Bagian 5 : Pertama kali

"Eh, permisi" suara halusnya berasal dari Titan, dengan membawa beberapa buku siswa XI IPA 2.

"Eh, kenapa dek?" tanya Vana ramah.

"Bukunya kak Vana sama temen-temennya, dari Bu Indah. Sama, mau ngasih tahu, Bu Indah gak bisa hadir karena mau rawat anaknya di Rumah Sakit. Ini ada tugas dari Bu Indah" jelasnya halus sekali.

Tanpa sadar, 4 pasang mata menyorot ke arah pintu. Nafta, Brandy, Zeo dan siapa lagi kalau bukan Raksa. Matanya seakan-akan memperhatikan Titan dengan seksama.

"Adek lo bukan sih?" tanya Nafta, membuka suara setelah keempatnya hening.

"Iya"

-

"Kamu mau jelasin gak?" tanya Vana, niatnya untuk mempermudah.

"Enggak, Kak Vana aja. Malu" jawabnya sambil melihat-lihat sekeliling. Dan, menemukan sepasang mata. Milik, Raksa.

Sedikit terpaku, terjadi kontak mata antara mereka berdua. Tak saling senyum apalagi sapa. Mata Titan hanya menikmati betapa indah dan cokelatnya mata milik Raksa.

"Yaudah, makasih ya" ujar Vana, ramah.

Titan yang awalnya terdiam, kembali tersadar. Dan, memindahkan pandangan matanya ke Vana. "Oh iya sama-sama, Kak."

Setelah Titan pergi, Vana menerangkan apa yang diterangkan Titan mengenai tugas Bu Indah.

-

"Busettt, Bu Indah kalo ngasih tugas emang kagak suka ngira-ngira. Ya kali 75 soal isian selesai dalam 3 jam kayak gini. Gile lu Ndro" ujar Brandy, dengan diakhir logat film-film jaman dahulu.

"Makanya kerjain, kagak usah banyak omong" balas Raksa, singkat.

"Tuh Naf, kerjain" Brandy malah menunjukkan bahwa seolah-olah jawaban itu untuk Nafta, yang sedari tadi hanya diam saja.

"Lah bisa jadi gue. Zeo tuh Zeo. Semarang kan pinter-pinter. Hmm ceunah" kata Nafta dengan menunjuk Zeo, yang sudah menunduk dari tadi. Mengerjakan soal, bukan bermain HP.

"Sejak kapan lo ngomong ceunah. Ahahahaha parah lo" Raksa sedikit tersadar saat Nafta mengatakan kata-kata yang sebelumnya tak pernah Ia katakan.

"Gatau, gue diajarin Xena. Ya gak Xen?" jawab Nafta, sambil bertanya kepada Xena. Dengan suara keras, karena Xena jauh dari tempat duduknya.

"Apasih?" Xena bingung dengan apa yang dimaksud dengan Nafta, dan memutuskan untuk kembali mengerjakan bersama Vana.

"Xena aja nolak lo Naf ahahahahaha bener-bener kayaknya gak ada cewek yang mau sama lo" ujar Brandy, bercanda.

"Dih, lo belum liat gue aja kalo ndeketin adek kelas" gayanya sambil menepuk dadanya, 3 kali mungkin.

"Jangan adek gue" sambung Zeo singkat, dengan wajah memperingatkan.

"Emang adek lo udah ada yang punya?" tanya Nafta. Penasaran, rupanya.

"Belum sih. Tapi, jangan aja lah pokoknya. Ga yakin gue kalo dia akhirnya sama lo ahahahah. Kalo sama Raksa sih bisa." jelas Zeo, sambil memutar-mutar bolpoin di jarinya.

"Lah bisa gue" sinis Raksa, setelah mendengar namanya disebut.

"Gue setia kok" kata Brandy, langsung menyambung.

Lainnya pun tertawa, dengan nada tak percaya. Brandy, memang setia. Ia saja sudah ditinggalkan gebetannya sejak lama. Tapi masih saja bertahan. Cinta jatuh serumit itu.

-

"Oi, jajan lah ayok" ajak Zeo, setelah kurang lebih 2 menit terdengar bel istirahat.

"Lo tau gibeng ga Ze?" tanya Brandy, halus. Menengok ke arah Zeo, menghentikan menulis tugasnya. Nafta dan Raksa hanya memerhatikan saja.

"Gibeng? Apaan? Jajan?"

"Gibeng itu pukul" jelas Raksa, sambil menyengir melirik Brandy yang tak kuat menahan emosinya.

"Ohh ahahaha kagak dah kagak. Maapin ye" sontak ujar Zeo. Tak berani sepertinya.

Selesai mengerjakan tugas dari Bu Indah, mereka memutuskan untuk pergi ke kantin. Tapi tidak termasuk Raksa, ia lebih memilih untuk membawa bekal. Raksa hanya menghargai Bibinya, karena Bibinya yang selalu menyiapkan bekal Raksa tanpa diminta.

-

"Kak, permisi" suara itu lagi, Titan. Mengetuk pintu, sambil mencari kakak sepupunya.

Vana dan Xena ke kantin, yang lain tak peduli. Raksa yang sudah terlanjur menengok, terpaksa menghampiri.

"Kenapa?" tanyanya. Postur badan Raksa yang lebih tinggi dari Titan, membuat Titan untuk mendongak ke atas saat berbicara.

"Buat Kak Zeo" jawabnya, halus. Sambil menyodorkan sekotak makan.

"Oke" jawabnya singkat. Sambil menerima kotak makan yang telah diberi.

"Makasih ya kak" belum dijawab Raksa, Titan sudah pergi duluan.

-

"Ze, lo mau jajan apaan?" tanya Brandy, di ramainya kantin.

"Minum, adek gue bawain bekal kalo gak salah. Tapi gue gak bawa minum" jawabnya, tanpa menoleh.

"Eh gue mau beli mie goreng dulu wak" kata Nafta yang tiba-tiba masuk ke dalam kantin.

"Wak?" Brandy kebingungan.

-

"Vin, coba liat deh. Lagi-lagi Raksa gak ikut beli jajan. Kenapa ya dia?" tanya Aryl, setelah melihat 3 laki-laki secara tidak bersamaan.

"Itu siapa, baru?" tanya Zarin, sedikit menunjuk ke arah Zeo. Mengalihkan pembicaraan juga.

"Iya, dari Semarang katanya" jawab Aryl.

"Kenapa sih, kalian tu selalu ngobrolin cowok di kantin. Mending pesen makan deh, keburu abis. Kalian dapet cowo enggak, makan juga enggak" terang Irene yang sudah berada di ambang jendela pemesanan kantin.

"Lo tuh, aaahhh omayoo" kata Zarin, dengan logat lelah.

"Omayo paan dah?" tanya Lavina, heran.

"Omayo itu mayones tu loh" jawab Irene, sok tahu.

"Sotoy. Gue pake omayo buat pengganti kata astaga doang"

"Ribet banget buset idup lo" balas Aryl, sambil melirik Zarin.

-

"Raksa, mau lo beliin apa gitu gak?" tanya Zeo ke Nafta dan Brandy. Tepat, posisi mereka di belakang Aryl, Zarin, Lavina, dan Irene.

Keempat perempuan itu hanya diam, tak ada niatan untuk menoleh. Melirik, lebih tepatnya.

"Kagak. Kagak. Bibinya kalo bawa bekal, lengkap kok" terang Nafta, sambil mendorong badan Zeo agar segera melanjutkan jalannya.

Sontak, jawaban dari Nafta sempat membuat Lavina kaget.

Oh ternyata masih bawa bekal. Kebiasaannya memang gak pernah hilang. Menghargai bibinya.

Samar-samar pikiran Lavina, juga dengan senyum yang mulai mengembang.

"Bukannya Raksa suruh ngerahasiaiin ya, kalo dia bawa bekal? Kenapa lo malah ngomong di kantin yang ramai nan tidak indah itu?" kata Brandy, mengingatkan dengan sok puitis.

"O IYA PARAH GUE LUPA ANJIR!" kata Nafta, kaget. Hingga ia menapuk jidatnya sendiri. Benar-benar hilang akal.

"Wah, gue bilangin lo. Saa Nafta Saa" ujar Zeo, sambil sok memanggil Raksa.

"EHH DIAM WEH DIAM" masih panik, itulah Nafta.

"Diem aja lah ya wak, kalian. Tolonglah" pinta Nafta, dengan wajah memelas.

"Anjir ahahaha parah wajahnya "saake" banget ahahaah" kata Zeo, menempatkan bahasa jawa di kalimatnya. Membuat Brandy, penasaran.

"Saake?" pasti, siapa lagi kalau bukan Brandy yang tanya.

"Saake itu kasihan" jelasnya, sambil tertawa masih melihat wajah Nafta yang memelas.

"Eh, wak tolonglah"

"Dah diemin aja, diemin" Brandy, bukannya menanggapi malah menyuruh Zeo untuk mengacuhkan.

"MARAH YA GUE. TERSERAH LO BRAND. SERIUS GUE WAK" kata Nafta, sambil menghentikan langkahnya.

"Gak gak. Utukutuk cayang" Brandy langsung mencoba menenangkan Nafta, dengan sifat keibuannya.

Ketiganya melanjutkan jalan menuju kelas.

-

"Vin, telpon tuh" kata Irene, setelah merasakan mejanya bergetar karena dering handphone Lavina.

Lavina yang sedang memesan minum, "Siapa?"

"Vero" jawab Aryl.

"Angkatin dong, bilang aja gue lagi pesen minum" suruh Lavina, meminta tolong mungkin.

"Halo, Lavina lagi beli minum. Ntar ya" hanya itu, setelah itu telpon dimatikan oleh Irene.

"Irene sumpah yaampun bodoh banget" kata Zarin, dengan diakhiri gaya-gaya menangis.

"Kan Vina, cuma nyuruh gitu doang" jawabnya sambil menyeruput mie kuah miliknya.

"Ga gitu juga, maemunahhhh" jawab Aryl, dengan tertawa.

"Daripada ga diangkatin samsek?" sepele Irene, sambil menyeruput mienya. Kesekian kali.

"Shhtt, berisik-berisik" sela Lavina yang datang sambil membawa minuman Avocado Lava miliknya. "Vero bilang apa tadi?"

"Bilang apaan, orang si Irene aja cuma ngomong yang lo suruh. Habis itu telponnya dimatiin" bukan Irene yang menjawab, tapi Aryl.

"Sirik banget lo, heran gue"

"Yaudah-yaudah astaga. Diem aja, omayo" stress Lavina lama-lama, mendengarkan ocehan teman-temannya.

"Kenapa Vin, si Vero?" tanya Zarin, setelah semuanya terhenti.

"Biasa, pulang bareng. Dari kemarin gue marahan sama dia, gara-gara dia gak ada kabar. Gila kali ya, bisa-bisanya seharian penuh enggak ngabarin gue sama skali. Tiba-tiba cuma "MBB, habis main sama teman-teman" ewh dasar bulu domba." cerita Lavina, sambil sedikit menjelek-jelekkan Vero. Iya, sedikit.

"Dih, gebetan sendiri dibilang bulu domba, tapi enak tuh empuk" kata Aryl, disusul dengan tawaan Irene dan Zarin.

-

"Oi, Ze. Itu bekal lo dari adek lo, siapa namanya gue lupa" kata Raksa, menyambut kedatangan Vero dalam kelas.

"Titan, elah. Pelupa lo. Tua lo? Kena penyakitnya dory ya lo jangan-jangan" tebak Brandy, tidak masuk akal.

"Ya kan ngapain juga gue inget-inget namanya, Badron"

"Wah, bagus tuh. Badron. Ganti aja wak, nama lo" sambung Nafta, dengan tampang mengejek.

"Bagus apanya ah loe mah kagak aswik"

"Ngasihnya Titan, gimana ke lo?" tanya Zeo, sambil menjatuhkan pantatnya ke kursi di belakang Raksa.

"Males njelasin gue, yakin dah" balas Raksa, sambil mulutnya penuh dengan makanan yang baru saja disuap ke mulutnya.

"Yeu! Kimia!" ejek Zeo.

"Lah, apaan dah si Zeo. Kenapa nama Raksa bisa jadi Kimia anjir" kata Brandy, sambil tertawa. Nasinya, keluar sedikit sepertinya.

"Ah apasih, muncrat nasi lo. Hi, ntar rabies gue" Nafta, sok-sok membersihkan tangannya dari nasi yang menempel.

"Rabies, mbahmu" balas Brandy, datar.

"Ye kan, Raksa kan Kimia noh. Air Raksa. Kalian kan IPA, ya kali kagak paham" jelas Zeo, sambil menyuap sesendok nasi beserta lauk ke dalam mulutnya.

"Ohh ahahaha apasih gue gak kepikiran aenje" tawa Brandy, tak jelas.

"Aye" sambung Nafta.

"Lo apalagi kok tiba-tiba aye?" tanya Raksa, kaget.

"Lah tadi kan ..."

"Yaudah apapun jawabannya terserah lo. Makan aja makan" akhir Raksa.

Selamat menunggu

-Raksa