Approval

Setiap orang memiliki masa lalu yang berbeda. Mereka bisa terjebak oleh masa lalu atau melangkah maju bersamanya.

Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka saat itu, tetapi semua itu dapat terlihat dari ekspresi yang mereka perlihatkan setiap saat.

Aku sendiri tidak mengerti mengapa saat itu hanya aku sendirilah yang bertahan hidup. Kedua orang tuaku pergi jauh ke tempat yang tidak bisa aku jangkau, bahkan Kakek, dan juga sahabatku.

Namun, mereka selalu memberiku sebuah pesan tersirat yang tertulis dalam sebuah candaan. Pesan itu tidak lain dan tidak bukan adalah semangat untuk bertahan hidup, jangan pantang menyerah, dan teruslah melangkah maju untuk menggapai masa depan yang abu.

Aku juga tidak pernah menyangka setelah kepergian sahabatku saat itu, tiba-tiba saja aku telah berada di dunia ini tanpa sadar—Vestarya, sebuah tempat yang tidak pernah aku sangka ada.

Sungguh aneh, tapi nyata. Berharap yang terbaik sayangnya ditutupi oleh teka-teki. Berusaha mengejar sesuatu yang belum pasti seakan-akan ada tangan-tangan tak kasat mata yang mendorong pundakku. Itulah yang aku rasakan setiap kali keputusasaan merayapi hatiku.

Semua masih samar karena aku tidak tahu masa depan seperti apa yang menantiku di depan sana. Namun, aku selalu berharap dalam keputusasaan itu ada seseorang yang masih mempercayaiku untuk mengulurkan tangannya demi diriku.

Aku tidak pernah meminta sesuatu yang aneh-aneh dari orang lain. Yang aku minta hanyalah satu—tolong percayalah padaku.

Setelah Luk tenang, aku pun melirik Nheil yang terlihat seperti orang kewalahan.

"Aku bukanlah berasal dari Fanarya, tapi aku berasal dari suatu tempat yang sangat jauh. Bahkan aku yakin, sekalipun kau bisa menjangkaunya, kau tidak akan pernah bisa kembali," ucapku dengan seringai kecil.

"B-benar-benar tidak bisa dipercaya... "

"Karena itulah... aku juga memiliki persepsi yang sama persis atas pernyataanmu itu terhadap dunia ini, Nheil"

"Eh?"

"Apa kau bisa memegang perkataan itu?" tanya sang perempuan misterius dengan nada mengancam.

"Kau bisa tanyakan itu pada dirimu sendiri, wahai perempuan penuh misteri"

"Apa katamu?!"

"Kusarankan agar kau menghentikannya. Karena saat ini ada sesuatu yang lebih penting daripada mempermasalahkan identitasku, benar, kan, Nheil?"

"Ah! Oh... umm."

Walaupun ia terlihat masih bimbang, tetapi dari ekspresi wajahnya yang mulai terlihat lebih rileks. Aku hanya bisa menduga jika saat ini ia tidak menaruh kecurigaan lagi kepadaku.

"Kalau begitu tunggu sebentar."

Ia pun mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Itu adalah sebuah liontin berwarna ungu yang mengeluarkan aura hitam. Meskipun samar, dari aura hitam yang mengelilingi liontin itu aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih mengerikan daripada Meetus.

"Ini adalah Katalis Sigil kota ini. Semua roh yang telah kehilangan arahnya tinggal di dalam liontin ini, karena itulah setelah aku menciptakan pemakaman yang layak, aku akan menghancurkannya untuk membebaskan mereka semua"

"Apa kau sudah mengerti sekarang, wahai perempuan misterius?" tanyaku dengan seringai kecil.

"Diam. Aku mengerti, kau tidak perlu memberitahuku," ketusnya.

"Sebelumnya aku ingin berterima kasih kepadamu karena telah membuat pemakaman yang layak untuk mereka semua."

Nheil pun mencengkeram liontin itu hingga menghancurkannya berkeping-keping.

Kota yang awalnya telah rata akibat sihirku kini menjadi ladang bunga. Mereka semua berpendar layaknya lampion penerang jalan dan mengeluarkan aroma yang harum. Aku merasa rileks setelah mencium aroma itu, begitu tenangnya sampai-sampai aku ingin menidurkan tubuhku di atas bunga-bunga itu.

"Sekarang kalian bisa bebas," ucapnya lega lalu meniup sisa serpihan liontin dari tangan kanannya.

Tiba-tiba saja semua roh yang sebelumnya tak terlihat mulai menampakkan diri. Mereka berputar mengelilingi tempat ini sambil melambaikan tangan serta mengucapkan terima kasih.

Terus berputar mengelilingi langit hingga semuanya lenyap menjadi hujan bola-bola cahaya.

"Sepertinya aku berhasil menepati janjiku. Kuharap kau bisa tenang di sana, Mona."

Langit pun perlahan terbelah dan cahaya mengintip dari sela-selanya. Terus merayap hingga lautan langit di sana mulai menjadi cerah.

"Sepertinya sebentar lagi akan pagi"

"P-pagi?! Bukankah memang pagi, ya?!"

"Raven, apa kau masih bermimpi?"

Aku pun menoleh ke arah Val dengan mata yang melebar, "Kau pasti bercanda, 'kan? Jadi selama ini...."

Ia pun memiringkan kepala, "Apa ada yang salah?"

"A-ahhh. Lupakah saja."

Aku tidak menyangkanya bahwa selama aku berada di dalam makam bawah tanah itu hari masihlah gelap. Bahkan setelah aku naik ke permukaan tanah pun semuanya masih gelap.

Apa perkataan Val itu benar? Jika saat ini aku masih bermimpi? Atau ada perbedaan waktu antara permukaan dan juga bawah tanah? Ini membuatku pusing.

"Umm. Val, sejak kapan aku menghilang?"

"Aku tidak tahu tepatnya, tapi saat itu bulan masih ada di atas, dan aku merasa ada sesuatu yang menghilang dariku"

"Tepatnya... bulan itu ada di mana?"

"Di arah sana."

Condong ke arah kanan, ya? itu artinya telah melewati tengah malam, tapi telatknya bukankah itu berarti aku menghilang setelah pukul satu pagi?

Mengukur derajat dan juga letak matahari adalah salah satu cara untuk mengetahui sudah berapa lama aku berada di alam liar. Hal ini juga kuterapkan pada bulan. Mungkin sedikit sulit karena aku tidak bisa melihat secara jelas bayanganku, tapi setidaknya aku masih bisa menebaknya.

Jadi pada saat itulah aku berada di makam bawah tanah yang anehnya kukira penerangan di sana berasal dari matahari, tetapi sepertinya aku salah, huh?

"Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kulakukan di sini. Selamat tinggal"

"Apa kau akan pergi begitu saja tanpa memberitahuku siapa namamu?"

"Nama ini adalah kutukan, kau hanya akan mencari jalan kematian jika mendengarnya"

"Mengapa tidak? Sepertinya menarik"

"Sepertinya penilaianku tidak salah. Kau memanglah orang yang aneh"

"Hahahaha. Ya, aku memanglah orang aneh, tapi setidaknya cukup berani untuk meminta namamu."

Cahaya mulai merambat dan aku bisa merasakan kehangatannya. Sepertinya matahari telah terbit dan sebentar lagi hari serta petualangan baru bagiku akan dimulai.

Ketika cahaya itu perlahan naik. Sosok perempuan misterius itu menjadi sedikit silau.

"Eve... itulah namaku dan selamat tinggal, semoga kita tidak pernah bertemu lagi."

Dalam waktu yang singkat itu sosoknya berubah menjadi kabut hitam. Benar-benar menghilang tanpa jejak sedikitpun. Namun, Nheil tiba-tiba saja bertanya kepadaku, "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

"Yaaa... mungkin berpetualang mencari ketegangan yang baru, tunggu apakah itu sosokmu yang asli?"

"Hehehe. Sepertinya aku ketahuan."

Penampilannya berubah drastis, rambutnya tersisir rapi berwarna hitam gelap dengan garis bayang kemerahan. Menggunakan sebuah topi berbentuk tabung yang pendek berwarna ungu, ia juga menggunakan anting di telinga kirinya.

Matanya merah seperti darah, bahkan pakaiannya pun kini lebih terlihat meyakinkan karena semuanya terlihat bersih, dan tidak ada bekas jahitan ataupun lubang.

Taringnya sedikit terlihat dan kulitnya berubah menjadi putih pasi seperti mayat. Telinganya pun menjadi sedikit runcing.

"Inilah diriku yang sebenarnya. Aku tahu ini akan terdengar aneh, tapi bisakah aku ikut denganmu?"

"Aku menolaknya!"

"Val?"

"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dari Raven, tapi aku masih meragukanmu," ucapnya tegas.

"Huhh. Sepertinya memang percuma, tapi ini pertama kalinya ada seorang pelayan yang memanggil langsung tuannya dengan nama. Sungguh menarik," balasnya sambil mencondongkan diri ke arah Val.

"Itu bukan urusanmu"

"Aku tahu, tapi ini membuatku penasaran. Apakah kau tidak bisa memikirkannya lagi?"

"Sekali tidak tetaplah tidak"

"Ayolah, kumohon."

Kini aku melihat dua orang yang saling bertengkar—satu memohon dan satunya lagi menolak. Benar-benar sebuah pemandangan yang aneh untuk kulihat di pagi ini.

"Bukankah tugas seorang pelayan hanya mengikuti tuannya. Itu berarti semua keputusan ada di tangan Kakak ini, benarkan?"

"Ahahaha. Boleh juga," celetukku.

"Raven!"

"Apakah itu berarti aku bisa mengikutimu?"

"Sebelum meminta, bukankah seharusnya kau memberiku sesuatu terlebih dahulu?" tanyaku usil, "Seperti pepatah. Ada uang, ada barang... beri alasan yang menarik untuk meyakinkanku."

Nheil pun langsung menggaruk belakang kepalanya. Mendongak menatap langit sesaat, kemudian membuang napas seperti akan mempersiapkan sesuatu.

"Aku bisa menjadi apapun yang kau inginkan—"

"Sayang sekali, tapi alasan itu terlalu membosankan," potongku lalu tersenyum tipis, "Ayo, Val. Kita pergi dari sini."

Begitu aku melirik ke kiri, ekspresi Val saat ini memperlihatkan suatu kepuasan. Mulutnya menyeringai dan pipinya merona. Mungkin di dalam pikirannya sekarang ia telah memenangkan taruhannya.

"E-ehhh!!! T-tunggu sebentar! Apa kau yakin tidak menginginkannya?"

"Orang yang bahkan tidak bisa memutuskan apa yang bisa ia berikan bukanlah sesuatu yang perlu aku perhatikan"

"T-t-tapi aku adalah pangeran kedua dari penguasa kegelapan, lhoo!! Orang penting lhoo!! Banyak yang menginginkan dukunganku lhoo!!—"

"Kucing telah keluar dari kantungnya. Satu lagi, orang yang kau maksud itu bukanlah diriku, dan aku tidak menginginkan dukungan dari siapapun. Lagi pula aku hanya seorang yang menginginkan petualangan, tidak lebih dan tidak kurang"

"Ayolah!! Aku sudah susah payah pergi jauh dari rumah hanya tidak ingin terlibat dengan konflik perebutan kekuasaan"

"Ohh ya?! Sepertinya terdengar menarik."

Wajah Nheil pun memucat. Sepertinya ia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia katakan. Aku pun hanya tertawa melihatnya seperti anak kecil yang di sudutkan. Ini bukan seperti aku ingin membuatnya merasa bersalah, tapi ada hal yang hanya bisa ia putuskan setelah menetapkan tujuannya sendiri.

Aku sama sekali tidak melarangnya untuk mengikutiku, melainkan aku ingin melihat keinginannya untuk lepas dari masalah tersebut. Apakah suatu saat ia akan menghadapinya ataukah mengabaikannya.

Inilah saat yang tepat untuk mendengarkan hal itu.

"Aku hanya bercanda, jangan terlalu dibuat serius. Lagi pula Val hanya mengetesmu dan aku ikut ke dalam permainannya. Kau bebas menentukan pilihanmu."

Nheil yang sedari tadi menunduk kini mendongak menatapku dengan kedua mata berbinarnya, "Benarkah?"

"Ahahahaha! Ternyata kau lebih mudah daripada apa yang kubayangkan," ucap Val tiba-tiba dengan tawa puas.

"Grrr!! Dasar wanita jahat!"

"Sayangnya kau salah. Bukankah tugas seorang pelayan adalah memastikan keselamatan tuannya? Aku hanya mengujimu. Meskipun alasanmu untuk memanggil Meetus adalah untuk menolong para roh yang tersesat, tetapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa saat ini pun kau masih memiliki ancaman yang tersembunyi. Karena itulah aku ingin memastikannya, setidaknya setelah apa yang kau katakan tadi... aku cukup lega, ternyata kau hanya seorang anak yang polos," jelas Val serius.

"Selamat kau telah mendapatkan persetujuan Val dengan pesan tersiratnya tadi," timpalku dengan tawa puas.

"Meskipun kesal, tapi terima kasih...."

Ia pun tersenyum lepas dengan ekspresi yang lega. Sepertinya aku mendapatkan rekan baru lagi yang akan menemaniku di perjalanan ini.