Contracted Servant

Arghhh!! Mengapa aku harus bertemu dengan perempuan merepotkan seperti ini? sudah cukup dengan si Nenek pemilik penginapan, mengapa harus bertambah lagi satu sih?

"Tentang itu... kau bisa mengambil jubahku—"

"Tunggu! Kau bisa saja dibunuh olehku, mengapa kau bisa bersikap setenang itu?" tanyanya sambil menarik lengan bajuku.

"Huh?! Apa katamu?!"

Aku tidak habis pikir bahwa kata-kata yang muncul dari mulutnya setelah ditolong olehku adalah sebuah prosa yang sangat aneh.

Mengapa ada orang yang sudah ditolong malah ingin membunuh penolongnya? Ayo kita bedah kalimat ini dari sudut pandang sebab dan akibat lalu menuju maksud dan tujuan.

Aku adalah orang yang menolongnya karena memang tidak memiliki tujuan atau maksud tertentu. Itu hanyalah murni karena kebetulan, tetapi setelah ia siuman, tiba-tiba saja ia menginginkan nyawaku.

Kita tidak pernah bertemu. Punya dendam saja tidak, utang? Sepertinya bukan juga, lalu apa? Mungkin karena aku mirip seperti orang yang dibencinya? Mungkin, tapi probabilitasnya rendah. Tidak ada relasi di antara kami baik masa lalu ataupun saat masa ini, itu menyimpulkan bahwa pernyataannya tidak logis dan memiliki unsur ambiguitas.

Kedua, kita bedah dari sudut maksud dan tujuan... "Tunggu!" itu artinya ia menginginkanku tetap berada di sana sementara waktu, ini ok, dan tidak ada tujuan yang aneh selain membuatku bertahan di sana.

Selanjutnya adalah "Kau bisa saja dibunuh olehku,... " kalau ini adalah kalimat aktif yang memiliki arti atau maksud ganda. Maksud dalam kalimat pernyataan ini adalah bahwa aku bisa saja dibunuh olehnya atau bisa juga oleh orang-orang atau makhluk yang sedang memburunya. Ini menjelaskan kalau tujuannya baik dan mencoba memperingati diriku, tapi dengan nada dan intonasi seperti itu, tentu saja membuatku waspada.

Ketiga adalah "kenapa kau bisa bersikap setenang itu?" kita perhatikan contoh yang satu ini. ini menunjukkan kalau ia sedang kebingungan dan membutuhkan jawaban yang mana mengarah pada perspektif diriku. Tentunya aku tenang karena sebelumnya tidak pernah ada orang yang berbicara seperti itu kepadaku.

Selain itu responsku tidak tepat pada waktunya, ini menimbulkan pertanyaan kedua. Mengapa aku tidak panik? Semua itu telah dijawab oleh pernyataanku sebelumnya, yaitu "Hanya kau memiliki derajat yang tinggi dariku, bukan berarti kau bisa seenaknya saja" ini adalah bukti nyata yang menyatakan bahwa aku tidak panik, hanya responskulah yang kurang tepat.

Pernyataannya ini juga menyangkut hakku sebagai manusia dan telah tertulis pada aturan pasal. Yaitu, hak kebebasan untuk memilih... spesifiknya adalah kebebasan dari rasa takut dan mengemukakan pendapat.

"Kau ini memang perempuan yang aneh. Tentu saja aku takut jika ada seseorang yang menginginkan hidupku, tapi apakah kau pernah berpikir apa untungnya membunuhku?"

"Eh?"

"Dasar!" tukasku lalu menyentil jidatnya. "Ingatlah, aku memiliki tiga moto yang selalu kupegang setiap saat"

"Ouchh!! A-apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti—"

"Satu," ucapku datar sambil mengacungkan jari telunjuk, "lakukanlah apa yang kau anggap benar, meskipun orang lain menganggapnya salah"

"E-eh tunggu... aku juga belum selesai—"

"Dua!" potongku sambil menambahkan jari tengah, "jika kau berbuat salah, maka perbaiki dan gunakan itu sebagai referensi untuk memperbaiki dirimu sendiri. Karena suatu saat akan ada masanya kesalahan itu dapat menolong seseorang"

"Hei!—"

"Ketiga," lanjutku dengan nada dingin sambil menyentil jidatnya lagi lalu menambahkan jari manis, "aku tidak pernah dan tidak ingin mengingat kebaikan diriku sendiri. Karena aku hanya ingin membantu dan tidak mengharapkan apa-apa dari mereka. Ingat itu baik-baik wanita bergaun hitam!"

"Ouchh!!—kenapa kau menyentil jidatku lagi? Itu sakit tahu!" gerutunya sambil menutupi jidatnya.

"Kalau begitu aku pergi dan terima kasih karena telah menyembuhkan lukaku... "

"Eh? Kau mengetahuinya?! Sejak kapan?"

Namun, aku menghiraukannya, dan segera membereskan semuanya sebelum aku beranjak dari sini menuju tujuanku selanjutnya.

Begitu aku bangkit dan ingin melangkah, tiba-tiba saja ia meneriakiku dengan kencang sekali.

"TUNGGUUUU!!!"

Kuharap ia tidak berulah lagi atau melakukan sesuatu yang aneh.

Namun, tampaknya permintaanku itu terlalu mewah, karena saat ini sedang jatuh dengan kedua lututnya selagi kedua

tangannya saling menggenggam.

[Ahhh... Rajaku, Kini Aku Menemukan Seseorang Untuk Kupercayai]

[Seorang Yang Tidak Takut Akan Kematian dan Juga Tidak Takut Akan Kehadiranku]

[Ahhh... Rajaku Kini Aku Menemukan Tuan Yang Dapat Kulayani]

[Kuserahkan Jiwa dan Ragaku Bahkan Sekalipun Tubuhku Yang Tidak Murni Ini]

[Saya Valeria, Sang Pendosa Akan Menyerahkan Semuanya Kepadamu, Rajaku]

[Rajaku, Tuanku Terimalah Hambamu Yang Sungguh Hina Ini Untuk Melayanimu Seumur Hidup Hingga Kematian Memisahkan Kita]

Setelah ikrar itu selesai, tiba-tiba saja muncul sebuah rantai hitam dari dadanya. Rantai itu mulai meliliti lengan kananku sepenuhnya. Tidak lama setelah itu muncul sebuah tato pada bagian atas dadanya.

Begitu semuanya telah selesai. Seluruh tubuhnya berubah dengan sangat cepat menjadi wanita dewasa yang mana ada beberapa bagian sensitif yang benar-benar bisa kulihat saat ini.

Yang aku bisa katakan saat ini adalah....

"Yang benar saja...."

Mata merah pekat yang sebelumnya menindas itu kini lebih terlihat hangat. Kulitnya yang putih pucat kini terlihat lebih hidup. Dada, pinggang, pinggul, tinggi badan, paras wajah... semua itu berubah secara drastis.

Namun, apa yang membuatku tercekat adalah matanya yang kini menatapku penuh dengan kasih sayang. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi itulah yang aku rasakan ketika melihatnya secara langsung.

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku, aku terpana melihat seorang perempuan, dan perempuan itu kini sudah membuat ikrar denganku. Itu artinya ia telah menjadi milikku, meskipun dalam artian lain.

"Hamba adalah seorang mantan Permaisuri Vhamps yang kini telah menjadi seorang Pendosa, Master. Tolong limpahkan segala kasih sayang dan semua cinta yang Master miliki pada hamba rendahanmu ini. AHhnn... hamba adalah Valeria Kriez

Harth, seorang Vhamps dengan kasta tertinggi memohon ampunanmu yang paling dalam," tuturnya lemah lembut.

Saat ini aku benar-benar kehabisan kata-kata dan tidak tahu harus berbuat apa. Semua itu terjadi begitu cepat. Namun, entah mengapa suaranya membuatku merasa aman, dan tenang.

Aku tahu perkataannya itu tidak bisa kuganggu, tetapi mengapa ujung-ujungnya seperti ini?

"T-t-tunggu dulu sebentar. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa kau mengatakan itu?"

"Mengapa wajahmu seperti itu, Master? Apakah sihir penyembuhku masih kurang?"

For pete shake! Aku sama sekali tidak menginginkan hal ini terjadi!

"B-bukan seperti itu, tapi lebih tepatnya—MENGAPA KAU MENGUCAPKAN SUMPAH DI DEPANKU?!" tanyaku geram.

Namun, perkataannya itu seperti sebuah kebenaran yang mana tubuhku tiba-tiba saja menjadi lemas. Aku merasa kakiku juga seperti diremas. Apakah luka yang sebelumnya ia sembuhkan masih belum sepenuhnya pulih?

"Master?!"

Sebuah lingkaran sihir muncul tepat di hadapanku. Dalam lingkaran itu terdapat beberapa kata yang tidak aku mengerti dan sebuah lambang berbentuk segi enam yang saling menyatu satu sama lain.

Bersinar kemerahan. Lambang itu seperti beresonansi dengan tubuhku. Saat itu pula tubuhku menjadi hangat dan nyaman. Beberapa rasa sakit yang sebelumnya kurasakan perlahan mulai menghilang.

"Bagaimana? Apakah sekarang sudah tidak apa-apa, Master?"

Aku pun mengangguk pelan dan mencoba menjauhkan wajahnya yang sedari tadi terus mendekat pelan-pelan.

"E-emm, ya. Terima kasih... "

"Sudah menjadi tugas hamba untuk menghilangkan rasa sakit Master," tuturnya dengan senyum yang terasa semanis Buah Ceri.

Aku baru tahu bahwa kekuatan dari sebuah senyuman bisa memiliki daya rusak seperti ini.

Pada akhirnya aku tidak jadi pergi dan duduk di hadapan danau saat itu. Cuaca yang masih sama, tapi kini perasaan hangat menyerbak di sekujur tubuhku layaknya sebuah pelukan yang familiar. Kehangatan ini seperti ketika mendiang Ibuku datang ke kamar hanya untuk memberikan segelas teh hangat di malam hari.

Perasaan yang tidak asing... benar-benar tidak asing dan saat ini aku seperti mendapatkannya lagi. Apakah hanya karena kehadirannya yang membuat perasaanku tenang seperti ini? atau karena kebaikan misteriusnya yang membuat kewaspadaanku melemah?

Aku tidak tahu dan tidak ingin memikirkannya. Hanya untuk saat ini, aku ingin merasakan perasaan ini lebih lama lagi.

Aku pun mendongak menatap langit yang di penuhi oleh warna putih. Tak bisa melihat kilauan matahari ternyata bisa membuatku penasaran. Seperti apa jadinya jika tempat ini terkena sinar matahari? Siapa yang tahu mungkin waktu yang akan menjawabnya.

Daun-daun mulai berguguran dan semilir angin dingin yang halus membelai bunga-bunga merah di sepanjang pinggir danau. Beberapa kelopak terlepas dan menari di udara hingga akhirnya mendarat secara lembut di atas permukaan danau.

"Master?"

"Hmm?"

"Maaf jika hamba lancang—"

"Bisakah kau menghentikannya... aku tidak suka jika kau memanggilku seperti itu. Kau bisa memanggilku Raven. Cukup Raven," potongku sambil mendesah pelan.

"J-jika seperti—"

"Raven atau jidatmu merah lagi?" tanyaku lalu mengambil ancang-ancang untuk menyentil jidatnya.

"B-baiklah... kalau begitu R-R-Raven?"

"Ya?"

Untuk beberapa saat ekspresinya berubah seperti anak kecil yang kegirangan. Pipinya pun merona, mungkin karena suhu dingin di sekitar sini membuatnya jadi seperti itu.

"Kau sepertinya terlihat sedikit kaget setelah melihat sihir itu. Apakah kau bukan berasal dari 'sini'?"

"Pengamatan yang bagus. Ya, kau bisa menyebutnya bukan berasal dari 'sini' karena ini bukanlah tempatku berada"

"Lalu mengapa kau bisa ada di sini?"

"Itu adalah pertanyaan yang paling ingin aku hindari. Mungkin jawaban pastinya adalah... aku pun tidak tahu"

"Hmm?"

"Kenapa dengan raut itu? Kau masih tidak percaya?" tanyaku balik dengan senyum tipis.

"B-bukan, tapi itu adalah hal mustahil—"

"Ya... dan hal mustahil itu kini telah menjadi kenyataan. Buktinya saat ini aku bersamamu," potongku lalu melempar gundukan bola salju ke danau.

Setelah melihat langit di atas, aku pun mencoba untuk mengapainya dengan tanganku. Namun, sekuat apapun aku mencoba, hal itu terdengar seperti sebuah mimpi.

Tidak ada yang pasti di dunia ini selain kebenaran dan aku di sini untuk mencari jawaban itu.

"Karena kau sudah menceritakan sedikit kisah masa lalumu. Akan kuceritakan sedikit dari kisahku juga... "

"Baiklah," sahutnya singkat, tetapi kini perhatiannya hanya tertuju padaku.

"Aku tinggal di sebuah dunia yang bernama Bumi. Tepatnya di sebuah kota yang cukup modern dengan teknologi dan peradabannya. Hingga pada suatu hari aku melihat fenomena yang aneh... dan begitu aku menyadarinya, tiba-tiba saja aku sudah berada di sini"

"Lalu selanjutnya?"

"Selanjutnya? Apakah kau begitu penasaran dengan kisahku, Val?"

Namun, ia memalingkan kepala seperti tersipu malu.

"Hmm? Ada apa denganmu?"

"I-ini pertama kalinya ada seseorang selain keluargaku yang memanggilku dengan nama kecil," jawabnya sambil menenangkan diri.

"Hehhh. Di duniaku saja hal seperti itu sudah biasa di antara keluarga maupun teman"

"B-benarkah?"

Aku pun mengangguk, "Sebaiknya kau harus membiasakannya, karena mulai saat ini aku akan sering menggunakan nama kecilmu," tuturku lalu bangkit sambil membersihkan bagian belakang tubuhku.

"B-baiklah. Sekarang kita akan pergi ke mana?"

"Ke mana katamu?" tanyaku balik lalu memperhatikan pakaiannya yang compang-camping, "tentu saja mencari pakaian baru"

"Ahh. Tentang itu kau bisa menyerahkannya padaku, Raven," sahutnya sambil menempelkan jari telunjuk ke pipi kanan seperti mendapatkan ide.

"Maksudmu?"

Setelah itu ia pun menjentikkan jari dan tubuhnya di kerumuni oleh angin kemerahan. Membalut tubuhnya dan salju di sekitarnya pun ikut meleleh. Pakaiannya yang belum lama ini terlihat seperti kumpulan kain tak bermutu kini menjadi gaun indah.

Mungkinkah itu adalah sebuah sihir restorasi pakaian? Benar-benar sihir yang praktis. Jika aku bisa menggunakannya, maka aku tidak perlu lagi mencuci pakaianku atau membeli pakaian baru sebelum aku merasa bosan.

"Tentu saja ini juga untukmu, Raven"

"Eh?"

Sama sepertinya aku pun langsung di kerubungi oleh angin merah yang entah apa ini. Mengapa ada angin merah di sini?

Apakah ini angin yang bercampur dengan bubuk lada?

Begitu selesai semua bekas robek dan juga sayatan di pakaianku menghilang dan pakaianku kembali dalam kondisi primanya.

"Hehh. Jadi bisa sepraktis ini, ya?"

Val yang mendengarnya hanya tersenyum manis. Namun, di sisi yang lain aku masih mengagumi sihir praktis ini. Mungkin aku bisa memintanya mengajariku suatu saat nanti.

"Baiklah. Semua persiapan telah selesai... ayo kita pergi"

"Ya...."

Setelah itu kami pergi meninggalkan danau ini, di mana Val berjalan tepat di samping kananku, sedangkan aku mencoba menjaga jarak, tetapi entah mengapa ia selalu mendekat ketika aku melakukannya.