Setelah motor mbak Sri yang membonceng ibu sudah lenyap dari pandangan, aku menutup rapat-rapat pintu rumah, jendela juga tak lupa ku cek. Setelahnya, aku duduk menunggu waktu Isya. Kutatap jam tua berwarna merah hati yang warnanya sudah kusam oleh waktu di dinding ruang tamu. Menunggu lima belas menit untuk mendengar suara Adzan saja rasanya sangat lama sekali.
Kenapa? Apakah aku bosan? Mungkin. Tapi, apa yang aku bosankan? Aku selalu begini dari dulu. Apa aku mulai membenci malam?
Tidak mungkin. Mana mungkin aku bisa benci. Mungkin aku kurang menyukai saja saat ini. Karena setiap malam rasa takut dan perasaan aneh selalu menjalari diriku. Hati, pikiran dan perasaan.
Tapi, aku harus menghadapinya sendiri. Aku tak punya teman selain sepi. Jika ramai, itu bukan teman yang datang. Melainkan masalah.
Setelah menunggu lama, akhirnya terdengar pula suara Adzan Isya yang berkumandang dari mushola yang letakknya tidak jauh dari tempatku. Kira-kira seratus meteran saja.
Dengan semangat aku bergegas menuju kamar yang kugunakan unutk sholat. Antara senang, tak akan ada lagi setan mengganggu karena mereka takut dengan suara Adzan, dan mumpung aku belum batal wudu.
Setelah melaksanakan kewajibanku, aku berniat mengaji. Mematuhi apa yang sudah ibuku katakana tadi. Dan… agar makhluk halus yang menghuni rumah kuno yang kutempati ini hilang. Baru beberapa ayat aku baca, aku sudah merasa tidak nyaman saja.
Tidak. Aku tidak merasakan ada yang meniup lagi belakang leherku. Aku juga tidak mendengar suara yang aneh. Tapi, suara meja ruang tamu seperti ada yang menggeser dan menggoyang-nggoyangkan.
Bukan hanya ngerti, aku yang memang menyukai soto ayam apalagi ada jeroan dan telur dari dalam ayam itu malah kepikiran gini, "Siapa yang mainan meja? Gimana tuh nanti kalau sotoku tumpah? Eman banget. Masih banyak itu. Kalau Cuma buat sarapan dan makan siang aku besok cukup banget, bahkan bisa sampai malam."
Otak kalau Cuma isi nasi tuh… ada enaknya juga. aku lupa kalau aku tinggal sendirian, jendela rumah dan pintu juga sudah aku kunci. Tapi, di otak malah mikirin soto takut tumpah. Habis, enak banget. 😅
Aku berusaha cuek, aku keraskan volemeku saat mengaji walau masih terbata-bata. Orang jawa nyebutnya blekak-blekuk dengan harapan dia pergi. Tak tahu, dia siapa. Yang jelas, dia bukan manusia.
Tapi, semakin aku keras mengaji, semakin keras pula suara meja digoyang-goyangkan. Puncaknya, aku mendengar suara benda dari kaca pecah. Suaranya sangat keras. Mengagetkan dan menekankan telinga.
Tapi, suara itu tidak berasal di dalam rumah. Aku sendiri juga tidak tahu di mana. Suaranya seperti di luar, antara di atas dan di bawah. Apa ini yang Namanya di awang-awang?
Seketika badanku rasanya bergidik dan kaku, kulit merinding seperti ayam yang baru saja dicabuti bulunya. Aku diam, menajamkan indra pendengaranku. Karena aku seperti mendengar suara desisan ular.
Kenapa harus ular? Rumahku sudah bersih. Apakah peneror itu masih tidak puas melempari aku bangkai ular besar kemarin, dan kini memasukkan ular hidup ke dalam rumahku?
Harusnya ini masih sore, baru jam tujuan malam. Tapi, suasana sudah seperti lewat tengah malam dan mencekam saja. Di jalan raya saja, biasanya masih terdengar suara anak band dari salah satu ruko yang disulap menjadi studio musik kecil itu. Kenapa sekarang juga sangat sepi. Padahal ini malam Sabtu. Yang tertangkap oleh teringaku malah suara aneh di depan kamar sholatku.
"sruugh…. Sruuugh…. Sruuugh…''
'Ini bukan suara suster ngesot, kan? Jika ular, pasti besar banget. Lalu, lewat mana?' batinku. Aku sangat ketakutan, bergerak saja rasanya gak berani. Walau hanya sekedar membetulkan posisi kaki yang sudah kesemutan.
Seletlahnya… suara anggin dari luar terdengar sangat kencang sekali. Selambu kamarku pun sampai tersibak. Aku takut, jika sosok di depan kamarku melihatku, dan melakukan hal buruk padaku. Namun, aku juga takut jika aku sampai melihat sosoknya yang menurutku pasti menyeramkan sekali.
Tapi, tunggu dulu. Ada yang aneh. Sekencang apapun angin di luar, kenapa selambu kamarku ikut tertiup? Lewat mana angin itu? Padahal pintu dan jendela juga sudah kututup rapat.
Hati dan badan rasanya sudah tak keruan saja. Dalam hati, aku terus membaca ayat kursi berharap semua itu segra berakhir.namun, tak ada tanda-tanda ini akan berakhir. Karena, walau ada angin yang kencang memainkan selambu, udara di sini sangat panas. Untuk meraih kertas buat kipasan aku tidak berani. Jangankan bergerak, menutup mata saja aku takut. Ya, takut saat mataku terbuka sosok itu langsung menampakkan wujudnya tepat di hadapanku. Aku tak akan kuat. Jantungku pasti akan bermasalah nanti.
Memang, jalan terbaik kali ini hanya diam, membiarkan hawa panas ini, dan menunggu makhluk di depanku itu pergi.
beberapa menit berlalu, tak ada lagi angin dan juga suara aneh seperti sosok ngesot dan desisam ular. Hanya temperatur udara panas saja yang rasanya kian meningkat. ingin rasanya melepas Milna satin yang kugunakan ini. Tapi, lagi-lagi rasa takut menghinggapi. Takut akan suaraku menjadikan dia yang mungkin menunggu ku tahu keberadaan ku.
Diam dan diam lagi ya g bisa kulakukan. berharap segera pagi. tak apa, jika aku nanti harus tidur di sini. Itu pun jika aku bisa tidur.
"Tok... tok... tok!!!"
Aku kembali terkejut. Ketika suasana hati sudah mulai tenang dan berdamai dengan apa yang baru saja menimpaku tiba-tiba terdengar suara pintu rumah diketuk dengan keras.
"Tok.... took... toook!"
Bahkan, suara ketukan itu kian keras saja. Tapi, aku diam. Aku takut itu hantu yang berusaha menggodaku lebih parah dari barusan.
Jika bukan hantu, aku takut itu orang jahat yang ingin melukaiku, Atau mungkin bapak tiriku yang ingin bernegosiasi dengan ibuku agar mau diajak rujuk dan menggunakan aku.
Aku diam tidak bergerak dan tak membuat suara apapun. Jika itu orang berniat jahat, agar berfikir kalau rumah ini kosong.
Namun, sepertinya ia tetap saja tidak menyerah. Ia tetap mengetuk pintu dengan kencang.
'Tenang, Suara! Tenang! Tetap diam dan bertahan dalam posisimu saat ini sampai dia pergi,' gumamku dalam hati.