panas.
"Baru pertama kali, ya?" tanya Said lagi.
"Apanya? Makan ayam?" balas Alma.
"Bukan. Jadi ayam."
Pipi Alma terasa panas mendengar kata-kata itu. Untunglah ia bukan tipe orang yang wajahnya mudah berubah warna. Di tengah kebingungan, Alma menganggukkan kepalanya.
Lalu Alma merasa menyesal setengah mati.
Seharusnya ia berbohong. Seharusnya ia tidak boleh terlihat amatir. Kalau sudah begini, ia pasti akan dipermainkan. Lelaki hidung belang senang dengan perempuan polos yang tidak berpengalaman karena bisa dibodohi. Apa yang akan dilakukannya setelah ini? Membuangnya di tengah jalan setelah bosan? Atau malah menjualnya ke luar negeri kepada sebuah sindikat human trafficking?
"Kenapa?" tanya Said, lalu mengunyah sebatang kentang goreng.
"Kenapa apa?" Alma balas bertanya, "Kenapa baru pertama kali?"
"Bukan. Maksud saya, kenapa kamu … begini?"
Alma belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Haruskah ia menjelaskan semuanya dari awal? Mungkin ia bisa mulai menceritakan hubungannya dengan mantan pacarnya yang brengsek dan pengecut itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia harus profesional, ia tidak mau terlibat terlalu pribadi dengan laki-laki yang menyewanya.
"Ceritanya panjang. Intinya, aku punya utang. Banyak. Aku butuh uang cepat supaya nggak diusir dari kontrakan dan dihajar preman rentenir," ucap Alma sambil berusaha memasang wajah setenang mungkin.
"Menjual diri sendiri sebelum dijual orang lain," ucap Said, kemudian tersenyum sambil membetulkan kacamata dengan bagian telapak tangannya yang masih bersih.
Alma tidak yakin apa maksud kalimat itu, tapi ia tetap mengangguk-angguk, seolah setuju. Ia balik bertanya, "Kalau Om, pasti udah sering, kan?"
"Sering apa?"
"Jajan."
"Nggak pernah, sama sekali nggak pernah. Ini cuma …."
"Bohong," potong Alma, mencibir.
"Sumpah. Baru kali ini," ucap Said sambil membentuk huruf V menggunakan dua jarinya, kemudian kembali menyuap nasi.
"Terus, kenapa mau bawa aku tadi?"
Said menghabiskan makanan di mulutnya, kemudian menyedot minuman hingga tenggorokannya bersih. Dengan suara yang nyaris berbisik, ia menjawab, "karena kamu cantik."
Alma tidak yakin apakah ia harus tersipu malu atau malah tertawa terbahak-bahak. Namun sepertinya ia lebih cenderung ingin tertawa terbahak-bahak. Laki-laki ini benar-benar aneh. Untuk apa merayunya dengan gombalan seperti itu? Apa dia ingin dapat gratisan? Alma teringat cerita Nadin bahwa ada tipe lelaki hidung belang yang hobi berburu gratisan dengan bersenjatakan rayuan iblis. Laki-laki tipe ini, kata Nadin, adalah spesies paling busuk di antara semua lelaki petualang dunia lendir.
Lalu Said melanjutkan, masih dengan suara yang pelan. "Kamu mirip Melinda."
"Melinda?"
"Istri."
Tentu saja laki-laki dewasa dan mapan ini sudah punya istri, gumam Alma dalam hati. Laki-laki memang makhluk brengsek. Ketika istrinya sudah mulai gendut dan berkeriput, ia akan mencari wanita lain untuk melampiaskan hasratnya, sambil tetap mengklaim masih "mencintai" istrinya. Dalam otak mereka, cinta dan nafsu adalah dua hal yang berbeda. Namun ia tak habis pikir, untuk apa mencari pelacur yang mirip istrinya sendiri? Demi mencari versi yang lebih muda? Buang-buang uang saja. Alma tertawa spontan. "Apes banget sih, Om. Jalan sama cewek lain, eh malah mirip istri sendiri."
"Nggak apa-apa," timpal Said sambil berusaha ikut tertawa. "Jadi bisa nostalgia."
"Emang istrinya ke mana?"
"Udah nggak ada."
Alma terdiam selama beberapa detik, berusaha mencerna maksud jawaban Said. "Sori, maksudnya, udah … meninggal?"
Said mengangguk.
Alma menahan napas. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah telah menertawai Said. Bila ia mengurutkan semua kepingan kejadian, sikap Said jadi lebih masuk akal. Tatapan matanya saat mereka bertemu di tengah hujan, alasan mengapa ia mau mengajak Alma masuk ke dalam mobilnya, lalu rayuan gombal dan canggungnya itu; semua itu mungkin karena ia rindu dengan almarhumah istrinya.
Mereka menghabiskan makanan masing-masing tanpa banyak bicara lagi. Obrolan mereka memudar begitu saja seperti efek fade out di penghujung lagu. Alma larut dalam pikirannya sendiri, dan setiap kali ia menyadari Said sedang mencuri pandang ke arahnya, ia menjadi gugup. Tiba-tiba saja acara pelacuran ini terasa sedikit lebih "mulia" dari yang ia harapkan. Ada semacam perasaan bahagia yang sudah lama tak ia rasakan di dalam dirinya kini muncul kembali.
Said sempat membeli dua gelas kopi sebelum melanjutkan perjalanan—lagi-lagi lewat drive thru. Ketika Alma bertanya kenapa Said tampaknya senang sekali dengan drive thru, lelaki itu malah menjawab dengan sok filosofis: karena hidup ini seperti drive thru, kita hanya melintas sebentar, kemudian pergi melanjutkan perjalanan.
---