"Champs-Élysées"

"Don't you think its stupid?"

"What stupid?" jawab Dian sekenanya. Ia nampak sedang memainkan bunga dihadapannya.

"Kamu khan hamil..."

"Tapi kok malah ke Paris?"

"Padahal khan baru sampe Amsterdam..." cerocos Alex dengan wajah polos.

Dian tidak menjawab. Ia nampak sangat menikmati pemandangan Sungai Seine. Didepannya berdiri dengan gagah sebuah karya agung ciptaan Gustave Eiffel yang selesai dibangun pada tahun 1889. Pemandangan yang menakjubkan. Dian kemudian mengambil tempat duduk didepan taman air Place du Trocadero itu. Ia termenung takjub menyaksikan air mancur yang menari mengikuti alunan musik klasik Prancis.

"Kok ga ke Eiffel?" tanya pria itu kembali.

Mata Dian mengerjap. Terganggu oleh suara tidak penting itu. Namun ia tidak memperdulikannya. Berusaha fokus kembali menikmati air mancur. Sementara itu Alex hendak membuka mulutnya lagi. Namun kedewasaannya menyuruhnya untuk diam. Rasanya tak tega mengganggu Dian walau sejuta pertanyaan menggayuti benaknya.

"Emang ga masuk angin kalo maen aer? Khan hamil?" ujar Alex sepelan mungkin. Ia tidak tahan untuk bertanya.

************************

Semua terjadi begitu saja. Alex merasa tidak sanggup lagi menghadapi Sisca yang selalu mengamuk. Pagi itu ia disiram air dingin karena malamnya menyenggol kue pernikahan. Alex masih bisa menerima ketika kepalanya didorong. Tapi ia terpaksa memutuskan untuk tidak menikahi Sisca ketika ia diludahi. Memang hanya punggungnya. Tapi nanti apa lagi? Sampai kapan?

Akhirnya ia tegas mengatakan bahwa kalau ia tidak bisa menikahi Sisca. Sudah terlalu banyak kekerasan yang dilakukan Sisca. Tantrum dimanapun dan kapanpun. Seluruh barang pun selalu berterbangan.

Tindakan sepihak Alex itu membuat Sisca hilang kendali. Seluruh barang dibanting dan dilempar ke Alex. Bahkan ayahnya ikut campur dengan memukul dan menendangi Alex. Padahal badannya besar. Perkelahian pun terjadi. Hantaman Alex membuat ayah Sisca terpeleset dan tersungkur menabrak kaca. Ia pun harus dibawa kerumah sakit. Sisca histeris. Bu Yanti pingsan.

Kesalahan sepele akhirnya menjadi permasalahan yang tidak mungkin didamaikan lagi. Alex bahkan sempat dilaporkan ke Polisi setempat atas tindak penganiyaan yang dilakukan kepada ayah Sisca. Ridiculous. Batin Alex.

Saat itu Alex terduduk lemas di jok mobilnya beberapa jam setelah kejadian. Ia berada disuatu tempat antah berantah. Mungkin didaerah Pegangsaan Dua. Entahlah. Ia hanya ingin pergi. Tiba-tiba alunan lagu "Du Hast" terngiang dikepalanya.

Willst du bis der Tod euch scheidet. Treu ihr sein für alle tage? NEIN!

You hate me but you asked me to marry you?

To spend my whole life with you?

Till death do us apart?

God no! batin Alex sambil meraba wajahnya yang tidak berbentuk. Ia lalu menutupnya kembali dengan sapu tangan yang selalu dibawanya. Pipinya berdarah hebat.

Dian tidak bisa dihubungi. Ia satu-satunya tempat cerita Alex. Ia butuh Dian. Namun rumahnya di Tebet ternyata kosong. Sementara Bu Henny dan Nindya juga tidak mengetahui keberadaan Dian. Gadis itu sudah lama tidak ke Pondok Cabe kata mereka.

Alex bingung. Padahal ia ingin sekali bertemu dengan Dian. Setidaknya minta maaf karena telah berlaku kasar selama ini kepadanya. Setidaknya berbagi cerita dengan orang yang dikasihinya. Entahlah. Satu hal yang pasti, Alex butuh bertemu gadis itu.

Alex tahu kalau ia egois. Selama ini ia hanya berusaha menutupi perasaannya saja. Tidak ada yang boleh tahu kalau justru ia menyayangi Dian. Tidak ada yang boleh tahu terutama dirinya. Tapi ternyata Alex tidak bisa menyembunyikan perasaannya lebih lama lagi.

Pikiran yang berkecamuk itu tiba-tiba terhenti ketika ponselnya berbunyi. Menampilkan nomor yang membuat harapan Alex membuncah.

"Nindya?" batin Alex segera membuka pesan dari sahabat karib Dian itu.

"Dian ke Amsterdam mingdep. Skrg di Singapur. Jangan kasih tau kl aku yg blg"

Akhirnya Alex memutuskan untuk menyusul Dian. Menunggu kedatangannya hari ini. Alex merasa sangat beruntung melihat sosok Dian keluar dari bandara.

Alex ingin minta maaf. Ingin merajut kembali hubungan yang retak. Ingin mengejar kedamaian yang selama ini ia acuhkan. Ingin mendapatkan cinta yang selama ini tidak diakuinya. Mungkinkah?

Entahlah.

************************

Dari Place du Trocadero mereka berjalan menuju Champs-Élysées dengan menyusuri Avenue Kleber. Didepan mereka terlihat Arc de Triomphe. Sinar lampu malam menambah semarak kota Paris malam itu. Sangat indah.

"Err...uhm..."

Dian menggerutu dan menutup matanya dengan sebal. Suara annoying itu terdengar lagi.

"Bukannya harus belok ke Rue de Longchamp ya?" ujar Alex sambil melihat google maps.

Dian masih diam dan mengacuhkan Alex. Ia tetap berjalan didepan menyusuri jalan itu. Sesekali ia berhenti untuk duduk. Menarik napas dan menghirup udara malam Paris.

Kelihatannya Dian sangat menikmati malam ini. Ia juga nampak tidak memperdulikan kehadiran Alex yang masih terus mengikutinya.

Dalam benaknya hanya ada satu tujuan malam ini.

75 Avenue Champs-Élysées.

LADURÉE

Lima belas menit kemudian mereka sampai ditujuan. Dian segera mengambil ponselnya dan membuka internet. Ia nampak bersemangat membuka-buka halaman web toko itu. Matanya terlihat berbinar-binar.

Alex mengintip. Ternyata review para pengunjung di toko kue Laduree ini.

Apa enaknya sih. Batin Alex.

ROSE ISPAHAN

"Très bon et original."

SAUMON ECOSSAIS GRILL

"Les dessert sont très fins et à la hauteur de la réputation de Ladurée. Pour le côté restaurant assez décevant"

CROQUE MONSIEUR

"Well worth it! Piece from heaven! Very rich and cooked to perfection"

Dengan kalap wanita hamil itu menunjuk dan memesan seluruh makanan yang ada di foto website Laduree itu. Alex tersenyum. Lucu sekali melihat Dian seperti anak kecil ditoko mainan. Semuanya mau dibeli.

Rose Ispahan adalah kue almond. Ia memang terlihat cantik. Bentuknya sesuai dengan namanya. Mawar merah. Kue itu terlihat sangat lembut ketika Dian menyendoknya. Ia memejamkan mata ketika suapan pertama memasuki mulutnya. Tangan kirinya mengepal tanda kenikmatan tiada tara.

"Lebay amat" batin Alex.

Alex hanya memesan air mineral. Kue dan gula selalu membuatnya tambah lapar. Ia sudah melihat restoran steak didepan jalan. Ia tertarik kesana karena namanya bagus.

Le Relais de L'Entrecote

Selanjutnya Dian mengincar Croque yang menurut review sangat spektakuler. Ia menyuapnya sambil memejamkan mata. Lalu membuka matanya perlahan. Kemudian ia mengangguk-angguk puas. Lalu mengecap setiap remah yang terjatuh serta menjilat sendok sampai licin. Alex hanya menggelengkan kepalanya.

Tiba-tiba suasana menjadi hening.

Dian nampak sudah selesai. Ia meletakkan sendok makan itu dihadapannya. Lalu meneguk teh didepannya dengan perlahan. Kemudian ia membuang pandangannya keluar restoran. Matanya menatap nanar kedepan.

"Tidak semua harus logis..." ujarnya pelan.

"Kita memang tidak akan pernah cocok" ujarnya kembali sambil menundukkan wajahnya.

Alex diam. Ia memperhatikan Dian yang memainkan cangkir tehnya. Lalu terlihat dia menyisipkan rambutnya yang jatuh kedepan. Oh my God. Batin Alex. Ia terpana.

"Kamu yang selalu logis..."

"Sementara aku selalu mengikuti kata hati"

Alex tercenung. Memang benar. Selama ini Alex selalu bertindak menggunakan logika. Jarang mengikuti kata hati yang menurutnya tidak berdasar. Sementara Dian selalu mengikuti kata hatinya. Seandainya salah toh tetap ada pelajaran yang bisa diambil dan membuatku lebih dewasa. Begitu pembelaan Dian.

"Kamu kesini cuma mau ngabarin pernikahan kamu batal? Emangnya kenapa?

"Hubungannya apa sama aku?"

"Mau apa kamu?" cecar Dian.

Alex sontak terdiam seribu bahasa dengan pertanyaan Dian yang datang bertubi-tubi itu. Seperti biasa Alex hanya menunduk. Dengan kikuk ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Didepannya Dian nampak menunggu jawaban.

Kemudian tiba-tiba...

"Khan katanya ga semua harus logis" jawab Alex pelan sambil menunduk.

"Ya berarti kita cocok dong..." ujarnya kembali masih menunduk.

Tidak ada jawaban. Hening.

"Sayangku?" ujar Alex mengangkat muka.

Ternyata Dian sudah berada diluar.

Wanita hamil itu nampak sebal sekali.