15. Pengakuan (2)

Devan berjalan-jalan dikoridor anak IPA. Ia ingin melihat Eca, atau bahkan memberitahunya jika keputusannya untuk bergabung dengan dia, Joni, Wendy dan juga Firman akan senang hati ia terima. Atau dia akan memberitahunya perihal perasaannya?

Ia tidak tau apa alasan yang akan ia sampaikan pada Eca nanti. Ia terus berjalan dikoridor anak IPA. Banyak pasang mata yang melihatnya aneh, pasalnya selama dia jadi siswa SMA Harapan 02 baru ini ia berjalan di koridor anak IPA. Setelah pertemuannya dengan Eca karena Ary baru ia mulai berani ke koridor IPA.

“GUE GAK MAU!”

“IKUT!!”

Devan berjalan mendekati siswa dan siswi yang sedang bertengkar. Postur tubuh siswi itu nampak familiar. Benar saja, ketika jarak mereka menipis, ia dapat melihat jika siswi itu adalah Eca, gadis pujaannya.

“Kalau dia gak mau jangan dipaksa!!” lantang Devan sambil melepas cengkraman tangan David di lengan Eca. Ia tidak suka melihat gadisnya itu di ganggu.

“Sejak kapan peduli sama cewek yang gue ganggu? Sejak kapan lo bertindak sok hero? Sejak kapan lo--”

“Sejak hari ini! Gue gak akan peduli sama semua cewek yang lo ganggu! Kecuali satu!!” Devan memajukan tubuhnya agar ia bisa berbisik di telinga David “Kalau gue tau lo nyentuh Eca sedikit aja, atau bahkan buat dia gak nyaman. Gue jamin hidup lo juga gak akan nyaman di sekolah ini.” bisik Devan yang berhasil membuat David terdiam.

“Ayok Ca!” ajak Devan sambil menggenggam tangan Eca.

“Makasih..” ucap Eca setelah ia sampai didepan kelasnya.

Devan segera melepaskan genggamannya kemudian memasukkan kedua tangannya di saku “Hm..”

Eca tersenyum manis hingga membuat matanya membentuk garis lurus “Gu.. gue balik kekelas dulu..” ucap Devan gugup. Eca mengangguk “Iya, hati-hati..” Devan membalikkan badannya kemudian kembali ke koridor jurusannya.

*

*

Devan baru selesei mengerjakan tugasnya. Kini bukunya sedang berkeliling di meja Firman dan juga Wendy.

“Van, ngantin yuk.” ajak Karin sambil tersenyum merekah.

“Gak mau..” jawab Devan pendek. “Van, lo tuh kenapa sih cuek mulu ke gue, kurang gue apa coba? Atau bener gosip yang belakangan ini heboh, lo suka sama si kapten basket itu?” omel Karin.

Devan memutar bola matanya jengah “Kalau jawaban gue, gue emang suka sama dia beneran apa lo mau ngejauh dari gue?”

Karin mendelik kesal “Gue akan buat si kapten basket menderita!” Devan mengepalkan tangannya, berdiri kemudian menatap Karin tajam “Gue gak ada apa-apa sama Eca. Jadi jangan sedikitpun lo ganggu dia!” ucap Devan penuh penekanan di beberapa katanya.

Devan kembali menghempaskan tubuhnya dibangkunya. Ia memasang headphone di telinganya, bersedekap layaknya orang solat kemudian memejamkan matanya, menikmati lagu yang terputar di playlistnya.

If I could turn back the clock

I'd make sure the light defeated the dark

I'd spend every hour, of every day oh

Keeping you safe

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason

*

*

Kesal karena Karin terus mengganggunya, Devan memilih pergi keluar kelas. Ia menenangkan dirinya diperpus, tempat yang menurutnya paling sakral dan tenang. Kenapa tenang? Karena didalam perpus manapun, perpus daerah, sekolah, atau manapun pasti dilarang berisik.

Lalu paling sakral?

Jelas paling sakral, karena tempat ini pertama kalinya ia berani menegur Eca, berani berbicara langsung sama Eca. Setelah setahun lebih di SMA Harapan 02, baru waktu itu ia menegur Eca.

Ia memilih tempat terujung agar tidak ada yang mengganggu waktu tidurnya. Ia sengaja tidak membawa headphonenya, ia lebih memilih earphone kesayangannya. Kemudian ia mulai mendengarkan lagu yang ia putar, memposisikan tangan kiri sebagai bantal lalu memejamkan matanya. Ia berharap ia bisa menyatakan perasaannya pada Eca.

Ia terpejam, tenang hingga sekitar 20 menit tidurnya tenang, ia merasa terusik. Earphone di telinga kirinya ada yang melepas. Devan mengerjapkan matanya, ia melihat bayangan Eca. Entah itu kenyataan atau cuma sekedar mimpi.

Devan menyadarkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Ia sadar namun ia masih terpejam, ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Eca disampingnya.

“Makasih Van untuk kebaikan lo, lo dingin, lo itu si kulkas tapi hati lo gak sedingin kulkas, gue tau itu..”

Hening. Hanya helaan napas Eca yang terdengar teratur. Sepertinya gadis ini tertidur. Devan membuka matanya perlahan. Benar saja, Eca sudah terpejam dengan posisi yang berlawanan dengan Devan. Ia menjadikan tangan kanannya sebagai bantal.

Devan tersenyum , mengelus pelan rambut Eca. “Manis..” gumamnya pelan.

“lo itu kayak presiden, dan gue adalah satu dari ribuan rakyat jelata yang lo pimpin. Tak terlihat. Gue seneng akhirnya lo lihat keberadaan gue. Gue juga seneng lo baca tulisan gue di novel itu. Andai aja lo kayak Aletha, gue jamin gue gak akan kayak Atha yang terlalu gengsi sama perasaannya. Gue akan langsung jadikan lo perempuan satu-satunya yang paling bahagia.” ucap Devan sambil mengelus pelan rambut Eca. Aroma buah menyeruak menusuk indra penciuman milik Devan. Wangi lo yang selalu gue suka.

“Kalau gue jadi Aletha, apa lo bakal kayak Atha? Sayang sama gue tapi lo diam?”

“Gue pengen kayak Aletha yang terang-terangan suka sama lo, terang-terangan nyatain perasaannya ke lo kayak David selama ini. Kayak cowok basket yang baru-baru ini gue lihat sering sama lo. Tapi gue gak bisa Ca. Gue bukan mereka, gue ya gue. Sama kayak yang lo ucapin barusan. Gue kulkas dan selamanya akan begitu..”

“Gue suka sama lo Ca! Dari dulu gue udah suka. Maaf kalau gue gak pernah berani dekatin lo. Maaf kalau gue terlalu pengecut. Gue cuma bisa mengagumi lo dalam diam. Tapi gue sayang banget sama lo..” Devan mengecilkan volume suaranya nyaris berbisik.

*

*

“Makasih Van untuk kebaikan lo, lo dingin, lo itu si kulkas tapi hati lo gak sedingin kulkas, gue tau itu..”

Kata-kata Eca tadi terus terngiang di pikiran Devan. Tak terasa bibirnya terangkat menyunggingkan senyum. Tipis memang, tapi terlihat sekali jika Devan bahagia mendengarnya.

Lo perempuan pertama setelah bunda yang percaya kalau gue gak sedingin kulkas. Makasih ya Ca..

“Van, lo sakit?” tanya Joni sambil menempelkan punggung kanannya di dahi Devan.

“Apaan sih?” tepis Devan. “Dia bahagia tuh habis tidur bareng Eca di perpus.” sahut Wendy.

“MAKSUD LO, LO--”

“Kagak lah bego!!” potong Devan sambil melemparkan bantal yang ada dipelukannya ke wajah Joni.

“Pikiran lo kotor banget Jon! Dia tidur disamping gue.” ucap Devan.

“Kalau gue gak nyusul ke perpus, mana mungkin mereka ada yang bangunin. Secara mereka tidur di bagian-bagian dalam.” Sahut Firman.

“Gue ngaku kalau gue suka sama Eca..” ucap Devan pelan, nyaris seperti berbisik.

Joni, Wendy dan juga Firman sontak berdiri kemudian menatap Devan dengan tatapan tak percaya “LO SERIUS VAAANNN?” tanya Wendy sumringah.

“Yes! Akhirnya sohib gue gentle juga!!” ucap Joni sambil mengepalkan tangannya kemudian menaik turunkan tangannya (apaan sih anjir! Ah pokoknya kalian bayangin sendiri ya gimana kalau kalian lagi seneng terus yes yes gitu!!)

“Jawaban Eca apa?” tanya Firman.

“Gue yakin sih dia juga suka. Soalnya tadi dia kekelas nyariin lo. Setelah gue kasih tau lo diperpus, akhirnya lagi-lagi dia nyusulin lo!” sahut Wendy.

Kenapa Wendy bilang lagi-lagi? Ingat bagian 8.Ken Sadar? Nah disitu waktu Eca mencari Devan, si Wendy bilang kalau Devan ada di perpus.

Oke next!

Devan menggeleng. “Gue gak tau jawaban dia apa. Gue juga gak mau tau apa perasaan dia. Gue rasa, gue ungkapin perasaan gue aja udah cukup. Lagi pula, waktu gue nyatain perasaan gue dia lagi tidur kok. Napasnya teratur kelihatan kalau dia tidur pulas.”

Joni, Wendy dan juga Firman menghempaskan pantatnya di pinggir kasur kamar Devan, merasa kecewa pada sohibnya ini.

“Gue kira lo udah gentle nyatanya masih sama ah cemen!” ucap Joni sambil menjatuhkan tubuhnya agar terbaring dikasur Devan.

“Gue juga!”

“Gue juga!”

“Apaan sih babi? Gue gak cemen ya! Ya kali gue nyatain perasaan di perpus? Gini-gini gue juga ngerti kali cewek kalau ditembak itu maunya ditempat romantis.” sewot Devan.

“Oke tempatnya romantis. Lo ngerti bersikap romantis gak?” tantang Wendy. Devan hanya nyengir lebar mendengar tantangan Wendy.

*

*

Jam istirahat Devan gunakan untuk berjalan-jalan sambil memikirkan ucapannya kemaren. Bagaimana kalau ternyata Eca mendengarnya? Bagaimana jika ucapan Wendy dan teman-temannya benar bahwa Eca sudah pacaran dengan Aby.

Bohong jika ia bilang akan baik-baik saja mengetahui itu. Bohong jika ia bilang ia tidak akan galau tentang fakta itu. Setahun lebih ia menyukai Eca dan memperhatikan gadis itu dari jauh, ia tidak pernah sebingung ini, sekhawatir ini. Dari awal ia tahu Eca, gadis itu tidak pernah dekat dengan laki-laki disekolah ini. Terkadang ia hanya membalas sapaan mereka dengan senyumannya. Ia tidak benar-benar tertawa lepas seperti saat ia sedang bersama Aby.

“Gue gak bisa bersikap sok manis sama lo Ca. Ini cara gue sayang sama lo. Tapi kalau memang yang lo butuhin itu cowok kayak Aby. Its okey, no problem. because I'm glad to see you happy too, even though it's because of Aby.” gumam Devan sambil berjalan kearah taman sekolah.

Devan duduk di salah satu bangku taman, duduk kemudian membuka novel yang baru saja ia beli. Novel DIANTARA! Tentang perjuangan seorang Diandra yang sangat menyukai Dirga.

Baru ia mau membuka novel itu, ia melihat seorang gadis yang sedang merusuh dengan dirinya sendiri di bangku tak jauh dari tempatnya duduk.

“Itu Eca bukan ya? Gue samperin aja kali ya?” ucapnya pada dirinya sendiri.

Devan berdiri, 5 langkah berjalan ia kembali ke bangkunya lagi “Gue belum siap ketemu dia. Kalau ternyata dia dengar pengakuan gue kemaren gimana?”

Devan kembali membuka novelnya. Ia membaca halaman pertama dengan pikiran masih terfokus dengan apa yang dilakukan Eca didepan sana.

“Kalau sayang diperjuangin anjing!” ucapnya pada dirinya sendiri. Devan melangkah cepat menghampiri Eca.

“Lo kenapa??” tanya nya pelan. Eca terkesiap, ia segera memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Devan “Ekh.. ada.. Devan..” sapa Eca gugup.

“Lo kenapa?” Devan mengulangi pertanyaannya.

“Gu.. gue? Gue gak papa!” jawab Eca pelan sambil nyengir.

“Yakin? Siapa tahu gue bisa bantu?” tawar Devan.

Eca terdiam, ia menatap Devan malu-malu hingga semburat merah muda muncul di pipinya “Gue bocor..” ucap Eca pelan.

“HAH? Apaan? Kan gak ujan, bocor darimana? Lo gila?” Devan justru mencecarnya dan mengatainya gila.

Eca manyun sebal mendengar ucapan Devan “Van! Lo tuh bego nya gak ketulungan ya?” sungut Eca.

Bukannya lebih bego lo ya daripada gue?

“Gue gak ngerti. To the point aja napa sih?” sewot Devan.

Eca terdiam, menatap Devan tajam “Gue pms!”

“Pms apaan dodol? Lo daftar jadi pns? Kok bisa? Bukannya lo masih anak sekolahan??” tanya Devan lagi dengan polosnya.

“Devann..” Eca menggeram kesal. Ia melihat sekelilingnya. Sepi.

Eca menghela napasnya pelan, kemudian tersenyum berusaha menahan amarahnya “Van, lo udah baligh belum sih?”

“Yaudahlah! Lo kira gue masih bocah 10 tahun?” Devan kesal dengan pertanyaan konyol Eca.

“Lo kenapa sih?” tanyanya.

“Lo tau tanda-tanda baligh bagi laki-laki dan perempuan kan?” tanya Eca lagi. Devan mengangguk, sebejad-bejadnya Devan, ia jelas mengetahui materi itu. Karena dulu bundanya yang mengajari pelajaran agama ketika dirumah.

“Dua diantaranya untuk perempuan dan laki-laki. Lalu ada satu yang khusus perempuan.” jelas Eca. “Iya terus kenapa?”

Eca menghela napasnya lagi. Devan tertegun, ia baru menyadari bahwa gadis didepannya itu sedang datang bulan. “Oh lo menstusi?” tanya Devan polos.

“Hah? Menstusi apaan?” sungut Eca. “Itu loh, tanda baligh yang lo sebutin tadi.” jawab Devan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Eca mengangguk, “Menstruasi Devan dodol..” jawab Eca, lagi-lagi semburat merah muda itu muncul di kedua pipinya. Cewek kalau lagi malu gini ya ternyata, ada pink-pinknya pipinya.

“Yaudah nih..” seru Devan sambil melepaskan jaket yang ia kenakan. “Lo pake ini dulu..” Devan mengikatkan kedua lengan jaketnya ditubuh Eca agar dapat menutupi roknya.

“Lo ada rok baru di loker?” tanya Devan lagi. Eca menggeleng “Rok gue dirumah..” ucap Eca, mata Eca berkaca-kaca entah karena apa ia seperti mau menangis. “Lo kenapa nangis?”

Eca menggeleng sambil mengusap kasar air mata yang mengalir seenaknya dipipinya “Gue malu..”

Devan tersenyum tipis “Lo tunggu sini jangan kemana-mana. Gue pergi dulu, 10 menit gue kesini lagi. Jangan kemana-mana!!”

“Lo mau kemana?” tanya Eca.

Devan berlari ke arah koperasi sekolah. Ia segera membelikan rok baru untuk Eca. Petugas kooperasi yang melihat Devan membelikan rok baru menatapnya heran dan bertanya, namun justru jawaban asal yang diterimanya ‘Wendy lagi datang bulan pak. Makanya saya beliin rok baru.’

Setelah dapat rok baru, ia segera ke toserba depan sekolah. Namun langkahnya berhenti didepan toserba itu karena melihat banyak anak sekolahannya yang sedang belanja di toserba.

“Image gue hancur kalau beli benda itu disini. Tapi kalau gue beli di minimarket, bakalan lama. Ntar yang ada Eca kayak orang pendarahan mau lahiran lagi.” gumamnya.

Ia meyakinkan dirinya sendiri kemudian melangkahkan kaki masuk ke toserba. Ia berjalan mengelilingi toserba itu dan menemukan jejeran benda yang asing untuk Devan.

“Bangsat. Banyak amat modelnya. Warna-warni lagi. Yang mana ya?” gerutu Devan.

Disebelahnya ada seorang siswi yang dilihat dari bet namanya, ia adalah siswi kelas 10 IPA.

Anak IPA ternyata. Okelah gak papa Van. Demi Eca. Toh juga dia gak tau lo beliin benda ini untuk siapa. Kalaupun lo jadi bahan gosip, itu sudah biasa.

“Gue boleh nanya sesuatu sama kalian?” ucap Devan pelan. Dua siswi itu terkejut mendapati laki-laki yang dijuluki si kulkas itu kini berbicara dengannya “I..iya kak, ada apa?” ucap siswi yang bernama Bella.

Devan terdiam, tetapi kemudian ia mengingat wajah memelas Eca ditaman tadi “Cewek kalau pakai benda ini biasanya yang mana ya?” tanya Devan sambil menunjuk jejeran pembalut didepannya.

Dua siswi itu terkejut, bagaimana mungkin si kulkas menanyakan pembalut sama mereka?

“Buruan, tinggal jawab doang!” ucap Devan dingin. Sifat dinginnya kembali dirasakan dua siswi itu.

“Kalau saya biasanya yang ini kak.” tunjuk siswi yang bernama Eva. “I.. iya kak. Saya juga itu.!” jawab Bella gugup.

“Kalau minuman yang sering kalian minum biar gak sakit perut yang mana?” tanya Devan lagi.

Darimana ia tahu tentang sakit perut saat perempuan pms? Tentunya dari bundanya. Bundanya pernah bilang padanya ‘Jika perempuan yang kamu suka sedang pms dan dia bocor, alangkah baiknya ketika kamu ada didekatnya kamu membantunya, meminjamkan jaket, membelikannya pembalut juga membelikannya minuman agar ia tidak merasakan kram di perutnya. Karena sakit perutnya perempuan pms itu hampir sama dengan sakitnya ketika seorang ibu melahirkan anaknya.’

Ketika ia tahu Eca pms, ia langsung mengingat ucapan bundanya itu.

“Buruan! Gue buru-buru!!” lanjutnya, karena kedua siswi itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Ini kak yang kuning.” jawab Mawar.

Devan segera mengambil dua botol minuman berwarna kuning itu dan mengambil sebungkus pembalut lalu ia segera kekasir untuk membayar itu semuanya.

Lagi-lagi ia mendapatkan tatapan aneh dari mas-mas kasir.

Emang salahnya dimana sih cowok beli pembalut? Bukannya justru tandanya dia gentle ya mau beliin begituan buat ceweknya?

Setelah mendapatkan apa yang Eca perlukan, Devan segera berlari ketaman sekolah lagi untuk menemui Eca.

“Ternyata lo nurut juga ya..” gumam Devan saat melihat gadis itu masih stay duduk di bangku itu.

“Oke stay cool Van..”

“Nih!!” seru Devan sambil memberikan sebuah kresek pada Eca. Eca menerima kresek itu kemudian membukanya, mata Eca membulat kala melihat sebuah bungkusan berwarna pink yang memang sangat-sangat ia perlukan saat ini.

“Lo.. lo beliin ini buat gue?” tanya Eca kaget.

“Udah buruan sana lo ke toilet. Gue udah beliin rok baru buat lo. Itu juga ada minuman yang bisa kurangin kram perut lo. Kata bunda gue, cewek kalau lagi pms sering kram perut.” jawab Devan.

Eca menatap Devan tajam “Tuh lo ngerti bahasa pms, kenapa tadi kayak babi bego?”

Devan mengedikkan bahunya “Sengaja!” jawabnya kemudian meninggalkan Eca dengan segala umpatannya.

*

*