Lembar Delapanbelas

KESEPULUH jemariku, terangkat. Guna menyatukan seluruh surai, untuk membentuk sebuah tatanan kuncir kuda. Seakan membatasi sang angin; agar tak menerbangkan suraiku dengan bebas. Bahkan didetik ini, nafasku kembali terhela cukup kasar, seraya menendang angin. Kian menghentak aspal secara serampangan, bersama sumpah serapah yang mendorongku kembali naik pitam.

Langkahku terhenti, lekas merotasikan tungkai; untuk mendelik ke arah dua kepala yang menilikku dengan gerlingan menjijikan, "Apa? Kalian ingin mati huh?" ancamku hingga dua pria yang sempat memberikan tatap menggoda itu bergidik ngeri, lekas mengambil langkah setelah berujar, "Gadis gila." tentu saja umpatan dua pria barusan, kuanggap sebagai pujian; sebab hal itu tak sepenuhnya salah.

Menit demi menit lantas membawa tubuhku menghadap pada sebuah daun pintu yang terbuat dari kaca tebal, bertuliskan 'R. Konsultasi'. Hingga desisku lantas membawa langkah percaya diriku untuk segera menciptakan suara derit; yang berhasil menyita atensi seluruh pasang mata di dalam ruang sana.

"Dapat! Ini jackpot!" teriakku dalam benak, lekas mengambil langkah angkuh untuk segera menjatuhkan diri pada permukaan sofa; sekedar mengisi tempat kosong di samping salah satu pria yang menatapku tanpa mengatupkan bibirnya, "Aku tak tau jika dokter memiliki banyak tamu. Apa kedatanganku ini, menganggu waktu kalian?" ujarku dengan nada dibuat-buat, bersama kedua kaki yang menyilang; cukup angkuh.

Satu sudutbibir ku lantas tertarik, guna membentuk seringai tipis seraya merunduk sekilas, sebelum kembali melempar tatap pada satu pria yang kini mengerjap; seakan tersadar akan kehadiranku, "Oh, kenapa kekasihku ada di sini? Apa kalian saling mengenal satu sama lain hm?" tandasku, lantas mengikis jarak untuk mendekat ke arah Jungkook, hingga berbisik lirih; "Apa kau sedang bermain-main denganku, eoh?"

Nam Jungkook, tampak terkesiap. Hingga refleks menyematkan kelima jemarinya untuk menggenggam tanganku cukup erat. Bibir tipis itu bahkan terkulum secara berulang; menandakan rasa gugupnya kali ini. Augh, ia bahkan telah tertangkap basah olehku, dan masih belum menyempatkan diri untuk melontarkan argumennya? Gila.

Sudut netraku lantas beralih, untuk melirik satu pria yang terlihat santai, tengah bersandar pada punggung sofa; di sebrang sana. Ia Hwang Jimin; si musuh dalam selimut yang nyatanya masih mematrikan tawa tipis, setelah iris kami saling bertubrukan.

Tiga detik selanjutnya, aku kembali berdecih; tatkala kalimat Hwang Jimin pagi tadi, kembali terngiang pada indera pendengarku. Katanya;

"Ingat ketika Jungkook menolong noona saat di gunung Naejangsan? augh. Jangan bilang jika kau menganggap hal itu, sebuah takdir? berfikirlah sedikit realistis dan jangan terlalu naif noona. Bocah itu jelas bekerja sama dengan psikiatermu.

Maksudku; kau jelas belum tau jika Kim hyung merupakan kakak dari Seok hyung bukan? Dan—mereka berdua, adalah kakak laki-laki dari Jennie; si cinta pertama Jungkook. Oh Pertanyaannya hanya; benarkah perasaan Jungkook terhadapmu itu, tulus?"

Bibir bawahku tergigit geram, seraya bersidekap. Kali ini netraku lekas berpendar ke sekeliling ruangan. Selanjutnya terhenti pada si dokter yang menatapku begitu tenang. Oh mungkin saja ia tengah menyusun rencana, atau menata kalimatnya untuk membual. "Oppa? berapa lama kau menanganiku? satu tahun? dua tahun? oh tidak, kurasa hampir tiga tahun. Benar begitu?" tanyaku yang hanya dibalas anggukan kecil olehnya.

Pria perfeksionis itu terlihat membenahi bingkai kaca matanya sekilas, sebelum beranjak dari singgasananya; untuk mendekatiku. "Begini, Jian—"

"Aku sudah lebih baik atas saranmu. Jadi mulai hari ini kau tak usah bersusah payah, memikirkan langkah untuk proses penyembuhanku lagi." potongku cepat. Membuat Kim Nam memejam sekilas, hingga satu pria turut mengimbuh, "Jian-ssi, jadi Nam hyung itu hanya—"

"Yak! wakil ketua kelas! kenapa dunia ini begitu sempit hm? jika tau kau itu adik dari dokter yang menangani ku, pasti aku akan bersikap lebih baik terhadapmu." lekas kusela kalimat Seok, bersama tawa sinting yang dibuat-buat. Hingga dimenit selanjutnya, tatapanku kembali mengarah pada Jungkook, yang masih membisu dengan raut sendu; tanpa sebuah penjelasan, ataupun tindakan yang berarti.

Apa ia sungguh menganggapku layaknya bidak catur yang dapat ia mainkan sesukanya? sial. Bahkan mulut tajam Jungkook ketika mengomentari penampilanku, hilang begitu saja. Oh atau busana S-line yang ku kenakan, masih kurang pendek? atau tatanan ponytail yang memamerkan kissmark dari bocah itu, sama sekali tak menganggu pandangannya?

Lidahku berdecak sekali lagi, lantas kembali mengalihkan pandangku pada Kim Nam untuk berujar, "Apa oppa ingin menitip salam untuk kedua orangtuaku? mulai hari ini aku akan kembali ke rumah, dan tinggal bersama mereka." jelasku, lekas meluruskan punggung; untuk mengambil langkah—kian mendekat pada Kim Nam yang tengah merunduk.

"Aku sungguh tak berbohong perihal kepekaan emosi yang bisa kau dapatkan melalui sebuah sentuhan, Jian." terang Nam oppa, berusaha meyakinkan.

"Aku tahu. Bahkan.. aku telah mendapatkan hal yang lebih dari Jungkook. Seperti; bercinta dan mencoba menjadi sepasang kekasih." timpalku, acuh.

Denting arloji yang berada disisi dinding seakan mengisi kesunyian yang menyergap seluruhnya secara tiba-tiba, hingga mulut tajamku kembali mengimbuh, "Tapi sampai saat ini, aku tak dapat merasakan ketulusan dari bocah itu. Ya, Nam oppa! haruskah aku mengakhirinya, dan mencari pria lain saja? bagaimana menurutmu?" tanyaku dengan sengaja; membuat pria dibelakangku lantas melakukan pergerakannya

Kekehan pelanku lolos; tatkala mendapati satu aura membunuh yang ditampilkan oleh Jungkook ketika menatapku; layaknya seorang pemburu yang tengah mengincar targetnya. Hingga tawa lima jariku kian mengembang, dibalik polesan lipstick mate berwarna merah tua; yang teramat jarang kukenakan, "Jangan menatap ku seperti itu, Jung. Membuatku takut saja. Augh." remehku, bersama tepuk riuh yang kuciptakan; tanpa sebuah alasan pasti. Sayangnya tawaku tak dapat bertahan lama, sebab didetik ke sepuluh, bibirku telah mengatup sempurna; tersumpal oleh sebuah pagutan paksa yang bahkan, tak sempat kuprediksi sebelumnya.

Kelopakku mengerjap secara berulang. Lekas mengedar pandang pada beberapa pria yang kini membuang pandangnya ke lain arah; berusaha menghindari pemandangan menjijikan yang di ciptakan seorang Nam Jungkook.

Bahkan pukulan bar-bar yang kuciptakan, terasa tak berarti karena Jungkook telah berhasil membawa tubuh ringanku agar terjerembab sempurna diatas meja kerja Kim Nam. Hingga satu gigitan keras oleh Jungkook pada bibir bawahku, nyaris saja melayangkan satu vas bunga yang tergeletak di sisiku.

Oh tidak. Jangan sampai si berandal sialan ini, memperkosa seorang gadis didepan teman-temannya.

Kelopak manikku seketika memejam geram, mendapati satu remasan kuat pada dada kiriku tanpa basa-basi, serta sarat akan emosi pada sentuhannya. Hingga sebuah tarikan kuat, berhasil melepaskan pagutan Jungkook. Menyisakanku yang terengah dengan sorot nyalang, "Kau tak pernah diajari tentang bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik huh?" teriak satu pria yang lekas melayangkan satu pukulan telak pada sisi wajah Jungkook.

Tungkai bergetarku lantas menapaki ubin, untuk mengambil langkah tergesa. Kian meringsak di tengah keduanya, "Hentikan, Yoongi-ya."

Salivaku terteguk paksa, sebelum iris sayuku menatap pria bersurai blonde yang entah sejak kapan memasuki ruang dingin ini, "Sialan." umpat pria itu, lekas melepas jacket kulit yang tengah ia kenakan; untuk disampirkan pada dua bahuku, yang mulai bergetar.

Tubuhku pun terseret dalam rengkuhan Park Yoongi. Hingga satu tendangan, hampir saja ia layangkan; namun kembali diurungkan olehnya, karena lebih memilih untuk membenahi tatanan suraiku yang tak lagi berbentuk. Lantas mengusap bibir bawahku—sekedar menyeka rembesan darah di sana, "Kembalilah pada wanita terdahulu mu, Jung. Sekarang, Lee Jian bukan lagi milikmu." tandas Park Yoongi, penuh penekanan pada tiap katanya.

Hingga di detik selanjutnya, atensiku lantas tersita oleh sosok cantik yang berdiri diambang pintu—tengah menatap ku.

"Apa ia—Jennie?" Gumamku []

--o0o--