Be Yourself

Val yang mendengarnya hanya tersenyum manis. Namun, di sisi yang lain aku masih mengagumi sihir praktis ini. Mungkin aku bisa memintanya mengajariku suatu saat nanti.

"Baiklah. Semua persiapan telah selesai... ayo kita pergi"

"Ya...."

Setelah itu kami pergi meninggalkan danau ini, di mana Val berjalan tepat di samping kananku, sedangkan aku mencoba menjaga jarak, tetapi entah mengapa ia selalu mendekat ketika aku melakukannya.

Saat ini kami sedang berjalan menyusuri hutan. Sampai saat ini aku tidak habis pikir kalau ada hutan yang bisa memekarkan dedaunan merah di musim dingin. Namun, setelah melihat hal-hal aneh ini selama perjalananku, sepertinya aku mulai terbiasa, dan menganggapnya sebagai hal yang normal.

Di balik indahnya pemandangan hutan ini dan juga misteriusnya kenampakan tempat ini. Aku masih penasaran dengan perang itu, apakah Vice dan Iris mengatakannya karena mendengar dari orang lain, atau sebenarnya mereka mengetahui kebenarannya?

Namun, ketika aku mengingat wajah hewan pengerat itu.... semua kemungkinan itu langsung menghilang.

"Huh... mana mungkin ia tahu, 'kan?" gumamku.

"Hmm? Apakah ada sesuatu, Raven?"

Aku pun menoleh dan mendapati wajah Val yang sangat dekat denganku.

"Aku hanya berpikir... mengapa entitas sepertimu mau mengikutiku"

"Itu adalah pertanyaan yang sering kudengar, jika saja kondisiku tidak seperti ini"

"Intinya kalau aku membiarkanmu, kau tidak akan mengikutiku?"

"Mungkin?"

"Mencurigakan...."

Ia pun tertawa manis layaknya gadis kecil yang sedang menjahili seseorang.

"Aku juga tidak mengerti. Semua perasaan itu tiba-tiba saja meluap dan begitu aku tersadar... ya, ketika aku tersadar perasaan itu semakin kuat"

"Huhh... jangan berbicara tentang perasaan. Itu rumit, cukup jawab saja pertanyaanku tadi"

"Hehehe. Mungkin aku merasa seperti 'Akhirnya aku menemukan tempatku kembali', tapi bisa juga 'Inilah tempat yang selama ini aku cari'... seperti itu. Apakah kau sekarang mengerti, Raven?"

"Ahh... emm. Baiklah, setidaknya aku bisa menangkap apa maksudmu."

Lalu seperti merasa deja vu, aku kembali melihat sebuah tebing yang tidak asing.

Lagi-lagi tebingkah? Sudah berapa tebing saat ini yang telah aku lewati hingga akhirnya aku bisa sampai di tempat ini?

"Serahkan saja padaku...."

Dengan cepat Val menjentikkan jarinya, lalu akar-akar muncul dari bawah tubuhnya, dan merambat cepat membentuk sebuah jembatan penghubung. Di mana akar-akar itu menumbuhkan bunga-bunga merah.

Bunga yang sangat mirip sekali dengan yang ada di danau. Mungkinkah bunga itu adalah kekuatan milik, Val?

"Ngomong-ngomong tentang bunga ini, Val"

"Ya?"

"Apakah bunga yang ada di danau itu adalah ulahmu?"

"Bisa jadi... "

"Hahh. Sekarang semuanya masuk akal"

"Eh? Apa maksudmu, Raven?"

Ternyata semua bunga yang bermekaran di danau itu adalah ulahnya. Aku tidak tahu apakah bunga itu memiliki efek yang bisa membuat seseorang terhipnotis atau tidak. Karena pada awalnya aku sama sekali tidak ingin menolong wanita ini, tetapi entah mengapa perasaanku tiba-tiba saja berubah.

Mungkin itu bisa terjadi, tetapi semua kemungkinan itu akan terungkap jika Val memberitahuku tentang itu. Namun, untuk saat ini aku tidak terlalu mempermasalahkannya, hanya saja rasa penasaran terkadang selalu menang dibandingkan dengan beberapa hal.

"Kau seharusnya mengerti perasaanku, Val," ucapku sambil menggaruk belakang kepala.

"Perasaan... mu?"

"Apa tidak merasa gugup?"

"Gugup? Tentu saja tidak. Malah aku merasa senang," balasnya dengan senyum tipis.

"Itu sih dari sudut pandangmu. Coba kalau dari sudut pandangku... berjalan dengan seorang perempuan dengan status yang tinggi membuatku tidak nyaman"

"Ehh?!"

Tiba-tiba saja ia panik dan aku bisa melihat bagaimana ekspresi menggelikannya itu berhasil menghancurkan kesan elegan yang selama ini ia keluarkan.

"K-kenapa? Apakah aku mengganggumu?"

"Itu adalah pertanyaanku dan lagi mengapa kau mau berjalan di sampingku jika mengingat statusmu itu tinggi?"

Wajah paniknya pun kembali seperti normal, lalu sambil menyentuh dada dengan kedua tangannya itu, ia mengeluarkan napas.

"Syukurlah, ternyata itu bukanlah hal yang besar. Aku tidak keberatan jika harus berjalan bersamamu, karena saat ini kau adalah rumahku, Raven"

"Hei! Hei! Hei! Itu merepotkan tahu, kau kira aku sebagai rumah asuh?"

"T-tapi itu kenyataan!"

"Ya dan pernyataanku juga bukan candaan. Jadi berhentilah bersikap seperti itu, hahhh... "

"T-tapi sikapku memang seperti ini... dari dulu, bahkan dari kecil!"

"Yang benar? Kau kira aku akan mempercayainya?" tanyaku meragukan.

Namun, ia langsung menarik lenganku, setelah itu memegang kedua pipiku dengan telapak tangannya yang dingin, "Aku tidak berbohong. Daripada menjadi yang dihormati, aku lebih menginginkan seseorang memanjakanku, memarahiku, dan bersikap apa adanya tanpa menyembunyikan kepentingan lain dibalik senyum palsu," tuturnya sambil menatap kedua mataku.

"Kau harus tahu jika senyumanku ini palsu—"

"Kau pembohong! Aku tidak percaya pada orang yang berani menyentil jidatku sebanyak tiga kali, apalagi kau adalah orang pertama yang berani menceramahiku ketika akulah yang bisa melakukannya," tuturnya sembari menggenggam lengan kananku erat-erat.

"Dasar!" ucapku spontan lalu menyentil jidatnya dengan tangan kiriku.

"Ouchh!!—kenapa kau menyentilku lagi?!"

"Lihat? Aku melakukannya, jadi berhentilah bersikap seperti itu—maksudku di sini adalah berhentilah menahan perasaanmu. Kau mengerti wanita bergaun hitam?"

Untuk sesaat kedua matanya melebar dan aku bisa melihat kedua pipinya mulai merona. Bahkan mulutnya pun seperti ikut gemetar.

"Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu dan tidak peduli dengan itu. Hanya saja... jika kau menganggapku sebagai tempatmu kembali, maka jadilah dirimu sendiri," ucapku lalu mengelus rambutnya.

"Raven... apakah aku bisa melakukannya?" tanyanya lirih.

Aku pun mengangguk pelan, "Terkadang hal kecil seperti ini memang sangat sulit untuk dilakukan. Namun,... aku yakin kau pasti bisa melakukannya—"

Tiba-tiba saja ia menghamburku dengan cepat. Membenamkan wajahnya di dadaku dan akhirnya menangis keras.

Seandainya saja ini masih di bumi, mungkin aku tidak akan berkata seperti itu. Karena lelaki yang mengatakan hal itu adalah Rivan dan saat ini aku—Raven, melakukan hal yang berbeda, dan sangat out of the box.

Sepertinya motoku memang bukan hanya sekedar perkataan saja. Setidaknya jika aku bisa membuatnya lega hanya dengan perkataan seperti itu, maka aku tidak perlu repot-repot melakukan hal lainnya juga.

Ini juga pertama kalinya ada orang yang mengatakan hal itu kepadaku. Sejujurnya saat ini aku sangat malu sekali dan ingin menyembunyikan wajahku. Namun, aku menahan... menahannya dan sepertinya berbuah manis.

Saat ini Val tidak mengetahui ekspresi apa yang aku perlihatkan, karena ia sedang menangis dengan tersedu-sedu di dadaku.

"A-aku sudah melakukan yang terbaik. Segalanya, semuanya... bahkan hingga aku menghiraukan keluargaku sendiri, tetapi mengapa ia mengkhianatiku?!" bentaknya lalu memukul dadaku seperti tabuh.

"Bughhh!!—"

Sialan, aku sudah rela dijadikan tempat pembuangan stressmu, mengapa kau harus memukulku segala?

"Apa yang kurang?! Apakah semua usaha yang aku lakukan itu kurang? Tidak seperti apa yang mereka harapkan?!" bentaknya lagi sambil meremas kerah pakaianku.

"O-oiiii!!! Hentikan itu... a-aku bisa kehabisan napas...."

Setelah itu ia berteriak kencang sembari mengutuk hal-hal yang tidak aku ketahui, tetapi semua itu menjadi penderitaanku. Karena saat ini aku benar-benar menjadi tempat pelampiasannya.

"Val!!" ucapku lantang lalu meremas kepalanya, "apa kau ingin membunuhku?!"

"E-eh?!"

Wajahnya yang tadi menunduk kini mendongak, menatapku lekat-lekat dengan mata penuh air mata.

"Aku memang mengatakan kau bisa melampiaskannya di sini. Namun, jangan jadikan aku sebagai samsak tinju juga! Kau ini tidak tahu di untung!" rutukku sambil membenarkan kerah, "sudahlah. Masa bodo," lanjutku lalu pergi meninggalkannya.

"T-tunggu! Maafkan aku, Raven! Ravennnn!"