"Jadi, kamu maafin dia begitu aja?" tanya Joline sambil menyipitkan matanya. Lalu dia menggeleng-geleng tidak percaya.
"Manis sekali." Vanessa berkomentar sambil memutari meja kantorku untuk mengambil stapler dari laciku.
Christian mengelap kacamatanya dengan tisu di pinggir mejaku. "Seharusnya kan Ellie yang minta maaf. Dia yang salah."
Aku melemparkan tatapan tajam kepadanya membuat Christian menurunkan pandangan dan berdeham.
Joline menunjuk Christian dan bersetuju dengannya. "Benar. Mestinya kamu yang minta maaf."
"Menurutku siapa yang minta maaf itu nggak penting. Yang penting mereka udah baikan kan?" ucap Vanessa.
Aku menoleh kepadanya dan tersenyum. "Terima kasih, Ness."
Vanessa tersenyum lebar dan bergidik sambil mengutak-atik komputerku. "Tidak masalah." ujarnya.
"Oh, tidak." Joline melirik ke arah luar. "Kode merah, kode merahh!!" ucapnya dengan mulut terkatup dan gertakan gigi.
Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat sebuah bayangan melesat memasukki kantorku dengan kaki jenjangnya dipadukan dengan high heels yang tingginya sekitar 25 cm (siapa sih yang mendesain high heels sampai setinggi itu? Secara ilmiah itu hampir tidak masuk akal. Hampir).
Skirt hitam ketat membungkus bokongnya, memperlihatkan pahanya yang mulus, kemeja putih tipis menembus belahan dadanya.Rambutnya berkilau dan bergelombang, terurai di kedua bahunya. Sepertinya dia baru menyemirnya lagi menjadi coklat kepirangan.
Sial. Sial. Sial.
Lauren melontarkan senyum lebarnya yang terlihat palsu di mataku.
Kami menyipit padanya, alis kami bertaut bersamaan (kecuali Vanessa yang terlihat riang seperti biasanya. Kemungkinan waktu Vanessa masih anak-anak dia dimantra oleh peri sehingga dia memilki hati semulia Putri Disney).
"Pagi semua." Giginya berkilau saat ia tersenyum.
"Pagi..." ujarku sambil melontarkan senyuman setulus-tulusnya.
Lauren menyusuri pandangannya padaku, dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti menghakimiku dan menilai tubuhku untuk dijual ke rumah bordil ilegal. Senyuman licik terbentuk di wajahnya. Kemudian dia menoleh kepada Joline.
"Pagi juga, Joline."
Joline tersenyum namun tidak berhasil menyembunyikan kepahitannya.
"Gimana trip-mu? Berjalan lancar" tanyaku.
Lauren mendesah bahagia. "Ellie, kamu nggak tau betapa indahnya Prancis."
Mendengar negara tujuan impianku itu disebut, rahangku terjatuh dan jantungku berhenti. "Prancis?"
Ia mengangguk. "Aku sangat beruntung bisa nginep 3 hari 2 malam in the city of love, setidaknya itu yang dikatakan orang-orang, melahap roti-roti yang fresh from the oven sebagai sarapan di hotel bintang lima bersama Jay, piknik di depan Eiffel Tower yang megah sambil menikmati keju dan anggur paling mahal di sana, astaga, aku tidak pernah sebahagia itu."
Semua yang dikatakannya itu adalah mimpi yang selalu kuidam-idamkan sejak aku kecil. Aku mau menikmati keju tua dan anggur yang berbau menyengat di depan Eiffel Tower kemudian mengeksplorasi the catacombs of Paris yang mengerikan sekaligus mempesona itu seperti yang aku lihat di saluran National Geographic.
Aku ingin berdiam diri di sebuah café kecil yang menyajikan soufflé dan teh hangat sambil memandang keindahan kota dan melarikan diri dari hidupku untuk sesaat. Aku mau melakukan semua yang dilakukannya.
"Ellie, kamu harus ikut kapan-kapan. Bukannya itu negara impianmu?" lanjutnya.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. "Mungkin suatu saat."
"Yah, lain kali kalo ada business trip lagi, aku pasti akan mengajakmu. Lagipula, aku akan menjadi Direktur."
Aku mematung lalu menukar pandangan kepada Joline, Christian, dan Vanessa secara bergantian. "Direktur?" ulangku.
"Kamu belum denger beritanya?"
"Berita apa?" tanyaku sambil berusaha untuk mengambil napas sementara Joline mendekatiku.
"Bu Diana akan mengundurkan diri dari jabatan Direktur. Dan, Jaiden mempertimbangkanku untuk menjadi Direktur. Aku mempunyai kualitas yang baik dan cocok untuk menempati jabatan itu." kata Lauren.
Kepahitan menyelubungi diriku, napasku cepat dan pendek-pendek. Aku hanya terdiam, berusaha untuk mengendalikan kepahitanku.
Ia tersenyum sambil memandangku. Ruanganku menjadi hening selama beberapa saat.
Vanessa berdeham, melenyapkan keheningan. "Aku...," ucapnya sambil mengambil berkas dan ponselnya dari mejaku, berjalan menjauh dari kami menuju pintu kaca yang terbuka. "Sebaiknya aku kembali ke mejaku." Ia tersenyum lalu meninggalkan kami.
"Ya, aku juga." ucap Christian sambil mengikuti Vanessa.
Lauren membalikkan badannya. "Well, kita berjumpa lagi saat aku menjadi direktur." Ia melambaikan tangannya di udara lalu kaki jenjangnya meninggalkan kantorku.
Aku dan Joline bersitatap dalam diam.
"Apakah itu benar?" tanyaku setelah jeda.
Joline menggeleng tidak kentara. Ia menurunkan pandangannya ke lantai. "Nggak tau." Ia menghembuskan napas, menatapku. "Tapi, aku tau Jaiden. Pikirannya nggak mungkin sedangkal itu."
Aku ingin memercayai perkataannya, tapi bagaimana jika Lauren benar? Maksudku, Lauren memiliki pengalaman yang luas, gelar dari universitas ternama, penampilan yang memukau (sudah jelas), dan hasil pekerjaannya lebih baik daripada aku. Kehadirannya di perusahaan ini sangatlah penting.
Sedangkan aku?
Tidak usah ditanya.