Lo itu si kulkas, tapi gue yakin seyakin-yakinnya kalau hati lo gak sedingin kulkas.
~Eca
*
*
*
Eca baru selesei dari toilet. Ia berjalan santai untuk menuju kelasnya, hingga seseorang meneriakinya.. “Ecaaa!!!” teriak seseorang membuat langkah Eca berhenti. Eca menoleh lalu menghela napas pelan. Dia lagi.
“Kenapa Dav?” tanya Eca.
“Ikut gue!” seru David sambil mencengkram lengan Eca. “Dav! Lo apa-apaan sih?”
“Ikut gue!!” David menyeret Eca hingga membuat beberapa pasang mata menatap mereka “Mau kemana Dav?” tanya Eca lagi.
“Udah ikut aja!”
“Gue gak mau!” ucap Eca sambil menghentikan langkahnya. “IKUT!”
“Gak! Keadaan lo lagi gak baik! Gue gak mau ikut!” jawab Eca. Gak biasanya sikap David sekasar ini sama dirinya.
“IKUT CA!” bentak David, membuat Eca terdiam.
Tiba-tiba..
“Kalau dia gak mau jangan dipaksa!!” seru seseorang sambil melepas cengkraman tangan David di lengan Eca.
David berdecak kesal pada seseorang yang mengganggu aksinya itu “Lo, si kulkas gak usah ikut campur!”
“Kalau lo suka, lo jangan kasar sama dia!” ucap Devan datar. Yah, orang yang mengganggu David barusan adalah Devan.
“Ciih!!”
“Lo!!” David menatap Devan tajam “Sejak kapan peduli sama cewek yang gue ganggu? Sejak kapan lo bertindak sok hero? Sejak kapan lo--”
“Sejak hari ini! Gue gak akan peduli sama semua cewek yang lo ganggu! Kecuali satu!!” Devan berjalan mendekati David kemudian membisikkan sesuatu yang tidak dapat didengar Eca namun berhasil membuat David membulatkan matanya terkejut.
“Ayok Caa..” ajak Devan kemudian. Mereka berdua menjauhi David.
Eca berjalan mengikuti langkah Devan sambil terus menatap tangannya yang berada di genggaman Devan, tak terasa bibir Eca terangkat mengukir senyum tipis.
*
*
“ECAAAAAAAA..” teriak Caca dari depan pintu kelas. Eca yang sedang membaca novel miliknya terkejut mendengar teriakan Caca.
Nadine dan Caca segera menghampiri bangku sahabatnya “Lo gak papa? Ada yang luka lagi gak?” tanya Nadine.
“Kalian kenapa sih?” tanya Eca sambil menautkan kedua alisnya “Duuhh! Lo tau gak sih, sepanjang koridor IPA kita tuh panas telinganya denger nama lo disebut-sebut.” jawab Nadine.
“Lo diapain sama David?” tanya Caca. Eca menggeleng “Gue gak di apa-apain sama David.”
“Caaa. Jangan boong dong, kita nih khawatir. Harusnya tadi kita ikut ketoilet biar lo gak ketemu tuh cowok!” sahut Nadine.
Eca menghela napasnya “Gue serius gais, gue gak diapa-apain. Tadi Devan nolongin gue!!” jawab Eca jujur.
“WHAAATTT Devan nolongin lo?” teriak Caca spontan.
“Bukannya tadi dia cuek banget ya waktu lo bilang kita mau gabung jadi temen main mereka?” tanya Nadine
“Heh nyai rombeng! Bisa diam gak? Pagi-pagi udah heboh!?” sahut Fendy.
“Heh kutu kudanil! Lo berisik! Ini suasana lagi panas!!” sahut Nadine. Ia tidak sadar, bahwa yang membuat keributan dari tadi itu bukanlah Fendy, melainkan Caca dan dirinya sendiri.
Eca menautkan kedua alisnya, heran. “Lo kenapa Ca? Dari kemaren kalau gue bahas Devan, lo selalu kaget.
Caca terdiam kemudian tersenyum kikuk “Yaahh kaget aja. Kok bisa Devan gitu ke lo? Apalagi dia kan anak IPS ngapain coba ke koridor anak IPA?”
Eca mengedikkan bahu “Mana gue tahu dia ngapain ke koridor anak IPA. Intinya keberadaannya dia bener-bener ngebawa keberuntungan buat gue.”
“Hati-hati naksir...” sahut Caca.
“Lo kali yang naksir sama Devan??” sambung Nadine.
“Iya gue naksir memang sama si Devan!”
*
*
Eca lebih banyak diam dikelas. Kata-kata Caca terus terngiang di pikiran Eca. Entah kenapa dia tidak bisa menghilangkan rasa aneh itu. Eca tidak menyukai Devan. Mereka baru beberapa hari kenal, Devan selalu nolongin dia disaat dia butuh.
Eca terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia menyukai Aby bukan Devan.
“Iyah, Aby aja jangan Devan.” gumam Eca.
“Devan? Devan kenapa?” bisik Salsa, teman sebangku Eca. Eca duduk dengan Salsa, sedangkan Nadine duduk dengan Caca.
“Hah?” Eca gelagapan ketika ditanya Salsa perihal Devan. Pasalnya ia tidak sadar jika ia tadi menyebutkan nama Devan.
“Lo tadi nyebut-nyebut nama Devan, lo suka sama dia?” tanya Salsa lagi.
“Idih lo gila ya Sa?” jawab Eca dengan suara tertahan, karena hari ini guru mereka adalah guru killer kedua setelah bu Novi, Pak Dana.
“Ya habis lo tiba-tiba nyebut nama Devan. Gue heran banget kalau lo bisa suka sama Devan. Dia tuh kulkas gitu gak ada anget-anget nya kalau ngomong sama cewek. Astaga dingin banget. Gue ragu dia punya hati.” cerocos Salsa.
“Kalau gak punya hati mati dong Sa! Semua manusia kan punya hati.” jawab Eca santai.
“Bukan gitu maksud gue Caa..” sewot Salsa kesal mendengar jawaban santai Eca.
“Gue denger, Devan suka sama lo ya? Emang bener?” tanya Salsa.
“Gue saranin, kalau lo ditembak Devan jadi pacarnya jangan mau deh ya, yang ada lo makan ati mulu. Lo dicuekin mulu, dibiarin, dianggurin. Manada lo dipeduliin sama dia. Gue jamin deh!” sambungnya.
“Ngawur kalau ngomong!!” teriak Eca.
“Ada apa Eca? Omongan saya yang mana yang ngawur??” suara bariton itu berhasil menyadarkan Eca bahwa ia sedang ada dikelas.
“Ti..tidak pak.” jawab Eca gugup.
“Kenapa kamu mengobrol di jam pelajaran saya Eca?”
“Saya tidak mengobrol pak!” jawab Eca.
“Bisa-bisanya kamu berbohong! Kamu pilih saya yang keluar, atau kamu yang keluar dari mata pelajaran saya?” teriak pak Dana. Eca menghela napasnya, selalu murid yang salah. Memang hukum perempuan selalu benar tidak akan berlaku antara guru dengan siswanya.
Eca melangkahkan kakinya keluar kelas. Ini baru masuk pelajaran kedua, masih ada satu setengah jam lagi untuk istirahat pertama. Eca berjalan-jalan santai, tanpa terasa ia sampai ke koridor IPS.
*fyi aja untuk kalian, sekolah Eca ini gak dilihat dari kakak kelas atau adek kelasnya. Tapi dilihat dari jurusan yang di ambil. Ada 3 koridor disini. IPA, IPS, dan juga Bahasa. Masing-masing jurusan punya 3 lantai. Kelas 10 dilantai bawah, 11 dilantai tengah dan 12 dilantai atas. Jadi bentuk sekolahnya itu seperti huruf U. Sedangkan untuk ruang OSIS, Guru, kantor kepala sekolah, kantin, ruang olahraga dan ruang Kesenian terletak di belakang gedung IPS. Untuk toilet, masing-masing koridor dan lantai mempunyai toiletnya sendiri-sendiri. Yah pokoknya kalian angan-angan sendiri ya bentuk bangunannya gimana.*
“Liat Devan belajar kali ya?” gumam Eca. Ia berpikir ia bisa membantu Caca untuk menjadi lebih dekat dengan Devan.
Eca berjalan kearah kelas Devan. Didepan kelas ini dulu ia berkenalan dengan Wendy.
“ECA!!” teriak seseorang dari dalam kelas, laki-laki itu melambaikan tangannya kemudian tersenyum, Wendy.
“Lo ngapain ke koridor IPS? Nyari Devan?” tanya Wendy dari jendela kelas, 11 IPS-1 kini sedang tidak ada guru yang mengajar.
“Gue disuruh keluar sama Pak Dana.” curhat Eca.
“Lo gak ada guru?” tanya Eca , Wendy menggeleng “Kagak. Cuma tugas doang tadi tapi udah selesei.” jawab Wendy. Eca celingak-celinguk mencari seseorang “Em.. Wen, lo bilang Devan kelas ini, kok gue gak ada lihat?” tanya Eca pelan.
Wendy nampak tersenyum penuh arti “Gue udah mikir lo pasti nyari dia. Dia ada diperpus tidur kayaknya. Samperin aja.”
*
*
Eca berjalan santai menuju perpustakaan. Entah apa yang membawanya ke perpustakaan. Keinginannya untuk mencari sequel novel favoritenya ataukah justru ucapan Wendy yang membawanya kesini.
Ah sepertinya ucapan Wendy, tetapi Eca tidak menyadari hal itu. Eca berjalan diantara rak-rak bagian novel, lalu ia menemukan seseorang yang dibahas Wendy.
Eca berjalan mendekati laki-laki itu. Laki-laki yang tadi pagi sudah menolongnya, ia pikir Devan tetaplah Devan. Kulkas tetaplah kulkas, tak akan mau menolong siapapun. Ternyata pemikirannya itu salah.
Eca duduk disampingnya kemudian mengikuti gaya Devan yang tengah tertidur dengan tangan kiri menjadi bantalnya, sedangkan telinganya disumpal dengan earphone miliknya.
Eca mengambil satu kabel earphone milik Devan dan menyumpalkannya di telinganya kemudian Eca menggunakan tangan kanannya sebagai bantal “Gue kira sedingin-dinginnya lo, lo gak akan mau nolongin orang. Tapi gue salah Van, ternyata lo tetap punya sisi baik. Lo selalu nolongin gue setiap gue butuh pertolongan. Waktu Ary nginjak tangan gue, waktu David sama kak Aby ngeganggu gue, waktu David maksain kehendaknya sama gue bahkan..” Eca tersenyum mengingat moment saat Devan menolongnya di markas Ary dan mengomelinya sambil membersihkan dan mengobati luka Eca.
“Bahkan waktu gue dengan nekadnya datang ke markas Ary.” Eca menahan tangannya untuk tidak menyentuh wajah tampan Devan.
“Makasih Van untuk kebaikan lo, lo dingin, lo itu si kulkas tapi hati lo gak sedingin kulkas, gue tau itu..”
Eca menatap wajah tamvan Devan. Rambut hitam legam, kulit putih, bibir merah seperti seorang gadis perempuan juga alisnya yang tebal membuat kesal cool diwajahnya.
“Makasih Van..” ucap Eca kemudian mengikut Devan memejamkan matanya, berharap ia akan tertidur pulas seperti laki-laki dihadapannya.
“Gue suka sama lo Ca! Dari dulu gue udah suka. Maaf kalau gue gak pernah berani dekatin lo. Maaf kalau gue terlalu pengecut. Gue cuma bisa mengagumi lo dalam diam. Tapi gue sayang banget sama lo..” ucap Devan pelan hingga seperti berbisik.
*
*