Aku belum pernah merasakan sakit hati yang teramat sangat, luar biasa sakitnya di dalam hidupku. Merasakan satu-satunya hati yang kumiliki hancur berkeping-keping, mendapati cita-cita yang kumimpikan selama hidup ternyata tidak seperti apa yang kubayangkan, dan merasa terombang-ambing tanpa tujuan di dalam kehidupan ini.
Dulu, aku bahkan sempat mengolok-ngolok teman-temanku yang pernah mengalami penderitaan semacam itu. Aku memanggil mereka pengecut. Aku bahkan benci lagu-lagu cinta yang liriknya berisi tentang patah hati, ratapan dan mengiba.
Namun, tiga tahun yang lalu kualami semua itu. Aku mengalami semua lirik dari lagu-lagu cinta yang pernah kubenci. Aku mengalami penderitaan teman-temanku yang pernah kuejek. Saat aku merasakan semua itu barulah aku menyadari bahwa hal itu terbukti benar adanya dan nyata. Dan sungguh menyakitkan.
Aku memilih pulang kembali ke rumahku setelah aku memutuskan berhenti dari karir pemandu sorak NFL. Aku menyeret koporku dari Los Angeles kembali ke Santa Monica, membawa beban dan kegagalan. Aku merasa kalah. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatku merasa kalah. Bukan karena aku memilih berjalan terseret-seret menuju pintu keluar Los Angeles Rages Cheerleaders. Bukan. Aku merasa kalah karena aku terlalu menggantungkan diriku kepada seseorang yang bahkan dia sendiri pun tidak beranggapan sama sepertiku. Aku kalah dari perasaanku sendiri.
Setelah Mike pergi dari kehidupanku, aku merasa keberadaanku di muka bumi ini tidak lagi berarti. Aku kehilangan pijakan dan arah tujuan. Saat itu yang kuinginkan hanyalah menghilang dan tidak ingin lagi ikut berpartisipasi di dalam kehidupan yang kejam ini.
Aku ingat sewaktu aku pulang dari Los Angeles dan mengetuk pintu rumah masa kecilku itu. Mom terperangah ketika aku memeluknya dan menangis kencang di ambang pintu. Aku menangis kencang. Pertama kalinya lagi dalam hidupku. Bukan berarti aku tidak pernah menangis, aku sering menangis apalagi setelah Mike masuk ke dalam kehidupanku. Hanya saja, ini jenis tangisan yang sangat menyakitkan, jenis tangisan yang seakan membuat seluruh tubuhku seketika lumpuh dan nyaris pingsan.
Di hidupku, dua kali aku menangis seperti itu. Yang pertama kali sewaktu beberapa orang dari SMPD (Santa Monica Police Department) datang ke rumahku dan mengabarkan kecelakaan yang dialami Dad. Waktu itu aku masih berumur 7 tahun dan menangis, setelah sebelumnya menerjang satu orang polisi ketika salah satu dari mereka memberitahu kami bahwa Dad meninggal seketika di tempat kejadian. Saat itu hanya rasa marah yang kurasakan. Dan yang kedua kalinya adalah ini. Yang kedua ini lebih berat karena bukan hanya kemarahan saja yang kurasakan, aku pun merasa hancur.
Mom hanya diam sambil membelai rambutku saat aku menumpahkan semua penderitaanku di hadapannya. Mom juga tidak bertanya apa dan mengapa. Setelah aku selesai, Mom hanya meraih koporku dan membawanya ke dalam kamar tidurku sambil berkata, "aku membuat Mac n' Cheese. Masih hangat. Keluarkan saja dari Microwave."
Aku tidak ingat lagi apa yang kulakukan setelah itu. Yang kutahu hanyalah aku terdampar di dalam kegelapan dan kehancuran total. Aku mengunci diriku di dalam kamar, meratap dan menangis sampai aku lelah dan tertidur. Keesokan harinya kuulangi hal yang sama. Mom mengetuk pintu kamarku untuk memberiku makan. Tapi ia selalu menaruhnya di depan pintu kamarku jika aku tak kunjung keluar. Aku membiarkan diriku kelaparan selama dua hari. Kubiarkan semua makanan yang telah Mom berikan, sampai Mom akhirnya marah dan mengancam akan mendobrak pintu kamarku bila aku terus bertingkah seperti itu. Akhirnya di hari ketiga aku berhasil turun dari tempat tidurku dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Awalnya aku keluar hanya ingin pergi ke kamar mandi. Tapi kemudian aku jatuh pingsan di tengah jalan dan membuat diriku tersadar di dalam ruang ICU.
Selama satu minggu aku tidak bisa berfungsi. Seakan semua sistem yang ada di dalam tubuhku itu rusak total. Aku layaknya zombie, namun bedanya zombie yang satu ini masih bisa merasakan rasa sakit. Aku pun tidak sanggup melihat kedua mata Mom bila menatapku. Aku benci tatapan itu. Tatapan kesedihan dan rasa kasihan. Tidak! Aku tidak ingin dikasihani oleh siapa pun. Aku tidak mau mengiba. Namun nyatanya aku sedang mengiba. Menyiksa diriku dengan meratapi nasib.
Zoe datang ke kamarku suatu hari, dia duduk di meja belajarku, masih mengenakan seragam tim sepak bola SMA-nya. Rambut cokelat lurusnya diikat ketat. Dia lebih mirip Dad, lembut dan pendiam. Sedangkan aku cenderung mirip Mom, keras kepala dan tidak sabaran. Zoe duduk menghadap ke arahku yang kala itu sedang duduk termenung menatap kosong ke arah dinding.
"Bagaimana kabarmu?" tanyanya, tanpa melihat ke arahku. Dia lebih memilih melihat ke jari-jari tangannya.
Aku tidak menjawab.
"Mom bilang, kalau dia tidak menyalahkanmu berhenti dari pemandu sorak NFL. Dia mendukung apa pun yang kau pilih," katanya, seraya melirikku.
Kalimat itu terus diulang oleh Mom selama satu minggu. Dan aku tidak butuh Zoe mengulanginya lagi.
"Aku pun begitu. Aku akan mendukung semua yang kau pilih. Kau tahu.... aku menyayangimu. Mom dan aku menyayangimu, Lana," lanjutnya.
Aku diam dan hanya memejamkan kedua mataku. Aku tahu mereka berdua menyayangiku. Aku tidak membutuhkan deklarasi kalau mereka berdua menyayangiku. Karena aku sudah tahu.
Mereka masih menganggap hal yang membuatku seperti ini adalah karena aku berhenti dari karir impianku, dari cita-citaku. Padahal bukan itu. Yah, mungkin sebagian dikarenakan hal itu. Tapi hanya sebagian kecil saja.
"Aku mendapatkan pesan dari..." dia berhenti berbicara, kemudian kulirik Zoe merogoh saku celana sepak bolanya. Dia mengeluarkan ponsel lalu menghidupkannya sambil menelan ludah. Dia selalu seperti ini bila ketakutan.
Pernah suatu hari, sewaktu Zoe masih berusia 9 tahun dan aku 12 tahun, Zoe pulang dengan wajah ketakutan. Aku bertanya apa yang terjadi, lalu dia menelan ludah dan menjelaskan dengan suara yang begitu pelan kalau sepedanya dirampas paksa oleh teman-temannya. Saat itu aku berteriak kepadanya, "dasar bodoh!" lalu menyeretnya keluar bersamaku untuk mencari keberadaan teman-temannya itu. Pada akhirnya Kami berhasil mendapatkan sepedanya kembali setelah aku mengancam akan menggunduli rambut mereka semua.
Aku menyadari ada sesuatu yang telah terjadi ketika aku melihat ekspresi Zoe.
Dia menatapku ragu-ragu. "Umm… aku dan Mom mungkin sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi," lanjutnya.
Aku masih terdiam, menunggunya. Walau sebenarnya aku ingin berteriak dan menangis lagi. Karena aku tahu apa yang akan Zoe katakan kepadaku selanjutnya.
"Well," dia melihat kembali ke arah ponselnya.
"Dia... kau tahu, dia menghubungiku.... Mike," Zoe melanjutkan sambil menelan ludah.
Napasku tersentak seketika. Hatiku terasa sakit sekali seperti dihujam ribuan pedang ketika mendengar namanya disebut.
"Dia,—"
"Jangan!" seruku. Itulah kata pertama yang kuucapkan selama satu minggu itu.
Dan Zoe pun tidak berkata apa-apa lagi setelahnya.
Dua minggu kemudian, aku sudah setengah sembuh dari penderitaanku setelah sebelumnya aku memecahkan cermin di dalam kamar tidurku karena melihat sosok yang aku benci sedang balik menatapku. Dari semenjak itu aku berjanji kepada diriku kalau aku tidak boleh lemah dan menjadi pengecut. Saat itu juga aku bangkit berdiri dan siap menghadapi hari kembali.
Meskipun aku masih tidak tahu harus bagaimana dan tidak memiliki petunjuk ke mana aku akan melangkah selanjutnya, tapi berkat Mom dan adikku Zoe yang selalu ada untukku, aku akhirnya setuju untuk tidak menyerah dan kembali melanjutkan hidup.
Suatu pagi, ketika aku turun dari kamar tidurku ke dapur untuk sarapan, Mom tiba-tiba berkata, "kau sebaiknya ikut membantuku menjalankan bisnis cafe."
Keluargaku membangun bisnis makanan dari semenjak aku masih berada di dalam kandungan ibuku. Dad yang berprofesi sebagai chef memiliki rencana dari semasa masih berpacaran dengan Mom, yaitu memiliki usaha di bidang kuliner. Dad bercita-cita ingin memiliki sebuah café. Setelah Dad memutuskan berhenti bekerja di hotel, ia lalu menikahi Mom yang pada saat itu masih gemar berpesta dan mabuk-mabukan. Dengan bermodalkan mobil van warisan dari kakekku, Dad dan Mom berjualan makanan ala western. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya. Sampai pada akhirnya mereka sukses dan berhasil membangun sebuah café di Santa Monica. Namun setelah Dad tiada, café keluargaku sempat mengalami krisis keuangan. Café sempat hampir bangkrut. Dan dengan sekuat tenaga Mom memperjuangkannya. Berkat Mom café kami bisa terselamatkan, meskipun tidak sebesar dan sesukses ketika Dad masih hidup. Cafénya berjarak hanya dua ratus meter dari rumah kami. Bertahan hingga saat ini.
"Apa pengetahuanku soal bisnis makanan?" ujarku.
Aku sama sekali tidak mengerti mengenai masalah perbisnisan. Jadi apa gunanya aku dalam hal ini.
Mom memutar bola matanya. "Kau bisa belajar memasak? Sepertiku," katanya mengejek.
Mom mendadak jadi pebisnis dan koki handal setelah Dad meninggal dunia.
"Tidak ah! Thanks," balasku sembari menyeruput kopi hitamku.
"Jadi apa rencanamu selanjutnya?" Mom bertanya, menghindari tatapanku.
Dia mengeluarkan botol mustard dari kabinet dapur yang menurutku tidak ada hubungannya sama sekali dengan roti bakar selai kacang yang sedang dimakannya. Dia hanya ingin membuat pembicaraan ini sambil lalu, aku mengerti.
Selama aku dalam keadaan zombie di minggu terberat dalam hidupku itu, aku sempat memikirkan masa depanku. Aku ingin pergi jauh dari Santa Monica. Aku ingin memulai sesuatu yang baru tanpa harus dihantui masa lalu. Aku ingin menatap dunia tanpa sesuatu yang bisa mengingatkanku akan dirinya. Karirku sebagai pemandu sorak NFL sudah kuakhiri karena aku merasa duniaku tidak lagi di bidang tersebut. Maka aku tidak akan melakukannya lagi. Sebagian diriku sesungguhnya menyalahkan karirku, karena secara tidak langsung Mike meninggalkanku disebabkan oleh karirku itu.
Pada awalnya aku berpikir akan pergi ke Chicago, ada beberapa temanku yang bekerja di sana. Tapi sebagian dari mereka mengenal Mike, maka kucoret Chicago. Namun, tiba-tiba New York terlintas di dalam pikiranku. Keinginanku dari masa SMP yang sempat kulupakan. Oleh karena itu mengapa tidak? New York adalah tempat di mana aku tidak mengenal siapa pun dan di sana tidak ada kenangan yang akan menggangguku untuk memulai dan membangun kembali kehidupanku yang sudah porak poranda. New York adalah tempat yang tepat untuk memulai kembali.
"New York," jawabku.
"Aku akan pergi ke New York," jelasku kepada Mom.
Seminggu setelah itu aku mendorong troli yang berisi dua koporku ke arah gerbang pemeriksaan bandara. Zoe dan Mom memelukku dengan erat. Aku berkata kepada mereka untuk tidak mengharapkanku pulang. Karena aku tidak tahu apakah aku akan kembali atau tidak. Mom menangis mendengarku berkata begitu. Walaupun berat tetapi aku harus pergi meninggalkan Santa Monica. Meninggalkan catatan masa lalu dan memulai kembali di lembaran yang benar-benar baru.
"Jangan beri tahu siapa pun kalau aku pergi ke New York, terutama dia," ujarku kepada Mom dan Zoe.
Mereka mengangguk seraya menghapus air mata.
"Aku akan menghubungi kalian setibanya di sana,” kataku lagi. Kemudian aku pun berlalu menuju gerbang security check.
Dan aku tidak pernah kembali sampai pada saat ini. Sampai akhirnya dia menemukanku di sini dua hari yang lalu.