4. Diam - Diam Suka

Gue sama seperti Atha, menyukai Aletha dalam diam.

Sayangnya lo gak seperti Aletha yang menyukai gue secara terangan-terangan.

Gue yakin, lo akan melirik keberadaan gue cepat atau lambat..

~Devan

*

*

*

“Lo kalau suka kenapa gak coba dekatin sih Van?” tanya Wendy sambil menatap satu persatu foto Eca yang di gantung di kamar Devan. Kini Wendy, dan juga Firman sedang berada di kamar sahabat kulkasnya, Devan.

Sudah sejak mereka bertiga menginjakkan kaki di SMA Harapan 02 ini, Devan ‘si kulkas’ sebutan untuknya sangat menyukai si kapten basket, Eca. Tapi bahkan sampai detik ini, sampai mereka duduk di bangku kelas 11 Devan belum ada rencana untuk mendekati si kapten basket.

“Memang kalau suka kudu dekatin?” sahut Devan cuek, sambil terus membaca buku kesukaannya.

“Yah lo usaha lah supaya dia lihat ke lo! Lo tau kan Eca itu populer--”

“Gue juga populer!” potong Devan. “Iya populer kulkasnya, dingin kagak bersahabat banget!” sambung Firman.

Devan memperbaiki posisi duduknya kemudian menatap datar sahabatnya itu, Firman. “Kagak bersahabat? Jadi selama ini lo gak anggap gue? Oke! Lo boleh keluar dari rumah gue!”

“Mampus!” sungut Wendy.

“Wah jahat lo ngusir gue!!” ucap Firman sok sedih.

“Gue serius nih Van!!” sahut Wendy. “Lo tau kan gimana populernya Eca. Gimana sempurnanya Eca. Banyak jantan yang berusaha dekatin dia. Lo bisa-bisa kalah saing. Yang ada lo meringis lihat Eca sama cowok lain!” lanjutnya.

Devan kembali ke posisi semula, berbaring sambil membaca buku “Tanpa perlu gue dekatin dia, gue yakin cepat atau lambat dia bakal ngelirik gue!”

Wendy melemparkan bantal tepat di wajah Devan “Dari kita kelas 10 lo selalu ngomong gitu! Sampe sekarang gak juga tuh dia ngelirik lo! Kenal aja gue jamin kagak!!”

“Mana ada dia kenal Devan, dia kenalnya si kulkas ya toh Wen??” sambung Firman meminta dukungan dari Wendy. Wendy mengangguk mengiyakan ucapan Firman.

Wendy bangkit dari duduknya lalu mengambil foto Eca yang baru di saja dicetak oleh Devan “Van, ini Eca sama siapa? Kok buru-buru??”

“Lebih apdet gue ya daripada lo! Ngakunya up to date kalau soal apapun di SMA Harapan 02 tapi gak tau Eca jalan sama siapa!” sindir Devan dengan tetap fokus pada bukunya.

“Itu Aby si kapten SMA Bangsa!” jawab Firman santai.

“BINGOOO!!” sahut Devan sambil duduk bersandar di sofa. “Firman aja yang bego apdet, elu yang ngakunya anak Gahol malah kudet!”

“Wah lo kudu gercep bego! Lo mau Eca diambil sama Aby?” seru Wendy.

“Gue udah bilang tadi. Gue gak perlu dekatin dia! Dia yang bakal ngelirik ke gue!” jawab Devan santai. Sangat santai malahan untuk ukuran laki-laki yang sangat menyukai seorang wanita.

“Lagian, ini urusan percintaan gue. Kenapa lo-lo pada sih yang ribut? Urusin aja percintaan kalian masing-masing! Masih jomlo aja sok-sokan lu!!”

Wendy dan Firman mengikuti gaya ucapan Devan barusan seperti anak kecil ketika ia dimarahi oleh kakaknya (bayangin sendiri ya gais kek apa!)

“Udah deh! Gue lebih tertarik baca buku daripada dengerin ocehan kalian!!”

“Lo lebih suka buku atau Eca?” tanya Wendy. “Lo pikir sendiri bego!!” sungut Devan kemudian kembali fokus pada bukunya.

*

*

Hari ini adalah hari yang sama seperti biasanya bagi seorang Devan. Menjadi pusat perhatian setiap melewati koridor sekolah sudah menjadi hal biasa. Tetapi menjadi pusat perhatian Eca benar-benar sulit untuk dilakukan. Ia ingin mendekati gadis itu seperti yang dikatakan kedua sahabatnya, tetapi gengsi mampu mengalahkan keinginannya itu. Dia mendapat julukan si kulkas dari warga sekolah, jadi ia harus bisa mempertahankan julukan itu.

“Aaaahh mau juga dong diantar kekelas sama kak Aby..”

“Wah gue kalah saing sama anak SMA sebelah.”

“David kalah, Devan juga kalah. Wah memang debest si Aby.”

“Jelas Devan kalah. Siapa yang mau dekat-dekat sama cowok kulkas kayak si Devan.”

Banyak perbincangan yang ia dengar ketika ia lewat, ternyata tak jauh dari tempat ia membaca buku ada gadis pujaannya sedang berjalan beriringan dengan Aby, sosok yang ia ambil fotonya kemaren saat hendak memasuki mobil Eca.

Devan segera mengeluarkan kameranya kemudian menjepret asal dua sejoli itu.

“Gue jamin Ca, Lusa, gue yang akan jalan disebelah lo!” gumam Devan, kemudian melanjutkan kembali bacaannya.

“Lo tuh! Bukuuuuu teruuuus!!!!! Eca nya kapan??” teriak Firman dari jauh saat melihat sahabatnya itu tengah bersantai dengan buku dihadapannya.

“Devan naksir Eca??”

“Wahhh gila dong Eca jadi bahan rebutan gini, Aby, Devan, David, wah wah gilaaa!!”

“Devan naksir Eca? Ciihh kalau Eca pacaran sama dia, baru setengah jam udah diputusin kali ya sama si Eca!”

“Iyaa dia kan lebih cinta buku!”

“Kutu buku suka sama kapten basket?”

“Kulkas kok berani naksir kapten basket sih!”

“Ganteng sih! Tapi kalau kutu buku sama aja culun donng!!”

Devan menatap Firman datar kemudian ia berdiri dari duduknya lalu menghampiri gerombolan manusia yang sedang membicarakannya “Kalau mau ngomongin orang tunjukin mukanya jangan tunjukin bokongnya!!” sindir Devan tajam.

Ia kemudian berjalan meninggalkan manusia-manusia yang shock mendengar sindiran tajam Devan.

“Vaan! Tungguiin!!” teriak Firman.

“Lo sih bego! Ngomong nyaring banget! Lo tau kan Devan kalau marah kagak bakal dikasih contekan kita!!” seru Wendy sambil terus melebarkan langkahnya untuk menyamai langkah Devan.

“Van sorry gue keceplosan!!” seru Firman sambil memegang bahu Devan. Devan membalikkan badannya kemudian menatap Firman tajam. Lalu..

Pletakk..

“Aduhhh Van!! Njir sakit!!” umpat Firman setelah mendapat jitakan dari tangan Devan.

“Mau gue sentil mulut lo pakai lem korea?” sungut Devan datar.

“Jangan dong, ntar nempel kagak bisa kebuka mulut gue!”

“Biar lo gak asal jeplak kalau ngomong!!” jawab Devan, kemudian ia kembali melanjutkan perjalanannya.

“Lo mau kemana?” tanya Wendy.

“Coba lo lihat jam tangan lo Wen!” pinta Devan. Wendy lalu melirik jam di tangan kanannya “jam tujuh lima belas Van!”

“Jadi menurut lo kita kemana?” tanya Devan lagi.

“Kekelas?” tanya Wendy bego.

“Gue rasa otak lo ketuker sama otak gue deh Wen!” sahut Firman. “Kenapa jadi lo yang bego?”

*

*

Devan kembali ke bangkunya lima menit sebelum bel masuk berbunyi, berharap si suara cempreng tidak akan mengganggunya, namun harapan dia pupus saat suara itu sudah menyambutnya ketika ia memasuki kelas 11 IPS-1.

“Kulkas acuuu!! Selamat pagiii!!!” teriak Karin. Perempuan yang sangat-sangat menyukai Devan. Bahkan ia adalah perempuan yang paling bertahan dengan sikap jutek, dingin dan judesnya Devan.

“Kaleng rombeng berisik banget anjer!” sungut Firman.

“Lo sumpel deh Van! Sakit telinga gue!!” bisik Wendy.

“Lo bisa diam gak woy curut?!” teriak Firman.

“Gue kan gak ngomong sama lo! Tapi sama Devan!!” sahut Karin dengan suara khas 8 oktaf miliknya.

“Kalau lo masih mau mulut lo bisa ngomong, mending sekarang lo kembali ketempat lo dan diam!” ucap Devan sambil mengeluarkan botol lem korea yang ia bawa di tasnya. Semua orang yang ada di kelas itu bergidik ngeri membayangkan Devan akan memberi lem pada mulut Karin.

“Devan jahat!!” teriak Karin sambil menyentak-nyentakkan langkahnya. Tiba-tiba saja Devan berdiri sambil memegang botol lem korea di tangan kanannya, membuat Karin langsung kicep.

“Selamat pagi anak-anak!!!”

Mendengar suara bariton itu, Devan mengurungkan niatnya untuk mengelem mulut Karin.

*

*

Devan sedang asyik membaca sebuah novel remaja diperpustakaan sekolahnya. Setelah hampir sebulan ia meminjam novel itu akhirnya ia berhasil menamatkannya barusan. Ia tidak terlalu menyukai novel bergenre romantis, tapi karena seseorang akhirnya ia membaca novel tersebut.

“Duh novelnya kok ga ada ditempatnya ya? Jangan-jangan dah ada yang pinjam duluan. Yahh padahal gue suka banget sama ceritanya..” suara seseorang yang sangat familiar ditelinga Devan mulai terdengar. “Dimana yaaa??”

Devan berjalan mendekati sumber suara, ternyata benar, suara itu adalah suara milik Eca.

“Cari ini?” tanyanya pelan sambil menunjukkan sebuah buku pada Eca.

Eca menoleh kemudian tersenyum “Ekh iya, lagi lo baca ya?” tanya Eca sambil menatap buku itu.

Devan menggeleng “Gue udah selesei baca ini. Kalau mau baca silahkan..” ucapnya kemudian memberikan buku itu pada Eca.

“Jangan nyesel tapi baca ini, endingnya gantung soalnya!?” lanjut Devan.

Eca menerima buku itu dengan setengah hati “Serius gantung?”

“Duh ga asik dong kalau gantung, tapi gue udah terlanjur suka..” gumam Eca namun dapat terdengar di telinga Devan.

“Kalau suka lanjutin aja, cuma ya gitu..” sahut Devan kemudian pergi.

“Lo ada sequelnya gak??” tanyanya. Sayup-sayup Devan dapat mendengar pertanyaan itu dari Eca.

“Pertemuan selanjutnya ya Ca gue akan bawain sequel novel itu..” ucap Devan pelan kemudian melangkah menjauhi perpustakaan

*

*

“Gue gak salah lihat kan Van? Itu tadi serius lo ngobrol sama Eca?” seru Firman.

Devan hanya mengangguk santai. Kini mereka bertiga sedang berada di roftoop sekolah, tempat paling nyaman bagi Devan, karena disini ia bisa membaca tanpa ada suara cempreng Karin.

“Wah kemajuan pesat nih, kok bisa Van?” tanya Wendy.

“Jodoh gak akan kemana!” jawab Devan singkat.

“Gue juga tau itu keles! Maksud gue kok bisa dia ngobrol sama lo??” tanya Wendy kesal.

“Ya bisa dong! Kan gue udah bilang, suatu saat dia yang akan ngelirik gue tanpa gue perlu dekatin dia!”

“Tapi Van, kalau begini bisa-bisa lo masuk zona waspada loh!!” sahut Firman.

“Kemaren gue denger dari anak 11 IPA-3 kalau David sama Aby berantem. Bukan berantem jotos-jotosan sih, lebih ke adu mulut gitu. Kalau mereka tahu lo dekatin Eca juga, wah zona waspada beneran sudah!!” jelas Firman.

Devan menggeleng “Gue gak akan masuk zona waspada. Justru mereka berdua yang bakal masuk zona wassalam. Karena gue jamin gue yang akan masuk zona alhamdulillah.” jawab Devan santai.

“Kayak Aksi Indosiar aja ada zona wassalam sama alhamdulillah!” sahut Wendy.

“Kalau zona waspada ada juga Wen di Aksi?” tanya Firman.

“Zona waspada ada di gunung meletus Man!!” jawab Wendy.

*

*