NAM Jungkook tak ayal bagai si buas yang tengah bersembunyi dibalik topeng kelinci, guna menyembunyikan taring yang lantas ia ganti dengan dua gigi menggemaskan agar dapat memanipulasi keadaan—hingga tabiat si buas, berakhir ia pertontonkan dalam beberapa menit terakhir. Menyisakanku yang berdecih secara berulang, serta kepalaku yang terasa pusing bukan kepalang selepas ia robohkan tubuhku secara cuma-cuma di atas permukaan sofa.
"Jung—" interupsiku, yang jelas tak di pedulikan oleh seorang pria yang gairahnya tengah berada di puncak.
Mungkin pria yang memiliki rentan usia tiga tahun dibawahku ini tak sempat menerka, perihal gadis yang ia cumbu kali ini ialah si pengida syndrom skyzoid. Membuat hanya pria itu saja, yang menjadi satu-satunya pihak paling menikmati permainan sensual yang tengah ia ciptakan. Bibir lembab yang terus saja bergerak aktif di atas bibirku dengan lancang, serta merta membawaku turut tenggelam akan pagutannya dalam beberapa saat. Hingga sepasang irisku kembali mengerjab, selepas nalarku telah kembali; tatkala pria itu lebih memilih bungkam, dari pertanyaan yang sempat ku lontarkan dalam beberapa waktu lalu, "Apa yang kau ketahui, tentangku?" ulangku sekali lagi, yang masih saja di abaikan oleh pria yang hanya menilikku sekilas.
Bermodalkan sedikit kekuatan yang ku kumpulkan secara penuh, lekas ku dorong bahu pria yang serta merta memberikan jarak normal sebab kungkungannya terlepas gampang. Membuat kami saling melempar tatap dalam diam, hingga pria yang surai legamnya terlihat acak itu bersua, "Segalanya. Mengenai Jian Noona yang selalu menutupi surai dengan tudung hoodie hitam sejak tiga tahun lalu, ataupun noona yang—" kalimatnya terjeda, seraya memiringkan kepala sejenak, hingga irisnya lantas terpejam singkat.
Nam Jungkook Kembali mencondongkan punggung, hingga merangkak perlahan di atas tubuhku yang turut terjerembab untuk kali kedua pada permukaan sofa. Menyisakanku yang lekas memalingkan wajah, sebab satu seringai kembali ia tampilkan pada belah bibir merekah yang tak ia katup dengan baik, "Aku mengikuti noona kesini—karena ingin menawarkan diri, untuk membantu noona—agar mendapatkan sentuhan, sebagai satu bentuk konyol sebuah terapi penyembuhan. Jadi—bisakah noona, mempertimbangkanku untuk melakukannya? sama seperti tawaranmu, tempo hari—mengenai bercinta." gamblang pria yang ku dapati telah menyingkap kaos tipis yang ku kenakan—hingga menampilkan perut datar, yang langsung saja membuat pria itu bereaksi; menatapnya sejenak, sebelum adam apelnya tergerak naik turun; tengah susah payah meneguk saliva, "Akan ku janjikan pada noona, perihal beberapa emosi yang dapat kau rasakan; ketika menerima sentuhanku—bahkan, hal itu cukup mampu membuat noona—menggila, setelahnya."
Kekehanku mengudara, seraya menepuk angin secara berulang; sebelum dua lenganku lantas terkalung pada tengkuk pria yang lekas menyambut dengan airmuka sumringah dalam beberapa detik, sebelum seringai menyebalkannya kembali muncul selepas mulut tajamku kembali mengolok pria itu, bersama beberapa umpatan kecil, "Dasar berandal kecil! kau mau membohongiku eoh? tak punya banyak uang untuk menyewa jalang hm? apa libidomu sedang berada dalam puncaknya? Memangnya—bocah penyuka banana milk sepertimu, bisa apa? sudah, lebih baik berhenti bermain-main denganku dan menyingkirlah! ini tak akan berguna untuk—"
Kini, lontaran asalku berhasil di bungkam telak oleh pria yang puncak hidungnya tengah menekan satu pipiku—bersama iris yang terkatup rapat. Membuat irisku melebar, tatkala pergerakan kepalanya malah kian memperdalam ciuman sepihak yang tak memiliki rasa apapun untuk ku. Ini tak manis—juga terasa hambar. Hanya sekedar bibir yang saling memagut, tanpa memiliki makna tersendiri—meski sesekali Nam Jungkook terdengar meleguh, begitu berbanding terbalik denganku yang hanya mengerjabkan iris; seakan tengah mengamati ekspresi pria yang lantas menjeda pagutannya—sebab merasa sedikit terengah.
Menyisakan satu sudut bibirku yang lekas tertarik, manakala degub jantungku sedikit dipacu oleh pria yang masih mengatur nafas, hingga membuatku menginterupsi, "Baiklah—ayo berkompromi, Jung. Kurasa idemu tak terlalu buruk—jadi, itu tak masalah jika kita harus melakukan percobaan bercinta, untuk beberapa kali." ujarku enteng, tak pelak membuat Nam Jungkook tersedak oleh saliva—hingga deheman singkatnya, serta merta membuat bibir bawahku tergigit tipis. Memerhatikan bagaimana jemarinya mulai telaten untuk kembali menyingkap ujung kaos, atau ia yang cukup lancang saat menyentak kancing jeans.
Sementara aku masih terus memerhatikan pergerakan pemuda yang membeku, juga tampak berpikir, mendadak ia ciptakan sebuah jarak—bersama seulas senyum tipis, ketika setelahnya malah memilih untuk memandangiku cukup lama. Sekilas menyimpan anakan suraiku yang sedikit basah oleh peluh, lalu berkata, “Seharusnya, sunbae menghentikanku.” meneguk ludah sekali, Jungkook yang tampak gelisah, pun kembali mengimbuh, “Lain kali, jika hal seperti ini terjadi lagi.. sunbae harus benar-benar menghentikanku. Jangan sampai aku berbuat terlalu jauh.”
Nam Jungkook yang memilih mengakhiri kegilaannya, tak ayal memunculkan rasa penasaran; atas emosi apa yang baru saja kudapati. Antara hampa juga kecewa? … entahlah. Pun sesungguhnya aku tak berniat mengenggam pergelangan tangan pemuda pemilik gigi kelinci itu. Hanya saja, seakan ada perasaan yang tak dapat kupahami.. serta diluar akalku.
“Kau termasuk orang yang percaya Bumi itu bulat atau datar?” tanyaku, asal. Sontak ditanggapi oleh Jungkook yang hanya mengedipkan bulu matanya, antara berpikir atau tak habis pikir atas lontaran tak pentingku. “Baiklah, lupakan. Kau lamban dalam mencerna pertanyaan, rupanya.”
Menangkap airmuka sebalku, entah mengapa pemuda dihadapanku malah bereaksi lebih. Ia yang selanjutnya tampak memamerkan gusi sembari menepuk angin secara berulang, tak pelak menjadikanku sebagai seorang maniak atas beragam ekspresi yang ia tampilkan. Bagaimana manik legam itu tenggelam dalam garis, kedua belah pipi yang bersemu merah—sungguh mampu membuatku turut menarik sudut-sudut bibir, meski hanya sekali duakali.
Selepas ia puas atas tawanya, Jungkook pun kembali menunduk. Meneguk ludah sekali lagi, sebelum ia berkata, “Maaf untuk kelancanganku atas dirimu, sunbae. Itu, sungguh diluar kendaliku.” sekilas mencuri tatap kearahku yang masih menatapnya tenang, ia pun berakhir menundukan punggung—sebagai salam perpisahan.
Sementara aku masih merekam punggung tegap itu berotasi bersama langkah mantapnya, tepat ketika ia meraih knop pintu; lantas kupicingkan satu iris, bersama lima jemariku yang bergerak untuk membuat sebuah lingkaran. Mengintip seorang Nam Jungkook dari celah lingkaran tanganku diudara, hingga selanjutnya punggung itu benar-benar menghilang dari pandangku;
Apakah penamaan emosi ini.. adalah kecewa? Entahlah.
Memilih membaringkan punggung pada permukaan ranjang bersama pemikiran yang terus berkeliaran entah kemana; mendadak aku didorong oleh rasa penasaran. Pun bukankah tak salah, jika aku mencaritahu penamaan emosi apa yang barusaja kudapatkan ini? bahkan aku membayangkan jika Kim Nam, pasti akan mengudarakan ibu jari sebagai bentuk penghargaan jikasaja aku sungguh mulai mengenali ragam emosi;
Lalu, disinilah aku sekarang. Hendak mengetuk daun pintu, namun terus diserang ragu. Terus saja memikirkan alasan kuat apa yang mampu membawa tungkaiku memaku diri didepan kamar flat seorang asing; yang bisajadi hanya bermain-main denganku saja. []
--o0o--