Kakiku masih melangkah pelan menelusuri hutan bersalju ini dengan kewaspadaan. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah tempat yang mungkin dapat aku katakan adalah jalan buntu.
"Tebing? Apakah aku salah jalan?"
Namun, sepertinya aku terlalu cepat untuk berasumsi. Ada sebuah jembatan di sebelah kanan sana yang terlihat masih utuh. Ya, setidaknya jembatan itu tidak bobrok ataupun rusak.
Akhirnya aku pun menyeberanginya dengan pelan-pelan dan berharap tidak ada sesuatu yang aneh-aneh. Setelah aku sampai di bagian ujungnya, pada bagian samping kanannya terdapat sebuah tangga menurun.
Dengan rasa penasaran aku pun menuruninya dan tidak lama kemudian aku bisa melihat pembatas hutan yang memisahkan dua buah bagian. Mungkin hutan itulah yang mereka namai sebagai Hutan Brimming Hood.
Setidaknya aku sudah sampai di tempat tujuanku. Berjalan kembali dengan kewaspadaan, indra pendengaranku semakin menajam untuk memastikan tidak ada keberadaan serigala itu sebelum aku tiba di dalam hutan itu.
Begitu aku masuk ke dalamnya dan menembus beberapa semak-semak yang menghalangi. Pemandangan dihutan ini lebih mirip seperti hutan hujan tropis yang membeku dan tertutupi oleh gundukan salju.
Begitu putih dan terlihat seperti sebuah hutan yang mati. Namun, tidak bagi beberapa tumbuhan yang masih terlihat hidup di antara kenampakan tragis di sini.
Akar-akar menggantung seperti seseorang yang meminta tolong, beberapa pohon layu memperlihatkan ukiran batangnya seperti wajah sesuatu yang penuh kesakitan. Mungkin jika tempat ini dijadikan wahana rumah berhantu akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa, tetapi sayangnya hal itu tidak berguna di sini.
Setelah beberapa saat aku berjalan menelusuri hutan ini pendengaranku menangkap sebuah suara aneh. Karena itulah saat ini aku waspada dan melirik sekitarku dengan penglihatan tajam.
"Kawan... apakah kau di sana? Jika iya beri aku kepastian, maka dengan begitu aku bisa tenang, dan tidak was-was karena suara aneh itu!"
Namun, semakin kudengar suara itu sangat tidak asing. Suara itu mirip seperti langkah kaki yang terburu-buru dan mengentak kuat layaknya hantaman besi yang menggetarkan tanah.
Aku pun telah siap dengan segala kemungkinan yang ada, tapi siapa yang akan menyangka, jika sesuatu yang mengeluarkan suara seheboh itu tidak lain, dan tidak bukan adalah boneka salju berbentuk manusia.
Tampaknya makhluk yang menjadi tamuku setelah Vice adalah boneka salju ini.
Ia seperti manusia pada umumnya, hanya saja ia memakai sepasang sarung tangan oversize, dan sepasang sepatu dengan alas besi pada bagian bawahnya.
Entah mengapa makhluk ini mengingatkanku pada pengendara motor di kota duniaku. Pasalnya bukan saja sarung tangan dan sepatu, ia juga menggunakan sebuah helm yang anehnya itu adalah ember merah.
Namun yang membedakannya dengan pengendara motor adalah mereka membawa motor sedangkan ia membawa sebuah pedang kayu.
Walaupun ia adalah boneka salju berbentuk manusia, tetap saja aku tidak bisa meremehkannya semudah itu. Berbeda dengan duniaku, dunia ini memiliki sesuatu yang dinamakan monster, dan makhluk di depan ini adalah salah satunya.
Bentuknya mungkin tidak mengancam, tetapi kemampuannya mungkin dapat membentak. Aku tidak tahu jenis serangan apa yang bisa ia lakukan dan ia lancarkan. Namun, hanya dengan berbekal pengalamanku ketika melawan makhluk hijau—Troll itu ketika menyelamatkan Eli.
Namun, kali ini monster di depanku sedang dalam mode penuh kewaspadaan, tidak seperti Troll sebelumnya yang lengah karena fokus terhadap Eli.
Aku pun mengeluarkan belati dan meletakan tas selempangku agar tidak hancur ataupun rusak ketika melawannya. Dari postur tubuh itu, tampaknya ia mulai siaga dan ingin mulai menyerangku.
Seperti sebelumnya, aku bukanlah tipe orang yang memiliki inisiatif tersendiri jika tidak mengetahui kondisiku dengan baik. Karena itulah aku menunggunya menyerangku.
Ia pun berlari ke arahku dengan kaki rantingnya yang kokoh. Setelah itu mengayunkan pedangnya ke arahku di mana aku bisa melihat alisnya bergerak seperti sedang berusaha menyampaikan sesuatu.
Aku pun menunduk dan berhasil menghindarinya. Namun, ia kembali menyerang, dan berusaha menyudutkanku. Sayangnya tidak semudah apa yang ia bayangkan, aku berhasil menahan serangannya dengan belatiku.
Ini benar-benar tidak mudah. Aku membayangkan bagaimana kehidupanku dapat terancam karena sebuah boneka salju berbentuk manusia yang menggunakan helm ember merah berusaha menyerangku dengan pedang kayu.
Namun, aku juga tidak ingin terus diserang layaknya samsak tinju. Kutendang kaki kirinya dengan kuat sehingga membuat keseimbangannya menjadi goyah lalu menyayat kepalanya dengan cepat.
Kepala sang boneka salju pun lepas dari tubuhnya dan tampaknya pekerjaanku di sini telah selesai. Itulah yang aku pikirkan sebelum tubuhnya kembali bergerak dan mencoba menusukku dengan pedang kayunya.
"Demi sempak Zeus! Bagaimana seekor monster sepertimu masih bisa hidup ketika kepalanya copot?!"
Sontak aku pun melompat mundur secara refleks berusaha menghindarinya serangannya. Setelah itu ia pun memasangkan kepalanya lagi, tetapi...
Apa aku yang bodoh atau monster ini yang pelawak? Kenapa memasang kepalanya terbalik?
Ketika ia berusaha menyerangku lagi, serangannya itu tidak menentu, dan selalu salah sasaran. Ternyata ia tidak bisa melihatku ada di sini dan di saat monster itu berusaha memperbaiki posisi kepalanya, aku pun segera berlari ke arahnya sambil melancarkan dua buah tebasan.
Alhasil boneka salju itu pun tersentak dan jatuh dengan lengan yang lepas. Sekali lagi aku pun menerjangnya, setelah itu kuhunjam tubuhnya dengan belatiku sekuat tenaga.
Awalnya ia berusaha melawan, tetapi lama-kelamaan perlawanannya itu sia-sia, dan akhirnya aku berhasil menghunjam tubuhnya dengan kuat sekali hingga menghancurkannya berkeping-keping.
Setelah yakin semuanya telah berakhir, aku pun bangkit lalu membuang napas membayangkan pertarungan tadi. Ini adalah boneka salju dan bisa memberiku tekanan seperti itu, apalagi serigala yang nanti aku lawan.
Bukankah itu seperti membandingkan pisau kayu dan pisau asli? Monster yang aku lawan saat ini adalah salah satu dari banyaknya mereka dengan tingkat kesulitan yang mungkin tidak terlalu membahayakan nyawaku.
Namun, hanya dengan keberadaannya bisa membuat pemula sepertiku sedikit ketakutan.
"Perbedaan yang sangat mencolok," gumamku lalu mengambil napas, "huh?"
Penglihatanku kini terpaku pada beberapa serpihan yang muncul dan saling menyatu. Perlahan-lahan serpihan itu membentuk sebuah kristal biru samar. Bagian dalamnya memancarkan cahaya kecil yang berkedip-kedip.
Kristal itu mulai mendekatiku. Belati yang berada di dalam genggaman tanganku lepas dan mengambang mendekatinya.
Jangan-jangan perkataan pengrajin senjata itu....
Ketika kristal itu masuk ke dalam belati milikku. Entah mengapa tubuhku merasa seperti kejang-kejang. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri dan pada akhirnya penglihatanku tiba-tiba saja menggelap.
***
"Urghh...."
Perlahan-lahan kesadaranku mulai pulih dan aku merasa tubuhku mendapatkan sengatan di berbagai titik. Seperti kepala dan dadaku.
"Itu benar-benar mengejutkanku...."
Dalam posisi terlentang seperti ini, aku berusaha bangkit. Aku juga tidak tahu sudah berapa lama aku berada di tempat ini.
Begitu aku berhasil menyeimbangkan tubuhku kembali, tiba-tiba saja beberapa gambaran yang asing muncul di dalam benakku.
Selain itu juga aku merasa kepalan tanganku begitu dingin.
"Huh?!"
Aku benar-benar kaget ketika mengetahui bahwa tanganku mengeluarkan sebuah uap yang sangat dingin. Namun, anehnya uap itu tidak memiliki efek apapun terhadap tubuhku.
Aku pun mencoba berbagai hal sesuai dengan gambaran-gambaran aneh yang terlintas di dalam benakku.
Pertama adalah mencoba melenyapkan uap itu dan menjadikannya sebuah aura pertahanan tubuh yang mana membuatku tahan akan suhu dingin. Ini menarik.
Kedua adalah mengimplementasikannya pada serangan dan juga kekuatan jangkauan serangan belati. Ketiga adalah mengetahui bahwa seluruh tubuhku telah dibuat ulang atau mungkin direstorasi hingga ke tahap tertentu dan terakhir adalah aku tahu bahwa kristal sebelumnya adalah sebuah kristal unik yang dapat memberikan penggunanya sebuah atribut elemen.
"Biar aku coba," ucapku lalu mengibaskan lengan.
Sebuah aura putih yang halus menyerbak dan langsung menghantam pohon di samping kananku. Menghancurkan bagian tengahnya hingga menumbangkannya dalam sekali serang.
"I-ini bohong,... 'kan?"