Ortuos

Begitu kami telah memasuki kuil. Hampir semua dinding yang aku lewati dilapisi oleh kristal-kristal biru langit. Mereka bersinar, tapi samar. Seperti ingin memancarkan energi kehidupan yang sayangnya tidak akan pernah bisa keluar karena terperangkap selamanya di dalam batuan beku tersebut.

Selain itu pilar-pilar raksasa yang menunjang kuil ini dipenuhi oleh coretan gambar yang tidak aku mengerti. Gambar yang seperti lukisan bergerak, goresan-goresan abstrak, dan guratan lurus yang terkadang membentuk sebuah kalimat.

Itulah semua simbol yang bisa aku lihat dari pilar-pilar ini.

Baik langit-langit dan juga beberapa gambar di sini sudah tak jelas. Mereka semua seperti telah dihapus sebagian dan hanya meninggalkan sisanya untuk menjadi sebuah teka-teki kuno.

Kami masih berjalan menyelusuri tempat ini dengan hati-hati meskipun terkadang perempuan di sampingku ini selalu berhenti tanpa pemberitahuan. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Aku juga bahkan tidak tahu seperti apa ekspresi dibalik tudung besarnya itu.

Semakin kami masuk ke dalam, semakin sering juga aku menemukan pengalaman baru. Entah itu melangkahi ubin yang pecah, melihat betapa luasnya tempat ini dibandingkan dengan penampilan luarnya yang terlihat majestik, bahkan hingga ada beberapa patung layaknya tiga buah makhluk raksasa saling bersebelahan menjaga setiap bagian sisi kuilnya.

Setidaknya aku masih bisa melihat di dalam pencahayaan yang remang-remang. Cukup jelas untuk membedakan mana jembatan dan mana jurang atau mana jalan maupun genangan air yang menetes dari bagian atasnya.

Setelah kami melewati sebuah jembatan batu yang cukup untuk dilewati oleh satu orang. Kami pun tiba di sebuah aula yang berisikan sebuah tugu raksasa dekat dengan sebuah jam batu besar yang mulai terkikis oleh waktu itu sendiri.

Jika aku perkirakan, mungkin jam batu yang berada pada bagian atasnya sudah berjuta-juta tahun, bisa jadi, dan mungkin juga tidak. Namun, satu hal yang membuatku terenyak beberapa saat adalah sebuah fakta jika apa yang aku lihat saat ini adalah peninggalan zaman kuno dan mungkin salah satu prasasti dunia ini.

Vestarya. Benar-benar sebuah dunia penuh kejutan nan asing untuk kumasukkan ke dalam akal logika. Memahaminya hanya dalam sekali lihat bukanlah sesuatu yang bisa aku lakukan hanya dalam satu malam.

Dunia yang menyimpan banyak rahasia dan misteri. Hingga saat ini aku masih mencari jawaban atas pertanyaan yang selama in menghantuiku. Mungkin dengan berada di kuil ini aku bisa mencarinya, meski sedikit atau bahkan setitik, aku ingin mengetahuinya tentang kebenaran seperti apa yang berada di balik dunia ini.

Tiba-tiba saja ia berhenti tepat ketika aku ingin melangkah mendekati tugu batu raksasa itu.

"Apakah ada sesuatu?" tanyaku memastikan.

"Tunggu... dan lihatlah dengan mata kepalamu sendiri," balasnya dingin.

Untuk ke sekian kalinya aku merasakan gemuruh yang cukup besar. Apakah yang ia maksud tempat ini akan segera runtuh? Atau ada sesuatu yang akan muncul.

Jika aku sambungkan dengan gemuruh besar ini. Mungkinkah sesuatu yang besar akan datang ke sini? Atau jangan-jangan simbol pemanggilan itu telah selesai?

Namun, semua itu sirna ketika tangan-tangan busuk yang mengeluarkan bau amis bermunculan satu-persatu dari dalam tanah. Perlahan geraman terdengar pasti dan bunyi retakan yang berpadu dengan atmosfer tempat ini semakin membuat suasana yang ada menjadi penuh ketegangan.

"Zombie?!"

Sebelumnya aku melihat pasukan kesatria tulang dan sekarang adalah Zombie? Apakah aku sedang berada di dalam sebuah game survival?

"Zom... bie?"

"Huh?"

Mungkinkah ia tidak mengetahui makhluk yang berusaha merangkak dari dalam tanah itu adalah Zombie? Tapi, tunggu sebentar. Mungkin mereka lebih akrab dengan sebutan Ortuos, bukan? Benar-benar nama yang terlalu luas.

"Yang pasti berlindunglah di belakangku. Ini tidak akan lama...."

Aku merasa ruangan ini semakin dingin dengan adanya uap yang keluar ketika aku menghembuskan napas. Namun, aku cukup beruntung karena itulah forteku. Suhu dingin bukanlah sesuatu yang perlu aku khawatirkan.

"Bifrost," bisikku halus.

Ketika aku menjentikkan jari, sekumpulan uap dingin bermunculan dengan cepat lalu meluap layaknya gelombang laut yang menyerbu pesisir. Hanya dalam hitungan detik semua Zombie yang berusaha mendekatiku langsung terdiam kaku.

Tubuh mereka mulai membeku—merambat dari ujung kaki hingga menuju kepala dan akhirnya hancur berkeping-keping menjadi pecahan es.

"Apakah sudah berakhir?"

Seperti ada udang dibalik batu. Kumpulan Zombie yang telah aku hancurkan itu kembali bermunculan dari tanah terus-menerus bahkan setelah aku telah membereskan mereka sebanyak tiga kali.

"Bagaimana aku mengatasi hal ini?—hmm?"

Aku merasakan sentuhan yang sama seperti sebelumnya. Ketika aku menoleh, perempuan di belakangku ini menunjuk tugu yang terus menyala berulang kali.

Apakah tugu itu adalah penyebabnya?

Aku pun langsung berlari ke arah tugu yang berada jauh di belakang pasukan Zombie. Menghindari setiap serangan mereka, kemudian aku meluncur sambil menguatkan kepalan tanganku.

Ketika jarakku semakin dekat, aku pun memusatkan semua mana esku dalam kepalan tangan. Menguatkannya, memadatkannya, dan melapisinya terus-menerus hingga menjadi sebuah bola yang padat.

"Hancurlah...."

Setelah aku berada tepat di depan tugu, aku pun melepaskan mana dalam kepalan tanganku dengan mengibaskannya. Seketika itu juga sebuah luapan aura es yang sangat tipis nan halus langsung mengeras menjadi pedang es yang meledak hebat—menghantam tugu dengan sangat keras hingga menimbulkan getaran yang mengguncang tanah.

"Huh?"

Namun, seperti yang diharapkan dari salah satu prasasti. Kekuatan esku sama sekali tidak menghancurkannya dalam sekali serang. Bahkan dengan kekuatanku saat ini, aku tidak yakin bisa menghancurkannya dengan mudah.

Apakah ada cara lain untuk menghancurkan tugu itu?

"Reevlust."

Suara itu begitu halus dan saking halusnya aku sempat mengira suara itu berasal dari halusinasiku. Sementara aku terenyak karena suara yang baru saja kudengar. Sekumpulan api hitam tiba-tiba saja merayap dari bawah tugu seperti rayap yang memakan kayu tua.

Tugu itu pun perlahan menanggalkan remah-remah kecil. Bergetar hebat lalu akhirnya hancur berkeping-keping menjadi kerikil kecil berapi yang menyembur ke segala arah.

Bahkan dengan perisai es yang telah aku buat. Kerikil itu masih bisa menerobosnya dengan cepat seperti peluru dari senapan runduk. Mungkin jauh lebih cepat dan daya hancurnya pun di atas dari peluru itu sendiri.

Pada akhirnya aku menghindari semua itu sebisa mungkin. Ketika semua telah surut dan aku tidak mendengar geraman lagi, aku yakin jika pasukan Zombie itu telah musnah seutuhnya.

Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah suara halus itu dan juga kemunculan api hitam yang melahap tugu itu. Apakah jangan-jangan semua itu berasal dari perempuan di belakangku?

Tunggu... dia?

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku panik.

Namun, ia hanya berdiri menghadapku seperti tidak terjadi apa-apa. Selain dari aura misterius yang keluar dari dirinya, aku juga merasa ia sama sekali tidak kerepotan dengan apa yang baru saja terjadi.

Mungkin itu hanya perasaanku saja atau bisa saja....

"Apa kau hanya akan diam dan melihatku seperti orang bodoh?"

"Ughh. Setidaknya kau bisa sedikit ramah denganku, bukan?"

"Jalan," ucapnya datar.

Sepertinya ia mengabaikan dan menganggapku seperti orang bodoh. Biasanya akulah yang menganggap sekumpulan orang idiot tidak berguna, tapi baru kali ini aku diperlakukan seperti itu, dan menyesal karena dulu pernah menjadi seperti apa yang ia katakan.

Setelah tugu besar itu hancur dan meninggalkan kerikilnya di lantai. Kami pun pergi melewati pintu kurang lebih setinggi tiga meter dari sebelah kiri jam batu raksasa.

Cahaya menyilaukan menutup penglihatanku. Begitu silau. Ketika cahaya itu mulai meredup, kali ini kami berada di sebuah aula besar yang menjorok ke bawah.

Ruangan ini sangat luas dibandingkan dengan ruangan sebelumnya. Hanya saja langit-langit bagian samping kanannya terbuka atau lebih tepatnya hancur dan membiarkan cahaya dari luar masuk ke dalam.

Tempat kami berpijak saat ini adalah lantai yang datar dan di depan sana adalah lantai yang menurun di mana tepat di ujungnya terdapat sebuah kubah persegi enam berwarna hitam pekat. Pada bagian sisinya terdapat garis kemerahan yang saling menyambung. Sedangkan pada bagian tengahnya aku bisa melihat ada sebuah lubang berbentuk segi empat.

Apakah itu sebuah kunci?

Tidak lama kemudian semua sisi aula mengeluarkan api keabuan yang saling menyambung seperti rel kereta api. Kali ini suara raunganlah yang menggema di tempat ini.

Lalu semua api itu menyerbu kubah dengan cepat. Membentuk pilar-pilar api yang memunculkan sesosok makhluk yang cukup besar. Makhluk itu memakai mahkota dan juga jubah hitam dengan garis jahit keemasan.

Di tangan kanannya ia menggenggam sebuah tongkat sedangkan di tangan kirinya ia memegang buku. Tubuhnya terbuat dari tulang-belulang dengan kepala tengkorak yang bergemertak. Dari dalam bola mata hitamnya muncul bola cahaya kecil berwarna merah darah.

"Apakah dia adalah Boss tempat ini?"