24. Ranking Pertama

Senin pagi tiba. Hari ini adalah hari terakhir masuk sekolah sebelum liburan. Hari dimana raport hasil ujian semester pertama dibagikan.

Keira sampai di sekolah sekitar jam 9 pagi. Ia datang bersama Papanya. Mama Keira ada urusan dengan Fadil, jadi Papa lah yang datang ke sekolah untuk mengambil rapor.

"Ssttt... itu Keira!" bisik anak-anak entah dari kelas apa saat mereka melihat kedatangannya.

Keira bisa merasakan jika seluruh mata kini memandangnya tak biasa. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan mereka sekarang. Hari Sabtu kemarin, Keira langsung pulang begitu selesai tampil. Ia meminta Zein mengantarnya sebelum anak-anak lain sadar siapa dirinya. Namun sepertinya gosip tentang Keira yang jadi rocker di pensi sudah menyebar luas di SMA Pahlawan. Buktinya sejak ia menjejakkan kaki di sekolah, semua anak kedapatan memandangnya.

Saat melewati koridor lantai satu, seorang anak kelas 10 tampak sedang menonton sebuah video di ponselnya. Keira harus syok saat mengetahui video apa yang tengah ia putar. Penampilannya di pensi bersama Zein And The Gank!

"Kok hampir semua anak ngelihatin kamu ya, Kei?" tanya Papa saat keduanya hendak menaiki tangga.

"Ah, mungkin perasaan Papa aja," jawab Keira, tertawa canggung. Ia memang belum cerita soal aksinya di acara pensi kemarin pada orang rumah. Ia takut dimarahi Mama.

"Pagi, Om Arya!" Ryu muncul saat keduanya sampai di ujung tangga.

"Eh, halo, Ryu! Apa kabar?" Papa Keira menyalami anak itu. "Papa atau Mama kamu yang datang?"

"Mama, Om. Papa lagi mau ada meeting katanya," jawab Ryu. Ia lalu berpaling pada Keira. "Hai, Kei. Kemarin Sabtu kok ngilang gitu aja sih abis tampil? Gue nyariin lo ke mana-mana nggak ada."

"Loh, emang Keira abis nampilan apa kemarin?" tanya Papa segera.

"Ooh, jadi Keira belum cerita sama Om?" Ryu menampilkan wajah terkejut saat menyadari Keira melototinya.

"Papa, ayo buruan ke kelas! Keira males kalau nanti nunggu dipanggilnya lama. Buruan, yuk!" Keira segera menyeret Papa menuju kelasnya. Ia tak menggubris lagi Ryu yang sedang menggaruk-garuk kepala.

"Mil! Milli!" Keira spontan memanggil nama anak itu saat sampai depan kelasnya.

Milli dan beberapa anak lain yang sedang nongkrong di depan kelas otomatis menoleh pada Keira. Aneh. Mereka langsung diam saat melihatnya. Padahal sesaat tadi mereka sedang asik berbicara. Bahkan wajah-wajah mereka seakan berekspresi kaget menyaksikan kedatangan Keira.

Tak memakan waktu lama Keira pun sadar. Mereka pasti masih membahas pensi Sabtu lalu. Perkiraan Keira benar. Melihat dirinya yang dikenal manis dan pendiam jadi sangar seperti itu siapapun pasti heboh. Bisa jadi Keira dicap anak berkepribadian ganda di SMA Pahlawan sekarang. Mungkin juga julukan dari Zein akan segera ditiru semua orang. Keira cewek berbahaya.

"Kei, ini kelas kamu, kan? Papa masuk ya?" ucap Papa menyadarkan Keira dari lamunannya.

"Iya, Keira tunggu Papa di sini," sahutnya pelan. Bagus, pikirnya. Sekarang Papanya sudah masuk kelas. Tinggal Keira seorang sendiri dipandang aneh oleh semua orang.

"Kenapa datang-datang langsung bengong?" Zein yang mendadak muncul dari belakang Keira menyapa.

Keira menarik napas panjang. Ternyata tidak semua orang menghindarinya. Zein buktinya. Namun tentu saja tak mengherankan mengingat Zein adalah preman sekolah. Jadi seorang rocker jadi-jadian seperti Keira pasti dianggap cocok berteman dengannya. Bahkan menjadi pacar Zein seperti kabarnya.

"Zein," Keira lalu menatap cowok itu. "Gue ngerasa..." ia tak meneruskan ucapannya melihat apa yang ada di hadapannya. Penampilan Zein hari ini sedikit berbeda. Cowok itu menata rapi rambutnya. Dasi pun dipakai sesuai aturan. Atasan seragamnya dimasukkan ke celana. Hari ini Zein kelihatan tidak berantakan.

"Tuh kan bengong lagi? Lo sakit atau kenapa?" Zein menatap heran Keira.

Keira menggelengkan kepala. "Tumben banget lo hari ini rapi. Nggak ada kesan premannya."

"Menurut lo kayak gitu?" Zein tertawa kecil. "Hari ini gue dateng ke sekolah sama Mama," jawabnya jujur.

"Jadi Mama lo nggak tahu ya kalau anaknya di sekolah bikin geng berbahaya? Ahh, kasihan banget," ucap Keira, pura-pura sedih. "Tapi lo gantengan kayak gini, sih. Nggak serem."

Zein menahan senyum Keira kelewat jujur seperti biasa. "Jadi naik berapa persen nih kadar lo suka gue? Gue pastiin makin hari lo makin cinta sama gue," ujarnya percaya diri.

"Zein, gue saranin lo jangan terlalu pede jadi orang," Keira yang mulai bisa mengontrol diri dari godaan Zein menimpali. "Kalau gue beneran bisa suka lo sampe stadium akhir emangnya lo mau apa?"

"Rahasia. Yang pasti tunggu aja sampai lo nggak tahan buat nyatain cinta ke gue."

"Nggak lucu," Keira memutar mata. "Ngomong-ngomong lo lihat kan sekarang? Semua anak kayaknya nganggap gue aneh. Bahkan temen-temen sekelas lihat gue datang kayak lihat alien aja."

"Alien? Siapa yang alien?" tanya Alvin yang tanpa diketahui sudah berada di sebelah Keira. Oki juga ada di dekatnya.

Zein terkekeh. "Jangan mikir yang nggak-nggak. Lo kan yang jadi penyelamat kelas kita. Masa iya mereka malah ngasingin lo?"

"Tapi lihat sendiri, Zein. Milli aja sampai nggak mau jawab sapaan gue," keluh Keira.

"Mereka cuma malu sama lo kali," Oki menyela.

"Malu? Malu kenapa?" Keira memicingkan mata pada Oki.

"Ya malu lah. Soalnya kan mereka udah nertawain lo di kelas waktu itu. Bayangin seorang Keira nyanyi lagu rock di panggung sama Zein. Bener-bener lucu banget."

"Bener. Emang siapa juga yang bakal ngira lo ini seorang rocker?" timbrung Alvin. "Lo bahkan keren banget, Kei. Sumpah. Kalau gue jadi jurnalis majalah sekolah, gue bakal tulis beritanya kayak gini, nih. Ehem! Murid jenius dan teladan di SMA Pahlawan bernama Keira menyembunyikan identitas aslinya sebagai seorang rocker. Hanya kepada seseorang ia berani mengakui jati dirinya. Yaitu pada Zein, preman yang dicintainya."

Jeddukkkkk.

Keira langsung menendang kaki Alvin begitu ia selesai berbicara. "Nggak usah mengada-ada deh lo! Sembarangan!" semprotnya dengan muka memerah. Oki dan Zein langsung tertawa ngakak melihat ulah keduanya.

"Zein!" Tiba-tiba suara seorang wanita mengejutkan mereka.

"Eh, Tante Ratna!" Oki dan Alvin segera menyalami wanita tersebut. Ia baru saja keluar dari kelas mereka dengan raport di tanggan.

Keira keheranan melihat sikap Oki dan Alvin yang mendadak sopan. Bagaimana mungkin anak-anak bandel seperti mereka bisa semanis itu di depan orangtua? batinnya, tak habis pikir.

"Tante senang kalian berdua selalu nemenin Zein. Selama liburan ini mungkin Tante akan di rumah. Tante kangen kumpul sama Zein dan kalian," ucap wanita yang ternyata Mamanya Zein itu.

"Bawa oleh-oleh nggak, Tante? Baru aja sampai dari Surabaya, kan?" tanya Alvin, yang langsung mendapat jotosan dari Zein.

"Ada nanti di rumah, Vin," Mama Zein tertawa. Ia lalu mengarahkan pandangan pada satu anak cewek di antara mereka. "Ooh, ini siapa? Teman Zein juga? Tumben kalian bertiga punya teman cewek." Mama Zein menatap Keira. "Hallo, saya Mamanya Zein."

"Kei... saya Keira, Tante," balas Keira gugup. Ia segera menyambut uluran tangan wanita paruh baya itu.

"Ooh, Keira ya?" Mama Zein termenung sesaat. "Aah, kamu yang ngangkat telpon Tante waktu itu, kan? Sore-sore pas hari ulang tahunnya Zein. Ah, jadi kamu pacarnya Zein?"

"Hah? Ng-nggak kok, Tante. Saya bukan pacarnya Zein. Saya temen sekelasnya," jelas Keira panik.

"Tapi kemungkinan besar bentar lagi mau jadi pacar Zein maksudnya," ceplos Oki, dan Alvin segera menyambutnya dengan tawa lantang.

"Eeh, sembarangan!" Keira jadi semakin malu karena digoda dua anak itu. Ia lalu melirik Zein agar mengatakan sesuatu pada ibunya.

"Keira teman aku, Ma. Teman Oki sama Alvin juga," kata Zein seadanya.

"Ya, ya. Mama tahu," Mama Zein tersenyum simpul. "Mumpung Tante lagi di rumah ayo main ke rumah Zein, Keira. Selama ini cuma Oki sama Alvin temen Zein yang Tante kenal. Zein memang anaknya sangat tertutup dan pendiam. Dari dulu dia juga jarang punya teman cewek."

"Iya, Tante. Kapan-kapan," jawab Keira sopan.

"Jangan kapan-kapan, Tante nggak tiap hari di rumah lho. Mumpung besok musim liburan, jadi sempatkan waktu main ke rumah Zein."

Keira cuma tersenyum. Bagaimanapun dia hampir tak pernah main ke rumah teman sekolah sejak SMA. Kecuali jika ada tugas kelompok kelas.

"Kei!" Tiba-tiba Milli memanggil dari tempat tongkrongannya.

"Permisi dulu ya, Tante. Keira dipanggil temen, tuh." Keira segera meninggalkan Zein dan Mamanya. Lagipula ia juga malu jika harus lebih lama bersama mereka.

"Kei, kenapa Sabtu kemarin lo langsung pulang? Kita nyariin lo, tau?" tanya Milli begitu Keira mendekat.

"Sori, gue emang sengaja buru-buru pulang karena ada alasan," jawab Keira pelan. Ia agak canggung karena semua anak memandangnya tidak seperti biasa.

"Kita mau bilang makasih sama lo. Berkat lo dan geng Zein, kita sekelas sama Bu Rani jadi selamat," ucap Milli lagi. Ia lalu melirik para anak buahnya.

"Makasih ya, Keira!" seru anak-anak serempak.

"Selain bilang makasih kita juga mau minta maaf sama lo. Kita udah nertawain lo waktu itu. Ternyata lo jauh dari apa yang udah kita bayangin. Maaf ya, Kei, kita udah ngeremehin lo."

"Maaf ya, Keira!" Anak-anak sekali lagi membeo ucapan Milli.

"Mm, iya, nggak pa-pa kok," ucap Keira akhirnya. "Tapi kalau mau makasih jangan sama gue. Sebenarnya Zein sama gengnya yang udah nyelametin kita," lanjutnya.

"Iya kita tahu. Kemarin Sabtu kita udah bilang makasih kok sama mereka, tapi ini kan berkat lo juga," ucap Milli. "By the way, lo itu ternyata suka ngerock ya, Kei?"

Keira mengedik. "Kalian boleh nganggep gue orang lucu sekarang. Gue emang punya hobi aneh di rumah." Dengan berat ia pun mengakui rahasia besar yang selama ini ia sembunyikan dari teman-temannya. Keira tidak akan peduli. Mungkin mulai besok, Zein akan merekrut Keira sebagai anggota baru gengnya jika ia tak punya teman.

"Jadi lo suka nyanyi rock di rumah?" tanya Gina kemudian.

"Iya. Bahkan gue suka dandan ala-ala cewek emo sambil karaokean," aku Keira.

Hening. Milli, Gina dan semua anak tak ada yang bersuara untuk beberapa lama. Butuh banyak waktu untuk mencerna pengakuan Keira.

"Gue nggak bakal keberatan kalau kalian nganggap hobi gue aneh," ujar Keira, sadar diri karena anak-anak tak berani meliriknya.

"Aneh?" Namun Milli tiba-tiba berseru. "Lo keren banget kali, Kei! Keira luar biasaaaa!" lanjutnya sambil meniru gaya Ariel Noah, membuat semua anak seketika tertawa.

"Tapi beneran kok, Kei. Kemarin itu lo keren banget. Suara lo bagus dan teriakannya wooow, kayak bukan Keira aja," puji Milli antusias.

"Sebenarnya gue juga hobi karaokean di rumah," aku Maria tiba-tiba. "Tapi gue suka lagu dangdut Jawa atau jenis musik campur sari. Kalian tahu nggak Didi Kempot? Gue ngefans banget lho sama lagu-lagunya."

"Hah??!!!" Semua anak terperanjat. Maria yang bahkan lebih serius dari Keira rupanya menyukai lagu-lagu berbahasa daerah seperti itu, sungguh mencengangkan.

"Gue malah koleksi lagu-lagu solawatan. Rebana. Kosidahan. Bisa bayangin nggak kalau gue jadi seterkenal Habib Syekh?" Boby yang sejak tadi diam tak mau kalah. Ia juga mengakui hobi yang selama ini dirahasiakannya.

"Hahaha. Sumpah lo, Bob?" Anak-anak langsung tertawa. Tak terkecuali Keira.

Beberapa saat kemudian Keira tersenyum lega. Ternyata tidak cuma dia yang punya hobi tak sesuai citranya. Ternyata setiap orang juga punya rahasia yang unik. Ia merasa benar-benar lega sekarang. Berarti bukan dirinya saja yang akan dianggap unik. Selama ini Keira memang terlalu takut hobinya diketahui orang. Ia tak tahu jika ia berani mengungkapkan justru akan membuat pikirannya lebih terbuka.

"Keira!" Suara Papa tiba-tiba mengalihkan perhatian anak-anak itu. Terutama Keira.

"Papa!" Keira langsung berlari ke arah Papanya di depan pintu kelas. "Gimana, Pa? Raport Keira bagus kan, Pa?" todongnya dengan cemas.

Papanya tersenyum bangga. "Anak Papa memang pintar sekali. Nilai kamu 9 semua. Yah, kecuali ujian praktek olahraga. Tapi Papa senang kamu tetap konsisten dalam hal belajar. Bahkan rata-rata nilai kamu lebih baik daripada saat kelas 10 kemarin. Selamat ya, Kei!" Papa mengelus kepala Keira dengan lembut.

Keira tersenyum senang. "Jadi mana hadiahnya, Pa?" tagihnya segera.

"Hadiah? Memang kamu minta hadiah apa sama Papa? Kok Papa lupa sih?" sahut Papa bingung.

"Bukan hadiah dari Papa, tapi dari Bu Rani. Bu Rani bilang mau ngasih tiga pilihan hadiah buat juara satu di kelas. Emangnya Bu Rani nggak bilang sesuatu ke Papa apa?"

"Loh, memang Papa tadi bilang kamu dapat rangking pertama apa?"

"Hah? Maksud Papa?" Keira langsung mengangkat wajah agar bisa menatap Papa dengan lebih jelas.

"Nilai kamu emang nyaris sempurna, Kei, tapi kamu dapat rangking dua. Papa senang kamu masuk kelas anak-anak pintar. Kamu jadi punya motivasi lebih dalam belajar. Tuh, nilai kamu segini bagusnya kok ya masih ada yang bisa nandingin kamu gitu. Hebat banget, ya."

Ucapan Papa sudah tak masuk telinga Keira lagi. Pikiran Keira mendadak kosong blong. Keira sangat-sangat tidak ingin percaya ia mendapat rangking dua. Musnah sudah harapannya. Pupus sudah impiannya. Hancur lebur bayangan Keira untuk bertemu band idola. Semuanya hangus. Lenyap. Remuk tak bersisa.

"Loh, kok malah mewek-mewek sih, Kei?" Papanya terkejut melihat muka Keira yang mendadak keruh. Namun Keira tak menjawab. Justru air mata lah yang segera muncul di pelupuk mata.

Kurang keras belajar apalagi memangnya? ratap Keira dalam hati. Setiap malam setiap pagi ia selalu membaca buku pelajaran, menghafal rumus dan materi. Selalu ia mengerjakan soal-soal latihan. Di saat semua anak asik jalan-jalan Keira menghabiskan waktu di perpustakaan. Kenapa masih saja ada yang lebih baik darinya? Keira marah dan kecewa sekali. Usaha kerasnya demi mendapatkan tiket konser harus sia-sia. Tak bisa dicegah, air mulai menetes dari matanya. Hatinya hancur seketika.

"Kei, memang hadiahnya apa? Papa beliin deh yang sama. Jangan nangis begini, dong. Udah SMA kelas 11 kok nangis cuma gara-gara rangking dua?" Papanya menepuk-nepuk kepala Keira.

"Papa nggak tahu, sih. Keira udah mati-matian belajar buat dapetin hadiahnya...," ucap Keira sambil menyeka air mata, mencoba menahan isak tangis yang mendesak keluar.

"Ya sudah. Papa bakal beliin hadiah yang sama persis. Papa aja senang kok kamu rangking dua. Nilai kamu bagus semua, Kei. Jangan khawatir ya," tenang Papanya. "Memang apa sih hadiah dari wali kelas kamu?"

Sebelum Keira menjawab, terdengarlah suara ribut dari Zein dan gengnya.

"Jadi lo dapet rangking pertama nih, Bos? Weeh, keras! Selamat ya Bos jadi juara kelas lagi!" seru Alvin.

"Ngomong-ngomong lo udah ambil hadiahnya belum, Zein? Lo milih paket liburan ke Raja Ampat atau yang mana?" tanya Oki pula.

"Gue udah ambil pilihan ketiga," jawab Zein dengan santainya.

Brresssss!

Tambah deraslah kucuran air mata Keira. Zein dengan lancang telah mengambil tiket incarannya. Keira merasa sangat nelangsa. Ia seakan merasa dikhianati oleh usahanya.

"Permisi!" sapa Papa Keira pada mereka. Mendengar percakapan tiga anak itu ia memutuskan untuk menghampiri mereka. "Perkenalkan, saya Papanya Keira," ucap Papa tegas.

"Bokapnya si Jenius, Bos!" Alvin langsung menyikut Zein.

"Ada apa ya, Om?" tanya Oki waswas.

"Jadi apa di antara kalian ada yang dapat rangking pertama?" tanya Papa Keira dengan suara berwibawa.

"Gawat, Bos. Jangan-jangan Bokapnya si Jenius mau ngehajar lo!" Alvin menyikut Zein lagi.

"Iya, Om. Saya yang dapat rangking pertama," ujar Zein, mencoba tetap tenang.

"Oh jadi kamu rupanya. Hebat sekali bisa ngalahin Keira. Selamat, ya!" Papa Keira serta merta menyalami Zein. Suaranya pun berubah jauh lebih ramah.

"Ya, Om. Makasih," Zein membalas jabat tangannya meskipun agak bingung.

"Kalau boleh tahu nama kamu siapa?" tanya Papa Keira kemudian.

"Saya Zein, Om."

"Zein?" Papa Keira jadi teringat cerita Keira dan Fadil waktu itu. Apa Zein ini yang mereka maksud? "Kamu... ng... kamu temenan deket sama Keira?"

"Mampus lo, Bos!" Sekali lagi Alvin menyikut Zein.

Zein hampir menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya saya... bisa dibilang saya cukup dekat sama Keira." Ia mengakuinya dengan tegang.

"Ooh," Papa Keira hampir tersenyum mendengarnya. "Om cuma mau nanya, hadiah apa yang sebenarnya kamu dapat? Keira sedih sekali nggak jadi juara pertama. Dia sampai nangis, tuh." Papa menunjuk Keira di depan pintu kelas.

"Hah, Keira nangis?" Alvin dan Oki langsung menoleh ke arah Keira. Anak itu masih berdiri di depan pintu kelas. Zein juga ikut menyaksikannya.

Sadar diperhatikan oleh geng berbahaya itu, Keira langsung menoleh ke arah lain. Ia cepat-cepat mengusap air matanya supaya tak diledek mereka. Namun tiga anak itu terlanjur tertawa.

"Ayo, Pa! Kita pulang aja sekarang. Keira pengen tidur di rumah," ajak Keira tanpa mempedulikan Zein dan gengnya.

"Terus hadiahnya gimana?" Papa ingin bertanya lagi pada Zein, tapi Keira sudah buru-buru menariknya menuruni tangga.

"Nanti Kei bilangin di rumah," jawab Keira kesal. Diseretnya sang ayah menjauh dari para cowok itu.

"Kei!" Tiba-tiba Zein memanggilnya di saat mereka baru menuruni beberapa tangga. "Tunggu sebentar!"

"Mau apa?" sahut Keira jutek. Jujur ia marah karena Zein mendapatkan tiket impiannya. Zein kan pembolos dan cuek dengan semua pelajaran. Harusnya Keira yang dapat rangking pertama. Bukan Zein. Ini tidak adil baginya.

"Gue tahu lo pengen banget dapat tiket konsernya, makanya lo belajar keras biar jadi rangking pertama, kan?" kata Zein dari atas tangga.

"Terus kenapa?" Keira acuh tak acuh pada ucapannya.

"Ini tiket konsernya buat lo aja. Gue tahu lo suka banget sama Simple Land, kan?" Zein menyodorkan sebuah lembaran tiket ke tangan Keira sambil berjalan menapaki anak tangga.

Keira jelas terkejut. Tapi jujur perasaannya sama sekali tidak senang. Keira ingin mendapatkan tiket itu dengan usahanya sendiri. Bukan didapatnya dari orang lain. Apalagi dari Zein. Sang juara kelas yang sesungguhnya.

"Makasih, tapi nggak perlu," jawab Keira dingin. "Gue emang pengen dapetin tiketnya, tapi dengan usaha gue sendiri. Yuk, Pa!" Keira menarik Papanya agar menuruni tangga lagi.

"Wah, sayang banget!" Zein lalu berceletuk keras-keras. "Padahal Bu Rani ngasih tiketnya dua lembar. Masa iya gue nonton konser sendirian?"

Ucapan Zein sukses membuat Keira berhenti di tempat. Tiketnya dua lembar? Kupingnya tidak salah dengar, kan?

"Kalau ngajak Oki, entar Alvin iri. Jadi ngajak siapa, ya? Yang gue percaya ngefans banget sama itu band malah nolak tiketnya." Zein melanjutkan aktingnya.

Sejuta kali Keira berusaha tak mempedulikan Zein tapi sepertinya ini bakal sia-sia. Keira melirik Papanya. Papa sedang tersenyum, seakan memerintah Keira untuk menerima ajakan Zein saja. Keira dilanda dilema besar. Perlahan namun pasti ia pun menoleh ke belakang. Ia menatap Zein yang ada di beberapa anak tangga lebih tinggi darinya.

Cowok itu sedang memamerkan dua lembar tiketnya di tangan. Mengipas-ngipaskannya di depan leher seakan sedang kepanasan. Dia tersenyum jail pada Keira.

Keira menunduk karena malu, tapi cuma sebentar. Ia tak kuasa menahan senyum manisnya melihat tiket di tangan Zein.

"Zein," Keira cuma bisa memanggil nama anak itu sebelum akhirnya tertawa. Keira sangat bahagia. Matanya bersinar melihat Zein beserta tiketnya. "Gue mau kok nemenin lo ke konser," ucapnya kemudian, menahan segala rasa malunya.

Seketika Zein tersenyum lebar.

Oke. Kali ini tidak apa-apa jadi rangking dua, pikir Keira akhirnya. Karena bagaimanapun ia akan datang ke konser Simple Land tanpa meminta uang orangtua. Ia akan hadir menemui band idola, bersama juara pertamanya. Semester depan ia berjanji akan belajar lebih keras agar bisa merebut posisi itu kembali. Lihat saja.