“Halo, iya, Pak,” Nina mengangkat telepon begitu tahu dari siapa yang menghubunginya.
“…”
“Baik, tolong titip di pos satpam saja ya, Pak. Nanti Saya ambil. Maaf, tambahannya nanti dari uang elektronik aja ya, Pak. Terima kasih, Pak.”
“…”
“Iya, terima kasih Pak,” jawab Nina kemudian mematikan sambungan telepon.
“Dari siapa, Nin?” tanya Shila.
“Abang ojol. Tadi gue minta dianterin barang. Lo duluan aja ke kantinnya, nanti gue nyusul,” jelas Nina.
“Gitu? Yaudah, oke. Hati-hati ya,”
“Sip, pesenin baksonya dulu gapapa, gue lagi kepengin bakso hahaha.”
“Siap, bye Nin.”
“Bye!”
Setelah mendapat balasan chat dari Citra dan mengambil barang yang dimaksud di pos satpam, Nina segera melancarkan rencananya. Ia terus berdoa dalam hati, semoga kali ini tidak ada hal buruk yang menimpanya seperti kemarin.
Saat Nina berdiri di depan gapura kantin fakultas Citra, semua pandangan betul-betul tertuju kepada gadis itu.
“Hai, Nona… Mau kemana’e. Mau diantar?” seorang mahasiswa dari timur Indonesia menyapanya. Tidak ada niat menggoda Nina dan ia tahu itu, hanya logatnya saja yang mungkin kadang terkesan ambigu.
Nina menghampirinya dan tersenyum. “Hai, Kakak. Boleh antar Sa ketemu Gradien?”
Mahasiswa itu tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang putih. “Boleh, mari Sa antar Nona,”
Nina berjalan satu langkah di bebelakang mahasiswa tersebut dan merasa lebih aman karena tidak ada yang berani mendekat dan menggodanya.
“Weits, Boni, kau beruntung sekali! Sa juga mau,” kata seorang temannya di kantin. Boni, si mahasiswa yang menemani Nina hanya tersenyum dan mengangkat dagu.
‘Ooo namanya Boni, kalo di gabung sama nama gue jadi Bonina dong, kayak nama sepray,’ Nina membatin.
Tak lama, Nina dan Boni sampai di meja yang biasanya Gradien dan teman-temannya duduki jika makan di kantin.
“Thank you, Kak,” ucap Nina kemudian Boni pamit undur diri. Nina tersenyum menghadap Gradien. Disana Nina melihat, selain Gradien, ada juga dua teman cowok yang kemarin juga bersama pria itu, mungkin itu memang sahabat Grad, juga… dua orang perempuan yang duduk di samping kanan dan kiri mengapit Gradien sambil merokok. Kedua perempuan tersebut melihat Nina dengan tampang tak bersahabat.
“Nina?” ucap Gradien mengembalikan Nina ke dunia nyata.
“Ah, hmm… hai,” jawab Nina canggung.
“Awas, awas!” Gradien keluar dari tempat duduknya lalu berdiri berhadapan dengan Nina. “Kenapa?” lanjutnya.
“Oh, ini. Gue mau ngasih ini buat lo. Sebagai… sebagai tanda terima kasih,” jelas Nina kemudian memberikan sebuah amplop putih dengan tulisan nama café milik Papa.
Gradien mentautkan alis, kemudian menerima dan lekas membuka isi amplop tersebut. Ada dua voucher makan di Kala’s café masing-masing senilai lima ratus ribu rupiah. Gradien sejenak terperangah.
“Serius? Banyak banget.”
Nina hanya tersenyum. “Terima kasih udah sempet bantuin gue tadi.”
“Sama-sama. Serius loh, sebetulnya gak musti pakai beginian segala... Aduh, gue gak tau mau ngomong apa lagi.”
“Gapapa, yaudah, itu aja. Gue permisi ya. Mari semua, gue duluan,” pamit Nina.
“Iya, hati-hati.”
“Iya.”
“Hmm… Gue anter. Gue anter sampai depan doang, soalnya anak-anak sini jahat-jahat kalau ngeliat barang bagus,”
Nina tersenyum pasrah. Dan, akhirnya mau diantar Gradien.
“Guys, kalau liat dia lagi di fakultas kita, jangan digodain atau diganggu ya, kalian boleh langsung berhadapan sama gue kalau gue tahu!” ancam Gradien.
“Iya, Grad.”
“Berarti kalau gak tau, masih aman dong, Grad?”
Gradien berhenti sejenak. Ia menoleh ke asal suara dan tersenyum. “Aman, paling besoknya lo tinggal nama dan kenangan.”
Nina terdiam dan menelan ludah susah payah. Mungkin memang Gradien mempunyai pengaruh disini, jadi banyak teman yang menurut kepada dia. Mereka berdua akhirnya melanjutkan perjalanan.
“Udah sampai. Terima kasih, dan hati-hati ya,”
Nina mengangguk. “Oke, thank you,” jawab Nina kemudian berlalu dari hadapan Gradien.
“Udah?” tanya Shila ketika dia, Nina dan Citra sedamg makan bakso di kantin fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Nina mengangguk dan lekas mendoakan makanannya, bakso yang sudah dipesankan oleh Shila.
“Selamat makan!” seru Nina excited. Nina meminum air putih dahulu, baru menyuap bakso pertamanya.
“Gimana tanggepan Gradien? Risih gak dia dideketin cewek kecuali si dua dayang-dayangnya itu?” kali ini Citra yang angkat bicara.
Nina berpikir sejenak. “Enggak tuh, malah salting. Tapi, yaudahlah yaaa… Yang penting, gue gak utang budi sama dia. Jadi, urusan kami… selesai!”
“Hahaha, bisa aja lo, Nin.”
“Hai, Nina ya?” Nina menengok setelah memasukan bakso kedua kedalam mulutnya. Ia hanya mengangguk-angguk.
“Nin, Gradien mau bicara sama lo. Tapi gak disini, makanya kami jemput lo,”
“Suruh dia kesini sendiri, gue aja berani nyamperin buat ngasih voucher gitu, masa timbang ngomong, dia gak mau nyamperin balik sih?” ucap Nina dengan nada santai namun kata-katanya menusuk.
“Lagi sibuk dia, udah deh, ikut aja.”
Nina menggeleng. “Lagi makan, gak baik ngeganggu orang makan. Laper gue,” kata Nina.
“Sebentar doang. Ayo!” Salah seorang perempuan yang diketahui adalah dayang-dayang Gradien, tiba-tiba menarik lengan Nina hingga kursi plastik yang didudukinya tergeser.
Dengan tenang Nina berdiri, kemudian mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman dua perempuan tersebut. Ketika malah semakin kencang dan membuatnya sakit, tanpa segan, Nina menginjak kaki mereka keras-keras dan membuat fokus kedua orang tersebut terbagi. Nina kembali mencoba melepaskan lagi tangannya dan mendorong mereka berdua pelan.
“Jangan main kekerasan disini, Saya gak suka,” ucap Nina dengan nada dingin. Ia kemudian kembali duduk makan namun dengan tampang sangat waspada.
“Awas ya lo!” ancam perempuan yang berambut panjang.
Nina membalikan badan. “Maaf, Saya gak ada masalah sama kamu, kamu jangan menjual nama orang demi kepentingan pribadi ya! Kalau mau berteman silahkan, tapi jangan pernah berani menyentuh Saya seperti tadi. Oh! Saya tidak ada maksud apa-apa saat memberikan Gradien amplop itu. Hanya ucapan terima kasih. Kalian salah cemburu sama orang. Jaga Gradien, bukan malah melabrak Saya!” jelas Nina yang betul-betul pandai menjaga nada suara.
Kedua perempuan rese itupun akhirnya berlalu dengan tampang malu dan kesal karena mereka menjadi pusat perhatian.
“Gokil! Bisa bela diri juga lo Nin!” salut Citra.
Nina tersenyum. “Percuma gue punya Papa dan Abang yang jadi karateka kalau gue gak ketularan,” jawabnya.
“Nada ngomong lo super terkontrol tadi. Asli, gue kayak melihat Nina dalam sisi lain.”
“Yang pegang remote control hati itu diri kita sendiri, jangan biarkan orang lain mengendalikan hati kita.”
“Quotes by Nina, terbaik tahun ini,”
“Hahaha, bisa aja lo berdua! Yuk, lanjut makan,” Nina menanggapi.
Sebelum kelas jam siang dimulai, Citra masih asyik ngobrol dengan Nina dan Shila di kelas sahabatnya itu.
“Oiya, Nin… Tadi kok lo bisa tau kalau bukan Gradien yang manggil lo? Tapi, kemungkinan besar, mereka yang mau ngelabrak elo,” tanya Citra.
Nina mengangguk. “Gradien tuh suka sama spotlight. Jadi, gak mungkin dia ngutus orang buat hal remeh kayak gitu. Pasti dia bakalan dateng sendiri. Itu analisis gue sih, Cit.”
“Lo sadar Gradien senang spotlight?” Shila tertarik dengan obrolan Citra dan Nina.
“Yup! Pas gue diganggu di koridor fakultas teknik, dia yang nolong gue, dan beberapa teman dengerin omongan dia, makanya gue bisa lolos. Terus kedua pas di kantin fakultas teknik tadi. Dia ngancam teman-temannya untuk jangan sampai gangguin gue lagi. Dan… teman-teman sekantin tuh nurut. Gampang dibaca gitu sih,” jelas Nina.
Citra dan Shila mengangguk paham. “Kira-kira kenapa ya?”
“Dia anak orang penting di negeri ini gak? Atau kemungkinan kedua…,” Nina menggantungkan kalimatnya, ia melihat ekspresi Citra dan Shila. Kedua gadis itu menatapnya balik, penasaran.
“Jangan-jangan apa, Nin?”
Nina tersenyum. “Dia gak dapat perhatian di keluarga, makanya mencari pamor di tempat lain. Itu salah satu dari banyak gangguan kejiwaan histrionik.”
“Ooo… I see. Gila, berteman sama lo mau dua tahun, makin pinter deh gue, Nin. Thank you ya,” ujar Citra berterima kasih.
“Hahaha, banyak baca aja. Gue juga tahu dari buku yang biasanya orang tua gue beli kok. Mubazir kalau dianggurin doang.”
“Nin, gangguan kejiawaan histrionik itu apaan sih?” tanya Shila.
“Aduh, Shila sayang, buat apa lo punya handphone pintar? Masa pinteran handphone sih daripada yang punya?” cela Citra. Untungnya, Shila tergolong team anti baper.
“Hahaha. Parah lo Cit. Hmm… gampangnya sih itu salah satu gangguan kejiwaan yang dibedakan dengan pola emosi berlebih dan perilaku mencari perhatian. Contohnya kayak narsis, atau malah anti sosial. Nah, salah satu gejalanya, ya caper berlebih gitu, karena di tempat dia bertumbuh, dia kadang gak mendapatkan apa yang dia mau, seperti kasih sayang, makanya di lingkungan lain, dia mencari cara supaya dia dapat hal yang dicari. Begitu.”
Shila paham sekarang. “Ooh… Ngerti-ngerti. Hahaha, thank you loh!”
“Hahaha, iye!” ledek Nina.
“Selamat siang semua,” seorang dosen pengampu masuk ke dalam kelas.
“Bye, gue duluan ya,” pamit Citra.
“Iya, bye!” untungnya yang baru masuk di kelas hanya mereka bertiga, jadi ngobrol dengan volume sebesar apapun… aman!
Setelah pamit dengan dosen yang akan mengampu, Citra segera keluar.