Lembar Tigapuluh Dua

ITU seperti mimpi. ketika jantungku diledak-kan oleh cinta; layaknya kembang api—berselimut kehangatan garis khatulistiwa. Bibirku tak hentinya mengulas garis cekung. Menikmati bagaimana raut tertekuk pria, yang tengah disibukan oleh beberapa tombol kamera untuk diaturnya sedemikian rupa. Membuatku mengulum bibir, sesaat setelah mendapatkan satu fakta; perihal Nam Jungkook yang tak hanya menyukai Lee Jian dan overwatch saja, ternyata ia juga menyukai fotografi.

Ah, lagi-lagi lambungku nyeri dibuatnya, tatkala mati-matian kutahan gelak tawa yang sejujurnya ingin kuloloskan bersama tepuk riuh; layaknya orang sinting. "Berhenti menatapku seperti itu, noona. Kapan temanmu itu akan datang?" interupsi pria yang terlihat menilik-ku sekilas; dengan sedikit acuh.

Lekas membuatku bersidekap; seakan tengah meremehkan, "Kenapa kau possesive sekali tuan?" godaku, yang hanya ditanggapi decihan singkat.

Tubuhku nyaris bangkit. Berniat merengkuh punggung Jungkook, namun kembali tertahan—selepas mendapati beberapa pesan beruntun yang masuk dalam ponselku. Dahiku mengernyit sekilas, namun mengulum senyum setelahnya.

Jemariku pun tergerak—begitu perlahan membaca satu persatu pesan yang tertera di sana. Hingga pesan itu berakhir, dengan satu audio yang ia kirimkan;

From: 'si brengsek'

'Kau baik-baik saja, bukan? aku sedikit mengkhawatirkanmu'

'Sejujurnya ada beberapa hal yang ingin kusampaikan; tapi lidahku selalu kelu, hingga kesulitan bernafas jika berhadapan denganmu. Itu gila!'

'Ahh.. aku telah menghabiskan waktu untuk berfikir, dalam beberapa waktu terakhir. Bagaimana aku harus belajar berlapang dada atas kegagalan perasaanku terhadapmu. Atau keinginanku untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Jangan tertawa, atau mengejek ku Jian! karena aku memiliki sesuatu untukmu. Dengarkan ini baik-baik. Aku telah menciptakan sebuah aransemen musik, dengan lirik lagu yang menurutku sedikit menyentuh. Hahaha aku terus saja memikirkanmu. Oh.. Jika ingin menyimpan file ini, namakan saja dengan judul 'just one day'. Dan jangan tercengang setelah mendengarkan keajaiban yang kuciptakan ini, oke?'

Irisku mengerjab. Begitu lamban untuk mencerna kalimat demi kalimat yang dikirimkan oleh Yoongi—seraya mendekatkan ponsel, begitu seksama mendengar audio yang ia kirimkan. "Berandal sialan!" umpat ku lirih, lekas menarikan jemariku di atas layar ponsel untuk menanggapi pesannya.

Ya! Kau dimana? Ayo bertemu!

Sialnya, itu sama sekali tak mendapatkan balasan. Membuatku berkemas, hingga mengabaikan Jungkook yang hanya tertegun mendapati pergerakan tergesa ku, "Sore ini aku ada kelas perkuliahan. Kita bertemu di kampus, oke? Ah—sekarang aku harus pergi, chagiya."

Langkahku nyaris mendebumkan daun pintu, namun punggungku kembali berotasi bersama langkah tergesa ke arahnya—untuk memberikan dua kali kecupan ringan pada permukaan bibir Jungkook. Menyisakannya yang hanya terpaku, dengan raut bingung—hingga tubuhku benar-benar menghilang dari pandang nya.

Tungkaiku begitu terburu tanpa sebuah arah yang pasti. Menyusuri koridor appartement. Hingga tak berniat mengedar pandang ke sekeliling—sebab jemariku tengah di sibukan oleh ponsel yang secara berulang ku tekan untuk melakukan panggilan, "Wah—cuaca hari ini, bagus sekali." satu suara menginterupsi. Membuatku lekas menoleh, untuk mencari sang sumber suara.

Kudapati ia, yang tengah menekuk lutut disisi aspal seraya mendongak ke arahku yang turut memaku diri, tengah menatapnya aneh. Lidahnya pun terlihat menjulur secara berulang; untuk melumat lolipop yang dapat kutebak sebagai pengganti karena ia tak mampu membeli sebungkus rokok, "Oh—wae? Terpukau dengan ketampananku eoh?" pria itu terkekeh setelahnya. Lekas meluruskan punggung, untuk mensejajariku yang hanya berdecih sebal.

"Menjadi gelandangan lagi karena dipecat oleh atasanmu?" tebakku, yakin. Membuat kekehan pria itu mengudara, bersama jari telunjuknya yang terarah pada minimarket di sebrang jalan. Lantas mengujar, "Maka dari itu, aku tengah berjaga dan mengawasi si pemilik toko. Jangan beritahu siapa pun, jika aku berniat untuk merampoknya. Ia harus kuberi pelajaran. Memangnya apa yang salah jika aku menggratiskan belanjaan untuk mereka yang mengaku tak punya uang? Ah—bisa bisanya ia malah memecat kasir tampan sepertiku."

Aku gila, dan Tae Oh juga—itulah yang ku tau sejak dulu.

Irisku berotasi. Sedikit mengacuhkan, hingga berniat menggambil langkah untuk meninggalkan pria yang tengah bermonolog aneh—sebelum satu tangannya berhasil meraih pergelangan tanganku, "Tolong beri aku uang, Jian. Oh atau belikan aku sebungkus rokok saja? memangnya kau tak kasihan dengan pemantikku? Pemantikku bahkan merengek, ingin menyulut rokok meski hanya satu puntung. Ah—aku juga lapar. Ya tuhan, dosa apa yang telah kuperbuat sampai-sampai aku menjadi gelandangan tampan seperti ini?" imbuh Tae Oh lagi; lantas menciptakan acakan surai yang ku perbuat sendiri—merasa begitu frustasi akan deretan kalimat konyol pria yang kembali menekuk lutut; untuk meringkuk, seraya menyembunyikan wajahnya.

Satu pukulan telak yang ku daratkan tepat di atas kepala Tae Oh—tak pelak membuatnya sedikit terhuyung ke depan. Lantas kembali mendongak ke arahku, "Bangunlah! kau membawa motor kesayangan mu itu bukan? antarkan aku, dan sebagai gantinya akan ku belikan rokok dan makanan! Kajja—" perintahku yang langsung ditanggapi raut cerah pria yang kini merentangkan kedua lengan, hingga berakhir untuk memiting area leherku dengan gemas.

Tawa kotak yang ia pamerkan, nyatanya membuatku ingin memberi satu sikutan berarti, "Sejak dulu, kau memang selalu bisa diandalkan nona. Aku mau jjangmyeon! Belikan itu untukku." ujarnya tanpa basa-basi. Kian merangkul bahuku, seraya mengambil langkah riang—namun kembali terhenti, setelah ia kembali melontarkan pertanyaan, "Memangnya, aku harus mengantarmu kemana?"

Kelopakku mengerjab; sedikit mencerna kalimatnya dengan lamban, hingga kenyataan telah menghantam ku, "Aku tidak tau. Ia tak membalas pesanku." gumam ku—sedikit menghela, sebelum irisku terarah pada minimarket yang berada di sebrang sana, "Kita rubah rute-nya. Bagaimana jika aku membelikan kau rokok serta makanan terlebih dulu?" tawar ku, seraya menunjuk dagu—menyisakan Tae Oh yang berdesis kentara.

Jemarinya terangkat, mengacak surai legam itu dengan singkat—lantas kembali melumat lolipop-nya; sekali lagi, sebelum ia gunakan sebagai pengganti jari telunjuk; untuk menudingku, "Kau fikir aku sudi untuk membeli makanan di tempat bos pelit itu huh? yang benar saja? ah, kajja! aku sudah kelewat lapar, jadi ramen juga tak masalah." konyol Tae Oh, sekali lagi. Menciptakan gelak tawa yang tak beraturan, hingga membuatku terpingkal seraya mencengkram perut—membuat pria yang telah mengambil langkah terlebih dahulu, lantas kembali merotasikan tungkainya—untuk berdiri satu jengkal didepan wajahku.

Tawaku terhenti. Tepat ketika iris Tae Oh mulai memekat; tengah menatapku lamat. Hingga ia mampu membuat bibirku terbungkam sempurna, oleh satu lolipop miliknya yang kini berpindah pada ronggaku, "Brengsek! kau fikir aku mau menikmati permen bekasmu ini huh?" jeritku frustasi. Nyaris mempergunakan lolipop itu, untuk menimpuk kepala pria yang kembali mendahului langkahku dengan angkuh.

Desis kentara yang kuciptakan bersama derap langkah setengah berlari, tak pelak membuat Tae Oh mendelik—setelah menyadari raut sebalku. Ia bahkan setengah berlari; berusaha menghindariku yang turut mengejarnya.

Lekas kuraih beberapa kerikil, sebagai perantara balas dendamku terhadap pria yang malah terkekeh sinting—seakan tengah mengejekku yang tak mampu mengejarnya, "Brengsek sialan! Kemari—atau kau akan mati kelaparan!" ancamku, tak main-main. Membuat pria itu mengaduh, seraya mengulum bibirnya sekilas. Sebelum memutuskan untuk mengambil jarak dekat, ke arahku.

"Kau banyak berubah, Lee Jian. Apa kau telah mendapatkan kebahagiaan yang sempat kau cari itu hm? Oh—biar ku tebak. Itu pasti karena bocah kecil itu bukan?" ujar Tae oh, seraya menunjuk dagu. Membuatku lekas menoleh—lantas mendapati Jungkook yang tengah menatapku melalui celah kaca mobil, yang terparkir tak jauh dariku. []

--o0o--