WebNovelSUARA86.67%

PRASANGKA

"Loh… loh, loh Mas! Apa-apaan ini?" tanya gadis iyu dengan kedua mata terbelalak kaget.

"itu aku ganti uang kamu."

Suara bengong. Dia bingung bagaimana mereima uang dari Yoga, atau tidak. Sebab, dia juga butuh sekali uang itu. tapi, jika menrimanya, di mana haraga diri dirinya? Apakah setelah mengiayakan uang itu yang telah diberikan Yoga tidak berfikir buruk dan macam-macam tentan dirinya?

"Mas, tad ikan aku sudah bilang, aku yang mau bayar," jawabnya.

"Tapi, dalam sejarah hidupku, tidak ada Namanya Wanita harus bayar. Lalu, di mana letak harga diriku sebagai seorang pria? Masa ganteng doang harga diri gak ada?"

Suara tertawa mendnegar ucapan itu. terny, di balik sosok yang selalu jutek dan galak ini juga bisa humoris juga. "Ya sudah, aku terima. Tapi, tadi aku masih menerima kembalian dari nomilal uang yang sama. Maka… " Suara merogoh saku celananya dan hendak mengambil pecahan uang sebesar lima belas ribu itu untuk diberikan kepada Yoga.

Namun, Yoga dengan cepat menahan lengan gadis itu sebelum mengeluarkan uang dari dalam saku celanya.

"Kembalian berapa? Lima belas ribu diang? Sudahlah. Buat kamu saja. uang segitu, seenggaknya cukup, kan kalau untuk uang saku kamu selama sehari? Bukankah kamu pulang pergi naik bus atau angkutan, ya?"

Suara terdiam. 'Lima belas ribu untuk uang saku sehari? Hehehe, jika saja iya, aku akan merasa sangat senang sekali dan tak perlu menahan untuk tidak beli ini itu di saat pengen. Sayang sekali, kalau bisa, lima puluh ribu ini untuk selama tujuh hari ke depan, yang juga untuk uang makan saku dan biaya transportasiku,' batin Suara.

"Ya sudah, karena ini sudah siang, dan kau tak mau aku masuk ke rumahmu, aku pulang. see you hari Selasa, ya? Kamu jangan nakal-nakal lagi, ingat. Masalah kita masih belum selesai tadi!"

Yoga menghidupkan motornya. Suara motor sport yang cukup keras dan membuat telinga orang yang suka ketenangan merasa bising membuat Suara tersadar. Ia sejak tadi bengong terus.

"Mas Yoga! Terimakasih, ya!" serurnya.

Yoga mengacungkan ibu jarinya sambil tersenyum kemudian berlalu. Sementara Suara masih teteap bengong di tempatnya berdiri tadi. Sampai, mbak Narti menanti si pemilik rumah yang ia kontrak menyadarkan dirinya.

"Pacarnya, ya Dek?" tanyanya.

"Eh, bukan kok mbak. Dia itu kakak pelatihku. Tadi ada hal yang mau dibicarakan, jadi ya antar saya pulang," jawab gadis itu apa adanya.

"Oh… kakak platih nganter pake ada kasih uang segala, ya jaman sekarang? Memangnya nglatih apaan? Pencak beneran apa pencak… "

Suara tahu, mbak Narti sudah memiliki pikiran yang macem-macem. Tapi, dia kan masih berusia empat belas tahun. Mana mungkin akan berbuat seperti itu? tapi, mengingat jaman sekarang, anak-anak seumuran dirinya juga sudah pada pinter bikin anak. mempertanggungjawabkannya yang tidak bisa.

"Tadi itu, kamu beli bakso, pakai uang saya, dia gantiin. Kembaliannya suruh saya simpen!" jawab Suara jengkel.

"Oh, iya iya… beli bakso. Hehehe. Tapi, pcaran pun juga tidak apaapa. Lo dek Ara. Jaman sekarang kan sudah jamannya dan umum banget anak SMP punya pacar!"

Sepertinya memberi penjelasan pada orang yang terlanjur berburuk sangka, memang sama halnya dengan menggarami air laut. Tidak ada gunanya, sudahlah asin, kenapa dikasih garam? Gak dikasih garam juga sudah asin, kan?

Suara beranjak, hendak ke rumah kontrakan untuk meletakkan penatnya. Tapi, baru beberapa langkah, dari warung bakso yang juga milik mertua mbak Narti, terdengar seorang berbicara,

"Anaknya cantik gitu, masih SMP saja sudah body goal banget. Wajar, banyak cowok yang demen."

"Iya, apalagi dapat turunan dari emaknya, emaknya cantik, juga orang nakal. Jadi, wajar jika anaknya masih kecil sudah gak bener demi sejumblah uang."

Jantung Suara berdetak semakin kencang. Napasnya juga terasa sangat sesak. Tapi, untuk melabrak mereka yang berkata seenaknya juga bukanlah hal yang baik. Yang ada, mereka akan anggap dirinya gila. Tempat itu ramai orang. Tapi, yang membicarakannya hanya dua orang dan itupun berbisik-bisik. Jika Suara langsung datang melabrak… mereka berdua, si kakak beradik penjual bakso dan mie ayam juga tak aka nada yang ngaku.

Yang ada, malah mereka akang mengatai dirinya sebagai orang gila dan gak waras. Tidak ada pilihan memang selain segera berlari ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Lebih baik menangis sendirian, dari pada mengadu sama orang lain tapi hanya menerima ejekkan.

Tuhan, apakah seperti ini pandangan semua orang tentang anak seorang pelacur? Dipandang rendah dan dianggap melakukan hal serupa pula seperti yang ibunya lakukan? Tidakkah mereka tak pernah melihat dan buka mata kalau cara berpakianku selama ini selalu sopan? Walau ini kali. kedua aku diantarkan oleh laki-laki, tapi aku hanya berhenti di pinggir jalan dan tak pernah meminta mereka untuk masuk?

Suara terus menangis seorang diri tanpa mengeluarkan suara hingga ia lelah dan akhirnya terlelap. Baru terjaga sore hari. Itu pun ia dibangunkan oleh sebuah mimpi.

"Haaah! Lagi-lagi mimpi yang sama," ujarnya seorang diri. Dia tidak perlu membuka buku primbon seperti kebanyak orang setelah bermimpi. Sebab, dia sendiri juga sudah merupakan primbon berjlan untuk menafsirkan mipinya sendiri dan selalu tepat.

Namun, untuk mimpi orang lain, dia tidak berani untuk menafsirkannya. Karena, jalan kehidupan yang dia alami dan orang lain itu jelas berbda. Jadi… jika ada yang bercerita tentang mimi padanya, dia selalu no coment. Kecuali, itu mimpi yang umum dengan arti yang memang wajar. Digigir ular atau buaya lah misalnya. Jelas, itu menurut orang jawa itu ada kaitannya dengan jodoh. Namun, tidak jika menurut islam. Itu merupakan sebuah gangguan jin atau sihir.

Suara menoleh kea rah jam weker yang diletakkan di atas meja sebelah ranjang tidurnya. Waktu sudah menujukkan oukul tiga lewat dua puluh menit. Artinya, dia sudah tisur kurang lebih selama tihga jam an. Sayang sekali, jam berapa tadi dia tidur, dia juga tidak tahu. Ya, hanya bisa mengira-ngira saja.

Suara beranjak dengan cepat. Mengambil ikat rambut yang selalu ia letakkan di bawah bantal untuk menguncir asal rambut panjangnya yang ikal dan bergelombang. Buru-buru dia ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan membersihkan rumah. Setelah itu mandi dan mengerjakan sholat ashar.

Setelahnya, kembali dia teringat dengan mimpinya tadi. Dia tidak tahu harus senang atau sedih. Uang yang dia terima dari ibunya selama ini adalah uang haram dari menjual tubuh. Suara tahu tanpa ada satupun orang yang memberi tahu padanya. Bahkan, sejak awal, ibunya juga tidak pernah bercerita tenant pekerjaannya ini. Setiap kali pulang dan bercerita, dia selalu bling kalau bekerja di warung.