“Lo mau gue temenin cari sequelnya Atha-ku?” ajak Devan sambal menundukkan kepalanya. Ia ragu jika gadis didepannya ini menerima ajakannya.
Eca terdiam, ia kemudian mengangguk “Lo mau ikut gue cari novel gak Nad?” tanya Eca.
Nadine menggeleng, “Gue mau cari eskrim aja ya. Ntar gue nyusul ke toko buku.”
“Bareng kita aja yuk. Biar lo jadi princess nya ditengah-tengah gitu” celetuk Joni.
Nadine menatap Joni heran “Lo anak SMA Bangsa kan? Temen sekolahnya Aby?” tanya Nadine.
Joni mengangguk “Kenalin gue Joni.” Nadine mengangguk, “Gue Nadine.”
“Gue juga dong, kenalin gue Firman” Firman mengulurkan tangannya berharap Nadine akan membalas uluran tangannya “Btw gue jomlo!” tambahnya.
Nadine mengerutkan dahinya “Terus gue harus bilang wow gitu?” sahut Nadine sambil berjalan mendahului mereka.
Nadine, Firman,Wendy dan juga Joni kini pergi meninggalkan Eca dan juga Devan.
“Ayok..” ajak Devan sambil menarik tangan Eca. Eca segera menghempaskan tangan Devan kuat-kuat “Gak usah pegang tangan gue.” ucap Eca pelan, kemudian berjalan lebih dulu dibanding Devan.
Sabar Van. Eca lagi pms. Wajar kalau dia jutek. Entar lagi dia pasti baik lagi ke lo.
Devan berjalan mengikuti langkah Eca. “Di rak bagian sini..” ajak Devan sambil menarik tangan Eca. Kali ini Eca menurut.
“Coba lo cari bagian sini. Gue biar cari bagian yang situ.” seru Devan. Eca mengikuti aturan Devan. Devan mencari sequel novel favorite Eca itu. Tapi belum ketemu juga.
Belum ada kali ya sequelnya?
Devan menyusul Eca dan berdiri dibelakang Eca saat seseorang menghampiri Eca.
“Eca..” “Lo sama siapa?”
“Kak Aby? Gue sama--”
“Dia sama gue kesini!” jawab Devan sambil melangkah sedikit agar jaraknya dengan Eca hanya terpaut sedikit.
“I..iya kak gue sama dia kak. Lo gak sama Stella?” tanya Eca.
“Gue disini.” gadis yang disebutkan namanya oleh Eca melambaikan tangannya kemudian perlahan mendekati mereka bertiga.
“Hai. Lo pasti pacarnya Eca ya? Oh ya Ca, sorry ya soal tadi siang, gue kira itu pacar lo ternyata abang lo. Tapi yang ini pasti pacar lo kan?” gadis itu tersenyum sambil menatap wajah Devan.
“Gue Devan.” jawab Devan simpel.
“Kenalin kak, dia Devan pacar gue!” ucapan Eca berhasil membuat Devan terkejut. Bagaimana mungkin Eca menyebutnya sebagai pacar.
“Lo--” suara Devan tertahan karena Eca mencubit pinggangnya. Tempat yang paling sensitive bagi Devan.
“Oh ya? Wahh gue gak nyangka ya, pacar lo ternyata ganteng juga.” sahut Stella, gadis disebelah Aby.
Kalau Eca yang nyebut gue ganteng, gue akan sumringah. Tapi kalau lo, hih. Gue tau lo itu sama kayak Karin. Gatel..
“Ca? Lo bohong kan? Lo sengaja gini biar gue cemburu aja kan?” tanya Aby.
Eca menyikut pinggang Devan, membuat Devan mendelik menatapnya “Lo harus ngaku kalau lo pacar gue!” bisik Eca.
“Ya kali kak, kurang kerjaan banget gue kayak gitu. Lagian kan gak ada gunanya gue buat lo cemburu. Lo kan pacarnya Stella.”
Cemburu jadi?
“Jadi lo beneran pacaran sama Devan?” tanya Aby.
“Buruan jawab...” bisik Eca.
“Iya! Dia pacar gue!” jawab Devan sambil merangkul bahu Eca. Membuat Eca menatapnya tajam.
Lumayan. Rejeki kulkas ganteng.
“E...ee.. ya udah kak, gue sama Devan duluan ya. Stella duluan ya..” Eca menarik tangan Devan. Namun sapaan Devan membuatnya menghentikan langkahnya.
“Hai Caca..” langkah Eca terhenti. Ia menoleh kebelakang.
Plaakk..
“Gue keluar dari tim basket lo! GUE BENCI LO CA!”
“Ca lo apa-apan??” teriak Aby emosi.
“LO BILANG KE GUE LO GAK SUKA SAMA DEVAN? SEKARANG LO AKUI KALAU SAMA DIA PACARAN. MAKSUD LO APA?” teriak Caca sambil menunjuk-nunjuk wajah Eca.
“Gue sama dia memang pacaran.” celetuk Devan.
“Enggak Ca, gue bisa jelasin semanya. Lo jangan salah paham gini sama gue..” tangis Eca.
“Mulai besok gue keluar dari tim lo!” sungut Caca.
“Lo sahabatnya kan? Harusnya lo gak bentak-bentak Eca kayak gini..” ucap Devan pelan dan dingin. Ia benci melihat gadisnya itu dibentak, bahkan sama sahabatnya sendiri.
“Iya gue memang sahabatnya. Tapi itu dulu sebelum dia akui kalau lo sama dia--”
“Mau gue pacaran sama Eca atau enggak itu bukan urusan lo!” sahut Devan, kemudian menarik lengan Eca.
Eca menepis tangan Devan kemudian menggenggam tangan Caca “Ca, kita udah sahabatan lama, kita gak mungkin kan berantem cuma karena cowok. Gu.. gue sama Devan gak ada apa-apa kok. Gue gak bohong sama lo.” Eca menghapus kasar air matanya “Ca, please dengerin gue. Jangan marah sama gue. Gue kesini sama Nadine bukan sama Devan. Gue bohong sama kak Aby.”
“CACA!” Nadine berjalan menghampiri Caca dan Eca. Ia menarik tangan Eca menjauhkan tubuh gadis itu dari Caca “Ca, gue gak ngerti kenapa cinta bisa ngebutain lo. Eca ini sahabat kita. Lo, gue, Eca udah kenal dari dulu. Terus lo lihat cowok disamping Eca ini” Nadine menunjuk Devan, menatapnya kemudian kembali menatap Caca “Dia orang baru dikehidupan kita bertiga. Gue gak tau sejak kapan lo suka sama dia. Tapi yang jelas perempuan yang baru lo tampar tadi, itu orang yang udah bertahun-tahun sama lo. Dengar kan lo? Bertahun-tahun!” sungut Nadine.
“Nad, kok lo jadi bela dia gini sih. Lo dengar kan tadi siang di sekolah dia bilang apa? Dia bilang dia gak suka sama Devan!” sungut Caca.
“Udah ya, malu dilihat orang. Kalian mau masuk yutub Cuma karena rebutin kulkas nya SMA Harapan 02?” tanya Wendy.
“Ayok Ca kita pulang. Cuma orang gila yang nampar sahabatnya cuma karena orang baru, apalagi karena cowok!” sindir Nadine. Ia kemudian membawa Eca pergi dari tempat itu, disusul Aby, Stella, Firman, Joni dan juga Wendy. Kini tinggal Caca dan Devan disana.
“Dengar gue baik-baik..” ucap Devan pelan.
“Gue gak kenal lo karena cewek yang gue kenal disini cuma Eca. Gue gak suka lihat sikap lo yang sejahat itu sama sahabat lo sendiri. Setelah dengar dari temen lo yang satunya itu, gue jadi paham masalahnya sekarang. Lo suka sama gue?”
Caca mengangguk “Gue suka banget sama lo Van! Sangat suka..”
Devan terkekeh “Sejak lihat lo nampar Eca barusan, gue punya perasaan sama lo.”
Caca menatap Devan, ia tersenyum tipis mendengar ucapan Devan “Gue punya perasaan gak suka ke lo karena sikap sampah lo barusan!” Devan berjalan pergi meninggalkan Caca yang masih terkejut mendengar ucapan Devan barusan.
Devan menghentikan langkahnya kemudian menoleh kearah Caca “Ah satu lagi. Ada yang lupa..”
“Gue sukanya, sayangnya, cintanya cuma sama Eca. Sejak gue masuk di SMA Harapan 02. Jadi jangan harap lo bisa gantiin posisi dia dihati gue!”
*
*
Devan berjalan cepat menyusul Eca dan juga Nadine. Saat langkahnya hampir dekat ia menarik lengan Eca membuat Eca nyaris terjatuh. Untungnya dengan sigap Devan dapat menopang tubuh Eca.
Salah. Salah kalau kalian pikir mereka akan berpandang-pandangan ala-ala sinetron atau ftv gitu. Nyatanya tidak sama sekali. Eca langsung menegapkan tubuhnya dan menatap Devan tajam.
“HARUSNYA LO GAK BILANG KALAU KITA PACARAN DIDEPAN CACA!!” teriak Eca. Air matanya kini sudah mengalir deras dari matanya.
“Kenapa?” hanya itu yang keluar dari mulut Devan. Eca mengakuinya sebagai pacarnya saat didepan Aby, tapi beberapa menit kemudian ia mengakui bahwa itu semua bohong.
“Lo masih nanya kenapa Van? Lo budek? Lo gak denger tadi Caca bilang apa?” tanya Eca penuh emosi. Tenang mereka kini sedang berada di parkiran. Hanya beberapa orang yang melihat mereka bertengkar.
“Gue denger. Terus urusannnya sama gue apa?” tanya Devan lagi.
“Van. Dia sahabat gue. Dia suka sama lo, dia gak suka kalau lihat gue dekat--”
“Gue tau Ca!” potong Devan cepat.
“Gue tau dia suka sama gue, dia juga sahabat lo. Terus urusannya sama gue itu apa? Gue yakin lo dengar ucapan gue yang waktu diperpus!?” lanjutnya.
“Gue gak perlu jelasin itu lagi ke lo. Lo lihat sendiri sikap gue ke lo gimana, lo bisa nilai sesayang apa gue sama lo.”
“VAN!”
“Gue gak peduli mau sahabat lo itu suka atau cinta sama gue. Yang terpenting gue cuma sayang sama lo!” Eca menggeleng, ia benci mendengar apa yang barusan Devan ucapkan. Yang terpenting sekarang adalah sahabatnya bukan perasaannya sendiri.
“Oke, lo sayang kan sama gue?” ucap Eca pelan. Emosinya mulai mereda. Devan mengangguk “Lo mau lihat gue bahagia kan?” Devan mengangguk lagi.
“JAUHIN GUE!”
*
*
“Van..” panggil Joni. Kini mereka sedang berada ditempat andalan mereka. Kamar Devan.
“Van lo serius mau ngejauh dari Eca?” tanya Wendy.
“Hm..” jawab Devan singkat sambil terus melepas semua foto-foto Eca hasil jepretannya sendiri.
“Lo gak nyesel? Lo udah nahan perasaan lo bertahun-tahun Van. Sekarang ada kesempatan buat dapetin dia. Masak iya lo mau lepasin gitu aja?” tanya Firman.
“Van, Aby udah lepasin dia. Gue lihat sendiri di kelas kalau dia sekarang deket banget sama Stella. Jadi saingan lo berkurangkan?” imbuh Joni.
Devan menghentikan aktivitasnya kemudian menatap sahabatnya itu satu-persatu.
“Kalau doi udah minta gue buat berhenti, gue akan berhenti. Itu prinsip gue!” jawab Devan datar.
“Tapi Van--”
“Udah Jon! Gue capek bahas itu. Gak ada gunanya bahas itu.” Potong Devan cepat.
“Dia gak nyuruh lo berhenti! Dia Cuma nyuruh lo menjauh Van!” teriak Firman mulai kesal.
“Menurut gue sama aja!” jawab Devan. Ia berjalan kearah pintu kemudian membuka lebar-lebar pintu kamarnya “Mending kalian pulang, atau kalian pindah dikamar sebelah. Gue mau tidur!” pinta Devan. Joni, Firman dan juga Wendy mengalah. Kalau si kulkas udah bersikap dingin kayak gini ke mereka, mereka harus mengalah kalau masih mau jadi sahabatnya.
Devan menutup keras pintu kamarnya, menguncinya lalu ia menghempaskan tubuhnya di kasur.
“Bundaa.. Dev kangen sama bunda..” Devan mengambil pigura dimeja samping tempat tidurnya, ia memeluk erat pigura itu “Ndaa.. Dev harus gimana? Perempuan yang Devan sayang minta Dev menjauh. Dia Eca ndaa, perempuan yang pernah Dev ceritain ke bunda...”
*
*
Flashback on..
“Ndaaa... Dev pulaaangg.....” teriak Devan sambil berjalan kearah dapur. Ia tahu jam segini pasti bundanya ada didapur.
“Gimana sekolahnya? Banyak gak yang naksir kamu?” tanya Ria, bunda Devan.
“Gak tau. Dev gak peduli.” jawab Devan santai sambil mencomot tempe goreng buatan bundanya. Ria hanya menggeleng mengetahui sikap anak kesayangannya itu. Dia selalu seperti itu. Tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar. Apalagi terhadap seorang perempuan. Perempuan yang harus ia pedulikan dimatanya hanya Ria. Bunda yang paling ia cintai.
“Udah dapat temen?” tanya Ria lagi. Devan mengangguk “Temen Dev ya cuma Firman sama Wendy aja ndaa. Siapa lagi?”
“Kamu gak mau cari temen baru? Yah biar banyak teman.” lagi-lagi Devan hanya menggeleng “Bunda, Dev gak suka sama temen-temen Dev disekolah. Baru 3 hari Dev sekolah, Dev udah dipanggil ‘kulkas’ apaan coba? Padahal Dev manusia.”
Ria tersenyum “Makanya jadi manusia jangan jutek-jutek banget, jangan dingin-dingin banget sikapnya. Kudu ramah Dev..”
Devan tersenyum “Ndaaa.. Dev itu kalau disekolah ramah kok.”
“Ramah ke siapa? Kalau ramah gak mungkin dipanggil kulkas dong..”
“Ke Wendy sama Firman aja. Joni kan beda sekolah sama aku.”
“Ke cewek enggak?”
“Ada satu. Namanya Eca ndaa.. dia orangnya cuek banget. Senyum kalau sama yang udah akrab aja sama dia.”
“Terus kamu gak ajak kenalan gitu? Anak bunda kan ganteng..” Devan menggeleng “Nantilah, kalau Dev udah siap. Dev bakal bawa dia ke bunda, terus Dev kenalin sebagai pacar Dev..” ucap Devan kemudian berjalan kekamarnya.
Devan menghentikan langkahnya ketika ingin menaiki tangga “Devan gak tau kenapa, Devan sayang sama dia ndaa. Sama kayak Devan sayang ke bunda. Padahal Devan baru kenal 3 hari sama dia. Devan juga gak pernah ngobrol sama dia.” jelas Devan kemudian melanjutkan langkahnya.
Semenjak itu, setiap pulang sekolah Ria selalu menanyakan kabar gadis pujaan anaknya itu. Ia selalu memberi tahu bagaimana cara mendekati gadis seperti Eca. Ia selalu mendukung apapun yang akan dilakukan Devan asalkan dalam batas wajar. Hingga hari itu tiba. Hari dimana Ria memilih pergi ninggalin Devan untuk selamanya sebelum Devan berhasil membawa Eca untuk bertemu dengannya.
Flashback off..
*
*
Tok..tok..
“Devan, waktunya makan malam yuk. Papah udah pulang. Dia ingin sekali makan malam bersamamu nak..” ucap seseorang dari luar kamar Devan.
Devan mengerjapkan matanya. Ia berjalan pelahan sambil membukakan pintu untuk perempuan diluar kamarnya itu. “Mau apa lo?” tanya Devan pelan.
“Devan makan yuk. Ditunggu--”
“Lo makan aja berdua sama suami lo! Gue mau makan sama mbak Sinta aja.” jawab Devan sambil mengucek matanya.
“Mbaaakkk... mbaaakkk Sintaaaaaa...” teriak Devan.
“Iya mas..” jawab Sinta sambil berjalan mendekati nyonya besarnya juga tuannya itu.
*fyi aja ya buat kalian, jadi pembantu dirumah Devan ini namanya Sinta. Jangan kalian pikir mentang-mentang Devan manggilnya mbak, terus kalian mikirnya dia masih muda. Sinta udah kepala 4 gais. Udah punya anak juga. Devan gak pernah mau manggil dia ibu, bibi atau yang lain-lain. Karna buat dia, perempuan dirumah dia yang pantas dipanggil ibu hanya Ria, bundanya. Kalau bibi? Bagi Devan, Sinta bukan pembantunya, lebih ke mbaknya yang bisa menasehatinya terkadang. Makanya dia gak mau panggil bibi.*
Oke next!
“Buatin saya makan malam ya, terus temanin saya makan didapur..” perintah Devan.
“Tapi mas, ibu sudah masak spesial untuk mas Devan.”
“Gue gak napsu makan masakan dia..” sahut Devan.
“Van, mamah kan cuma--” Devan memejamkan matanya “Harus berapa kali sih gue bilang? Stop nyebut diri lo itu mamah. Nyokap gue cuma satu. Selamanya tetap satu.” sungut Devan.
“Ada apa ini ribut-ribut??” suara itu terdengar dari anak tangga tengah menuju anak tangga atas (apaan sih thor, gak jelas banget.)
“Devan, kamu cari masalah lagi sama mamah kamu?” tanya Dafa, papah Devan.
“Dia bukan mamah Devan!” jawab Devan dengan suara rendah namun penuh penekanan.
“Devan! Jaga bicara kamu! Dia itu istri papah berarti dia--”
“Dia bukan orang tua Devan!” teriak Devan.
“Sudah mas, gak apa-apa kok. Mungkin Devan belum siap aja. Devan kamu makan sama kita ya. Biar mbak Sinta bisa istirahat. Tante udah buatin makanan kesukaan kamu.” ucap Rani.
“Mbak Sinta mau istirahat?” tanya Devan pada wanita disebelahnya itu. Sinta hanya bisa menunduk bingung harus menjawab apa.
“Ya sudah kalau gitu Devan makan diluar aja.” Lanjutnya. Ia kemudian berencana menutup pintu. Ingat gais, baru rencana nutup pintu. Tapiii...
“DEVAN!” teriak Dafa.
“Kamu makan sama papah dan mamah kamu SEKARANG!” bentak Dafa.
“Devan bisa mati kalau makan masakan dia!” ucapnya dingin.
Plakk...
*
*