Part 4

Last Day of School.

Hiro baru saja sampai di sekolah sambil membawa tas kosongnya dan membuka lokernya untuk memindah semua barang di lokernya ke dalam tasnya.

Setelah selesai mengosongkan lokernya, Ia pun sadar bahwa Sharon daritadi memperhatikannya dengan ekspresi sedikit khawatir.

"Ada apa? Butuh bantuan untuk membereskan lokermu?" Tanya Hiro sambil menghampiri Sharon.

"Aku punya mimpi buruk tentangmu."  Kata Sharon sambil melanjutkan memasukkan semua barangnya ke dslam tasnya.

"Mimpi buruk tentang apa?"

"Aku, Han, Travis, dan Kai melanjutkan sekolah dan libur seperti biasa tanpa dirimu. Di mimpiku kau pergi jauh menghilang entah kemana. Lalu aku menerima surat bahwa beberapa keluarga Lee meninggal tapi aku lupa siapa nama mereka. Bisa jadi itu kau ataupun Kenzo ataupun kerabatmu yang lain. Karena itu aku khawatir." Kata Sharon yang baru selesai membereskan barang-barangnya.

"Jangan khawatir itu hanya mimpi. Apa lagi hal buruk yang bisa terjadi?" Tanya Hiro bersamaan dengan seorang anak yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke baju Sharon karena tersandung.

"Hei! Apa kau tidak punya mata?!" Kata Hiro marah pada anak itu sambil menarik kerahnya, karena sudah membuat baju Sharon basah.

"M-maaf."

"Sudahlah Hiro ini hanya baju, aku tinggal mengganti bajuku. Dia tidak sengaja. Tolong lepaskan dia. Jangan memukul anak-anak untuk hak sepele." Kata Sharon

"Ck! Jika kau melakukan kesalahan sama lagi, tamatlah riwayatmu." Hiro pun melepaskan kerah itu dan menyenggol bahu anak tersebut dan melangkah pergi. Sedangkan Sharon langsung pergi ke kamar mandi sambil membawa tasnya.

Ketika sampai di kelas Travis terus berbicara dengan Sharon. Sedangkan Hiro sedang sibuk berbicara dengan Han dan Kai mengenai turnamen yang diadakan malam ini.

Saat istirahat pun terlihat bahwa Sharon sedang berbincang dengan Travis sambil menunggu Travis mengambil makanan. Sedangkan Kai baru saja mengambil sumpit dan mangkok kecil di dekat mereka sambil sesekali bercanda dengan mereka berdua.

"Kau dan Hiro sedang perang dingin? Maksudku apakah kalian marah satu sama lain?" Tanya Kai kepada Sharon

"Tentu saja tidak." Potong Hiro yang tiba-tiba berada di belakang mereka.

"Jadi, bagaimana dengan liburan kalian besok? Apa yang ingin kalian lakukan selama liburan kenaikan kelas ini?" Tanya Sharon

"Berlatih untuk turnamen besar yang akan mendatang saat liburan ini." Kata Han

"Ya, turnamen itu adalah satu-satunya kesempatanku untuk meraih mimpiku." Ucap Hiro

"Anak-anak ini benar-benar berlatih keras untuk turnamen itu. Hiro pasti akan menang dalam turnamen itu." Kata Kai sambil merangkul Hiro dan Han.

"Bagaimana dengan turnamen untuk hari ini? Kalian ikut juga?"

"Tidak, aku dan Han tidak ikut. Kami lelah setelah rekreasi itu. Jadi kami lebih memilih untuk menonton saja. Travis dan Hiro saja yang akan ikut." Kata Kai

"Kalau begitu sampai jumpa di turnamen karena aku akan menonton kalian" Kata Sharon

Setelah makan siang, pengambilan raport kami dimulai. Aku sedikit khawatir dengan nilai raportku. Jika satupun nilai jelek, maka matilah aku. Namun setidaknya aku benar-benar lega karena pengambilan raport kami tidak perlu didampingi orang tua. Aku pun akhirnya mendapatkan nilai raportku dan membukanya untuk melihat nilainya. Nilai raportku lumayan bagus, jadi aku bisa hidup tenang untuk semntara waktu. Meskipun ketika aku sampai di rumah nanti orang tuaku pasti berkomentar ataupun marah karena aku tak bisa mendapat nilai sebagus kakakku. Aku, Sharon, Travis, Han, dan Kai menghabiskan beberapa menit untuk bercanda dan membandingkan nilai kami satu sama lain. Setelah itu Sharon langsung pulang dan kami bertiga pun memutuskan untuk langsung pergi ke club kung fu kami, sedangkan Travis memilih untuk menyusul kami.

***

Travis berjalan melewati anak-anak yang sedang berlatih kungfu.

Kemudian Ia masih saja melanjutkan langkahnya untuk menuju tempat latihan Hiro. Di sana Ia melihat Hiro sedang memakai baju hitamnya dan akan memulai latihan. Tetapi kedatangan Travis benar-benar membuat Hiro menoleh ke arahnya.

Hiro pun akhirnya berbicara sebentar dengan gurunya. Lalu berjalan pergi untuk menghampiri Travis.

"Ada apa?" Tanya Hiro

"Bisa ikut aku sebentar, untuk melatihku?" Tanya Travis

"Kau benar-benar serius dengan turnamennya, ya?" Tanya Hiro sambil mengikuti Travis

"Ya begitulah. Aku ingin menang." Kata Travis.

Beberapa menit pun sudah berlalu, mereka akhirnya sudah sampai di tempat yang dituju oleh Travis.

Sesampai di sana Travis langsung berlatih sendiri, sedangkan Hiro duduk tak jauh darinya.

"Kau benar-benar berlatih lebih serius dibandingkan aku."

"Aku ingin sekali memenangkan turnamen ini. Meskipun nantinya kita akan melawan satu sama lain. Tapi sepertinya aku tak akan bisa menang darimu." Kata Travis sambil menendang ke atas.

"Ck! Siapa bilang kau tak bisa menang dariku? Karena aku akan mengajarimu cara mengalahkanku." Kata Hiro sambil bangkit berdiri.

***

Turnamen pun dimulai, Hiro dan Travis mengalahkan lawannya dengan mudah. Sampai pada akhirnya mereka mendekati final. Hiro masih saja sibuk dengan lawan yang terus saja memukulinya dan Hiro tetap saja menangksinya dengan mudah dan menghindarinya sambil membatin.

Kalau aku menang nantinya aku melawan Travis dan aku tidak mungkin berpura pura kalah. Itu merendahkan harga diriku.

Tapi aku tidak bisa memukulnya dia adalah sahabatku.

Sial bagaimana ini?!

Cepat selesaikan dia Hiro!

Saat ini ada ayah yang sedang hadir disini! Ini kesempatanku untuk memenangkan piala bodoh ini dan mungkin dia akan bangga.

Tidak jangan beri aku harapan bodoh! Pak tua itu tidak akan berubah menjadi baik! Itu mustahil!

Benar... bagaimana jika dia tidak bangga? Aku hanya memenangkan piala-piala bodoh ini untuk sesuatu yang sia-sia.

Aku sudah cukup punya banyak piala. Aku ingin memberi Travis kesempatan.

Aghhhh sial!!!! Peduli setan!!!

Hiro langsung melompat ke arah lawannya dan menendang kepala lawannya sampai lawan tersebut terjatuh. Kemudian Hiro melompat ke arahnya sambil menyikut perutnya. Dan membantingnya. Kemudian Ia mengambil salah satu lengan lawannya. Lalu memukul lengan dan kaki lawan tersebut tanpa henti.

Semua orang terkejut melihat kebrutalan Hiro di dalam ring. Termasuk ayahnya. Hiro tetap tidak berhenti sampai wasitnya memisahkan Hiro dan menahan Hiro untuk tidak memukul lawannya lagi.

"Lepaskan dia!"

"Kau didiskualifikasi!"

Hironpun menatap lawannya yang kesakitan sebentar.

"Persiapan pertandingan pemain-pemain selanjutnya!"

Hiro hanya diam. Ia langsung melangkah pergi ke arah toilet tapi ayahnya langsung mencegatnya dengan tamparan keras di pipinya.

"Apa kau gila! Kau bisa dipenjara karena kebrutalanmu!"

"Apa kata kata orang nanti hah?! Ayah benar benar malu punya anak psikopat sepertimu!"

"Karena kebrutalanmu itu kau tidak bisa memenangkan piala itu kan?! Dasar anak tidak berguna!"

Ck!!! Sejak kapan dia peduli dengan pialanya?! Batin Hiro dengan tatapan murka kepada ayahnya.

Plak!

"Apa-apaan tatapan itu?! Kau mau memukul ayah? Kau mau jadi jagoan? Ayo pukul ayah seperti kau memukul lawanmu di ring itu anak sial!!!" Kata ayahnya sambil mengangkat tangannya, bersiap untuk menampar Hiro lagi tapi ayah Travis langsung menahan tangan ayah Hiro.

"Cukup sudah! Hentikan omong kosongmu! Dia hanya anak-anak. Mereka semua masih anak-anak. Jika kau terus saja kasar pada mereka, maka mereka akan berbuat yang lebih parah dari ini. Mereka hanya anak-anak yang hanya ingin untuk dimengerti, apakah itu terderngar sulit bagimu?! Kau tahu kenapa dia menjadi seperti ini? Itu karena kamu sendiri! Perlakukanmu yang kasar, ketidakadilanmu, penghakimanmu padanya selama ini menyakiti perasaannya sehingga dia harus mengeraskan hatinya dan menjadi kasar agar dia tak terluka lagi! Dia melampiaskan semua kemarahannya kepada yang lain. Kamu sebagai orang tua seharusnya mendidik mereka dengan baik, bukannya mendidik mereka dengan pukulan, dan teriakan yang tak pernah mereka lupakan. Apakah kau tidak melihat bahwa dia menderita seumur hidupnya. Kau terlalu buta jika kau tak bisa melihat itu. Jika kau bahkan tak bisa mengerti anakmu sendiri dan terus saja melakukan kekerasan padanya, maka dia tak akan pernah berubah. Dia tetap saja menjadi kasar hingga dia akan melakukan hal yang sama pada anaknya nanti. Dan siklus itu terus saja terulang tanpa henti. Apakah kau mau keturunannu seperti itu?"

"..."

"Aku tahu kau orang yang gila akan disiplin. Tapi bukan begini caranya. Dia bukanlah tipe anak yang ketika dikerasi akan menurut dan takut. Dia adalah tipe pejuang yang menginginkan kebebasan dan keadilan bagi dirinya."

"Ini bukan urusanmu, Joseph. Urus saja anakmu yang juga membuat masalah."

"Anakku tahu apa yang dia lakukan dan jika dia melakukan hal bodoh, aku takkan menggunakan kekerasan padanya. Karena aku akan membiarkannya. Aku ingin dia belajar dari kesalahannya sendiri."

Ayah Hiro sudah tak bisa berkata apa-apa lagi dan langsung pergi pulang meninggalkan mereka.

"Ayo anak anak aku ingin bicara pada kalian di limosinku, sekaligus mengantar kalian pulang. Aku tahu orang tua kalian tak menjemput kalian hati ini karena sibuk. Jadi aku ingin mengantar kalian pulang." Ucap Joseph sambil melangkah pergi menuju mobilnya. Anak-anak itu pun akhirnya juga mengikuti ayah Travis masuk ke mobilnya.

"Kau tidak marah?" Tanya Kai

"Tentu saja tidak. Kalian masih muda nikmati saja masa muda kalian. Berbuat hal bodoh adalah bagian dari menjadi dewasa. Tapi jangan sampai perbuatan bodoh itu kalian sesali nantinya. Karena ketika kalian berbuat bodoh, aku ingin kalian mengenangnya dan menjadikan pelajaran bagi kalian masing-masing ketika kalian sudah besar nanti. Aku pernah berbuat hal yang lebih parah dari kalian dulu."

Semuanya langsung terdiam mendengar perkataan ayah Travis.

"Hiro kau tidak apa-apa? Pukulan hook kanan ayahmu tadi benar benar keras. Pukulan itu akan menjadi lebam." Ucap Joseph sambil memegang pipi Hiro yang merah.

"Aku tidak apa-apa. Kejadian ini sudah sering aku alami." Ucap Hiro sambil memalingkan wajahnya.

"Hiro, aku tahu jika aku memandangmu dengan cara pandang saat ini. Kau yang paling banyak bersalah, tapi jika melihat masa lalumu. Kau sama sekali tak bersalah. Karena seumur hidupmu kau hanya mengenal kekerasan, ketidakadilan, penghakiman, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, kau mengeraskan hatimu, kau mengeraskan dirimu, kau kasar kepada semua orang yang berani denganmu. Yah, itu tidak salah karena kau sudah terlanjur seperti itu dan kau berhak marah pada dunia karena itu. Tapi tanpa kau sadari sikapmu tercatat bersalah dimata orang lain. Karena beberapa orang tidak peduli dengan masa lalu mereka, mereka menolak untuk mengerti, dan lebih memilih untuk menghakimi mereka atas apa yang mereka perbuat. Jika mau mengubahmu, maka kita harus mengubah akar yang membuatmu seperti ini. Orang tuamu harus berubah. Memang terdengar mustahil. Tapi bagiku tak ada cara lain lagi selain itu. Karena orang tua adalah guru yang terbaik bagi seorang anak."

"Jika yang lain tanya apa yang aku bicarakan bilang pada mereka bahwa aku menasehati kalian dengan ceramah tanpa henti." Ucap Joseph sambil tersenyum.

"Terimakasih Tuan Joseph."

***

Sesampai di rumah, Ia pun sedang melihat keluarganya sedang berpesta dengan kerabatnya. Dan Ia juga melihat sebagian besar barang-barang mereka sudah tidak ada.

"Ibu, untuk apa pesta ini? Dan kenapa para kerabat kita ada disini?" Tanya Hiro kepada ibunya.

"Tentu saja ini adalah pesta untuk berpesta karena kesuksesan ayah dan ibumu dalam mendapatkan pekerjaan di America juga. Kita semua akan pindah ke Hollow Lavador."

"Apa? Kami? Aku juga ikut?" Tanya Hiro

"Tentu saja, jika kau tak ikut bersama kami. Lalu siapa yang menjagamu?"

"Aku bisa tinggal dengan kakek. Aku tidak mau pergi." Kata Hiro

"Hiro! Suka atau tidak suka kau harus pergi! Karena kau sudah didaftarkan sekolah disana."

"Apa? Kenapa tidak bilang padaku sebelumnya? Kenapa mendadak sekali?"

"Semuanya datang secara mendadak. Lagipula kau juga sibuk sendiri. Hingga kami tak punya waktu untuk memberitahukannya padamu. Silahkan siapkan semua barang-barangmu. Besok kita akan berangkat." Kata ibunya dingin.

"Besok?! Tapi aku tidak bisa. Turnamennya dimulai beberapa pekan lagi. Aku harus mengikuti turnamen itu."

"Siapa yang peduli? Kau sudah mendapatkan piala banyak. Untuk apa mengoleksi piala turnamen? Kau juga sudah didiskualifikasi saat pertandingan tadi. Kau tak akan menang ketika mengikuti turnamen bodoh itu. Lagipula kau tak akan sukses. Nilai raportmu saja tidak sebagus Kenzo. Aku yakin kau tak akan sesukses dia saat di masa depan nanti. Sekolah yang benar, turnamen hanya membuang-buang waktumu. Anak sial."

"Aku bisa menggunakan uangku untuk turnamen itu dan akan tinggal disini beberapa pekan saja. Akan kuganti tiket pesawatnya dengan uangku."

"Tidak perlu karena kau akan berangkat besok."

Lagipula itu adalah uangku sendiri. Bukan uangmu. Aku mengumpulkannya selama bertahun-tahun. Aku layak menggunakannya. Lagipula semua uang itu bukan pemberian darimu. Kenapa kau selalu saja seenaknya sendiri berbuat sesuatu padaku?

"Aku sudah berlatih untuk turnamen ini! Biarkan aku mengikutinya!"

Prang!

Ayahnya langsung memukul Hiro dengan memukul kepalanya dengan botol anggur sampai pecah.

"Dasar anak tidak punya malu! Kau sudah memalukan keluargamu di depan banyak orang di turnamen tadi!"

"Kau pembawa sial! Untuk apa kau tetap disini kalau hanya setiap hari kau bertambah brutal?! Aku memindahkanmu supaya kau tak berteman dengan mereka yang selalu membawa masalah!"

Aku membencinya aku sangat membencinya hingga aku tidak bisa mengekspresikan kata kataku.

Aku membenci bajingan-bajingan itu.

Rasanya aku ingin membunuhnya.

Mereka selalu ikut campur!

Seharusnya mereka tidak perlu ikut campur.

Ini menyebalkan.

"Sekarang ganti bajumu dan jangan mengunci dirmu di kamar hingga mereka pulang! Kita mau berpesta, bukan mau tidur di kamar!" Kata ayahnya marah.

Hiro pun akhirnya bangkit berdiri sambil menuju tangga.

Jika aku sudah besar, aku berjanji tidak akan mau mengurus mereka. Kalau aku terpaksa merawat mereka, aku akan menaruh mereka di panti jompo. Lebih baik kakakku saja yang mengurus mereka. Kenzo lebih punya hutang budi kepada mereka. Sedangkan aku? Aku tak punya hutang budi apapun pada mereka. Aku juga tidak meminta untuk dilahirkan. Silahkan sebut aku anak durhaka atau semacamnya. Tapi itu jika kalian tidak mengetahui penderitaan apa yang aku alami.

Ya, memang benar aku sangat iri pada kakakku yang selalu disayang, dimanja, dipedulikan, dan diberi apapun yang dia inginkan tapi aku tak bisa membenci kakakku karena itu, aku hanya bisa membenci kepada mereka yang menyiksaku.

Aku tidak merasakan apapun saat ini. Lebih tepatnya mereka berpesta ria dan sibuk dengan bersenang-senang satu sama lain. Seolah-olah aku tak terlihat. Hal ini memang sudah biasa, tetapi kenapa aku berada disini? Untuk apa aku menghadiri acara bodoh yang terpaksa aku datangi karena ancaman orang tua berengsek hanya untuk menghadiri kecanggungan. Tak ada sepatah keluar dari mulutku. Aku hanya menyibukkan diriku dengan membaca novel di tangga. Sebenarnya apa yang kubaca sama sekali tak bisa kuingat di novel ini. Karena pikiranku sedang penuh.

Terkadang aku membenci Kenzo bukan karena aku iri, tapi karena dia seharusnya membelaku dan jika di dalam situasi ini dia malah bersenang-senang seolah-olah dia lupa bahwa aku ada di sana. Aku membencinya karena terkadang dia terlalu ikut campur urusanku. Sering kali di saat aku membutuhkan dia, dia pasti asik sendiri. Tapi di saat aku tak membutuhkannya, dia selalu saja datang kepadaku dan bicara omong kosong. Jika di rumah, suasana yang paling kusukai adalah tidak ada satupun di rumah. Aku bisa bebas sendirian melakukan apapun yang aku mau tanpa komentar. Rasanya menyenangkan menikmati kesendirian itu ketika berada di rumah.

Aku malas hidup di keluarga aneh seperti ini. Bukan karena aku introvert, hanya saja keluarga ini tidak cocok denganku. Coba saja jika mereka terbuka dan seperti teman-temanku, maka aku akan senang. Tapi nyatanya aku selalu dianggap tidak ada selama pesta ataupun acara keluarga seperti ini. Memuakkan, melihat mereka saja membuatku benci akan diriku dan membuatku ingin sendiri. Apalagi jika aku berada di tengah-tengah mereka.

Lagipula memangnya aku mau berbicara apa dengan mereka? Topik pembicaraan yang kusukai jelas berbeda dengan topik pembicaraan mereka. Pada dasarnya aku tak suka berbicara dengan satupun anggota keluarga. Karena jika aku salah bicara maka mereka akan membicarakanki dibelakangku. Jadi rasanya aku malas membuka mulut.

Sesudah seluruh kerabat mereka pulang. Ayahnya langsung menyeret Hiro dari tangga. Menyobek buku novelnya dan memukulinya dengan sabuk.

"Aku berharap kau tak pernah dilahirkan!"

Aku sendiri berharap tidak pernah dilahirkan.

"Kau selalu saja sibuk dengan duniamu sendiri. Aku menyuruhmu untuk turun dan menyambut para sepupumu tapi kau malah duduk di tangga sambil membaca novel yang tidak penting!" Kata ayahnya sambik masih mencambuki Hiro dengan sabuknya.

Mereka selalu saja menghakimi. Aku benci dihakimi.

"Kau marah karena kau terpaksa pindah jadi kau tak bisa mengikuti turnamen itu?!"

Aku marah bukan karena hal sepele.

"Kau tak akan sukses hanya dengan berlatih kungfu yang tidak berguna!"

Apakah mereka pernah memikirkan perasaanku?

"Belajarlah yang baik! Apa gunanya berlatih kungfu?! Kau tidak akan sukses! Kau mau jadi tukang pukul?!"

Rasanya seperti neraka di bumi.

"Ayo sini ayah yang menghajarmu biar ayah tahu seberapa mana kemampuanmu pengecut!" Kata ayahnya yang masih belum berhenti mencambuki Hiro dengan sabuk.

Aku berharap mati.

Rasanya ingin membela diriku tapi lidahku rasanya tak bisa bergerak. Karena jika aku melawan, maka aku hanya memperparah situasi dan mempersulit diriku sendiri. Itu sama saja dengan menyiksa diriku sendiri. Jadi aku diam. Rasanya memang sakit dipukul tapi mai bagaimana lagi? Luka fisik mudah disembuhkan tapi luka hati yang sulit.

Terkadang aku berfantasi bahwa aku akan ditabrak bus hingga koma, dan baru terbangun ketika orangtuaku sudah mati.

Ketika Hiro masih saja dipukuli, Ia tak sengaja melihat sebuah boneka kayu yang biasanya berekspresi datar, kini sedang tersenyum ke arahnya. Entah itu adalah ekspresi senang karena melihat Hiro menderita atau ekspresi sedang ingin berbuat jahat.

"Ayah hentikan! Dia anakmu! Kalian tak bisa terus-terusan menghakiminya!" Kata Kenzo

"Kenzo! Diam! Ayah sedang memberinya pelajaran!"

"Memberi pelajaran bukan dengan kekerasan." Kata Kenzo

"Dia telah mempermalukan ayah di hadapan semua orang!"

"Hiro masih anak-anak dia tidak tahu apa yanh dia lakukan. Tolong hentikan ini, sebaiknya kalian beristirahat karena ini sudah malam. Besok kita akan berangkat, lebih baik kita semua beristirahat." Kata Kenzo

"Baiklah, untuk saat ini kita lebih baik istirahat." Kata ayahnya sambil melangkah pergi menuju kamar beserta ibunya.

Hiro pun langsung pergi naik ke tangga dengan ekspresi marah yang Ia sembunyikan.

"Hiro jangan dengarkan perkataan mereka." Kata Kenzo pelan sambil berjalan Hiro. Hiro pun menghentikan langkahnya dan diam sejenak sambil menghembuskan nafas kasarnya.

"Mudah bagimu untuk mengatakannya, karena kau tak pernah merasakan apa yang selama ini aku rasakan, Kenzo! Aku membenci mereka sampai aku tak bisa mengekspresikan kata-kataku lagi! Kau tak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi diriku, karena kau selalu menjadi Kenzo yang disayang oleh mereka! Putera kebanggaan mereka. Sedangkan aku hanya nasib buruk bagi keluarga ini! Aku hanya anak sial bagi keluarga ini! Anak pembawa sial!" Kata Hiro sambil menurunkan suaranya agar orang tuanya tidak mendengarnya

"Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk-

"Tidak kau tak akan bisa! Kau tak bisa merubah kenyataannya! Kau tak bisa mengeluarkan sihir untuk merubah mereka menjadi baik! Dan semisalnya kau bisa. Luka itu masih akan terus membekas selamanya di hatiku. Mau sebanyak apapun kau membelaku. Perlakukan mereka tetap saja melukai dan membekas. Dan selama ini aku mempunyai dendam yang sangat banyak kepada mereka. Andai saja kau tahu bahwa betapa inginnya aku mati untuk mengakhiri penderitaan sialan ini."

"…"

"Aku tak bisa menjadi pintar seperti dirimu Kenzo. Aku bukanlah anak yang malas, aku sudah mencoba sebisaku. Tapi aku hanya tak punya motivasi untuk hidup dan aku tidak tahu kenapa hidup ini terjadi padaku. Setiap kali aku melihat benda-benda di sekitarku, aku akan selalu teringat pada memori yang tidak menyenangkan. Seperti saat aku melihat laptop milik siapapun itu maka aku akan mengingat saat aku masih kecil, laptop ibu rusak. Jadi aku mencoba memperbaikinya. Tapi dia malah menamparku dan berkata bahwa aku yang merusaknya dan menghambatnya untuk melakukan presentasi. Lalu saat dia pulang dari pekerjaannya, dia malah menyeretku dan mengunciku di gudang yang gelap selama sehari penuh tanpa memberiku makan."

"Aku membencinya sangat membencinya, padahal aku tidak berbuat sesuatu yang salah. Semenjak saat itu memutuskan untuk tidak peduli ataupun membantu mereka. Karena disaat aku ingin melakukan sesuatu untuk memperbaikinya, aku hanya membuatnya lebih buruk. Dan di dalam memoriku, otakku hanya menyimpan berbagai kenangan buruk. Bahkan kenangan menyenangkan dengan teman-temanku pun aku tidak ingat, sangking banyaknya kenangan buruk yang melahap habis kenangan yang menyenangkan. Aku bahkan tidak tahu dari satupun kebaikan mereka." Kata Hiro sambil mekangkah pergi meninggalkan Kenzo dan pergi ke arah kamarnya. Setelah masuk Ia pun mengunci pintu kamarnya dan langsung berbaring di tempat tidurnya.

Kepalaku sakit, rasanya seperti berputar-putar tanpa henti, punggungku sakit, pundakku terasa berat, perutku tidak enak, rasanya ingin mual, Rasanya aku ingin berbaring di kasur selamanya.

Apa tujuanku dilahirkan? Sudahlah aku lebih baik tidur sebentar baru mempersiapkan barang-barangku. Batin Hiro sambil memejamkan matanya.

Beberapa menit pun sudah berlalu. Suasana kamarnya sangat hening.

Tiba-tiba...

Tok... Tok... Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan pintu itu benar-benar membuat Hiro membuka matanya.

"Ck! Mengganggu saja." Gumam Hiro sambil memejamkan matanya lagi.

Tok... Tok... Tok... Tok...

Siapa sih? Malam-malam begini?!Mereka benar-benar mengganggu saja.  Batin Hiro sambil memejamkan mata.

"Kegelapan... akan tiba..."

Suara mayat itu terdengar di teoinga Hiro. Tetapi dia berusaha mennghiraukannya karena dia berfikir dia tak akan bisa membuka pintu kamarnya.

Cklek!

Suara kunci pintu yang yerbuka benar-benar membuat Hiro membuka matanya.

Kunci pintuku terbuka?! Bagaimana bisa?! Tidak ada orang lain selain aku disini yang bisa membuka kunci pintu itu?! Bagaimana pintuku bisa terbuka?! Siapa yang membukakannya?! Batin Hiro yang masih tidak memberanikan diri untuk melihat ke belakang.

Krieettt...

Suara pintu kamar yang Ia kunci terbuka dengan sendirinya. Dan Namun Hiro daritadi tetap tidak mau melihat ke belakang. Jadi dia kembali memejamkan matanya lagi. Meskipun jantungnya berdebar sangat kencang.

Dep... Dep... Dep... Dep... Dep.. Dep...

Suara langkah kaki itu makin mendekat dan makin mendekat ke arah Hiro.

"Berhati... jahat..."

Suara itu terdengar lagi kali ini suaranya lebih jelas.

Krakk! Suara pecahan gelas persis di bawah kasurnya terdengar terinjak.

Kemudian suara langkah kaki itu tidak terdengar lagi melainkan digantikan oleh suara hembusan nafas kini sangat terasa di telinga Hiro tapi Ia masih memejamkan matanya.

"Dia yang jahat... memilihmu..."

Bajingan! Pergilah! Aku tidak mau diganggu!

Tiba-tiba ponsel Hiro langsung berbunyi lumayan keras menandakan ada seseorang yang menelfonnya.

"Ooh, looks like another club banger

They better hang on when they throw this thang on."

Klotak! Bzzzzz...

"Get a lil' drink on, they gonna flip for this Akon shit."

Dug! Bzzzzz...

"You can bank on it. Pedicure, manicure, kitty-cat claws."

Hiro langsung berbalik dan hanya menemukan ponselnya yang sudah terjatuh sambil bergetar serta berdenging. Ia pun langsung mengangkat ponselnya.

"The way she climbs up and down them-

"Kai?" Tanya Hiro sambil menengok ke bawah kasurnya.

"Hiro, kau tak apa? Mereka memukulmu lagi?" Tanya Kai

"Sudah hal yang biasa kalau seperti itu, tapi kali ini mereka melakukan yang lebih buruk." Kata Hiro sambil membuka lemarinya dan memerika seluruh kamarnya.

"Mereka memotong kaki tanganmu?!"

"Bukan, bodoh. Mereka akan pindah ke Amerika bersama kakakku karena mereka mendapatkan pekerjaan yang-

"Itu berita bagus, kau jadi bebas!"

"Aku belum selesai. Aku juga dipaksa pindah kesana. Dan kami akan ke bandara besok. Sebagian barang-barangnya sudah dipindah ke sana oleh ayahku. Jadi mustahil untuk menundanya keberangkatan kami besok." Kata Hiro sambil mengunci kembali pintu kamarnya.

"Apa?! Itu tidak adil! Kau tidak sedang bercanda, kan?! Apa pindahnya tidak bisa ditunda lagi?! Setidaknya kalian pindah setelah turnamennya agar kita semua masih bisa menghabiskan waktu bersama! Kenapa mereka tak bilang dari awal?! Aku bahkan belum sempat memberikan salam perpisahan. Amerika adalah tempat yang jauh, mustahil aku bisa sering mengunjungimu! Kita akan berpisah selama waktu muda kita?! Itu tidak adil! Yang lain masih ingin berbuat hal bodoh bersamamu selagi kita masih sekolah!"

"Aku sudah bilang pada mereka aku tidak mau pindah, tapi mereka tak mendengarkanku."

"Setidaknya kita sudah membuat hal bodoh bersama sebelum kau pergi. Kau juga sudah memberikan hadiah perpisahan padaku, sahabatku."

"Kabari yang lain sekarang bahwa aku sudah tak ada besok. Aku tidak akan bisa bertemu kalian selama liburan ini. Aku sudah mempersiapkan barang barangku. Jangan beritahu Sharon tentang ini sekarang. Beritahu dia saat aku sudah pergi."

"Baiklah, akan kulakukan. Apakah ada yang kau butuhkan lagi?"

"Aku butuh foto foto kita dari kameramu."

"Akan kubuat salinannya terlebih dahulu dan temui aku jam 12 malam di atap rumahku. Orang tuaku sedang pergi jadi kita bebas melakukan apa pun. Aku dan yang lain akan ada disana juga. Jadi jangan sampai tidak datang. Hahahaha."

"Akan kuusahakan datang setelah orangtuaku tertidur. Dan setelah aku membereskan barang-barangku."

Tut!

***

Beberapa jam pun berlalu, Hiro menyelinap pergi lewat jendela rumahnya dan turun kebawah melintasi beberapa blok untuk pergi ke rumah Kai. Setelah beberapa lama berjalan, Ia pun akhirnya sampai di rumah Kai dan langsung naik ke atas atap.

Ketika sampai disana, Travis, Han, Kai, termasuk Sharon sudah berada disana.

"Kai... tadi aku kan bilang jangan beritahu dia." Bisik Hiro kepada Kai

"Maaf, tapi dia berhak tahu. Kasihan kalau Sharon tidak dapat melihatmu untuk yang terakhir kali." Bisik Kai

"Ada yang mau makan marshmallow bakar?" Tanya Travis sambil menyalakan api di kayu bakar dan mengeluarkan beberapa kantung marshmallow.

"Aku mau." Kata Han dan Kai sambil menghampiri Travis.

"Hiro, aku ingin bertanya kepadamu." Ucap Sharon

"Apa?" Tanya Hiro

"Jika kau suatu saat kau menjadi orang tua dan punya anak. Apa yang kau lakukan kepada anakmu jika anakmu berbuat kesalahan? Kau tidak akan melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan orang tuamu kepadamu kan? Aku harap kau tidak melakukannya karena jika kau melakukannya siklus ini akan selalu terjadi berulang ulang. Seperti siklus dendam tanpa akhir." Kata Sharon

Hiro seakan-akan terkejut akan perkataan Sharon, namun dia langsung menghembuskan nafas.

"Aku berjanji tidak akan melakukannya. Aku tidak akan menjadi tua bangka berengsek seperti mereka. Aku akan lebih menghargai anakku meskipun mereka menjadi anak yang kasar dan nakal seperti aku. Aku akan berusaha untuk mengerti."

"Baguslah aku percaya padamu."

"Hei apa yang kalian bicarakan?" Tanya Kai sambil menghampiri mereka.

"Tidak ada."

"Bagaimana jika disana aku tak mendapatkan teman?" Tanya Hiro sambil memakan marshmallownya.

"Jangan khawatir kita masih bisa menelfon satu sama lain. Telfon aku ketika kau sudah sampai disana." Kata Kai

"Ya! Kai benar, jangan lupa untuk sering menelfon kami ketika kau ada disana."

"Tentu saja."

"Tapi aku lebih khawatir pada perlakuan orang tuamu kepadamu." Kata Travis

"Travis benar. Apakah kau akan baik-baik saja bersama kedua iblis itu tanpa adanya kami yang menghiburmu?" Tanya Han

"Entahlah." Ucap Hiro

"Tapi sejahat apapun mereka kepadamu, jangan membunuh mereka. Karena kau akan terjerat hukum dan dipenjara yang membuatmu tak akan meraih mimpimu. Jika kau mau membalaskan dendam kepada mereka. Kau harus membuktikan bahwa dirimu sukses. Mereka pasti tidak bisa berkata-kata ketika melihatmu sukses." Kata Kai

Aku tidak bisa membunuh mereka, aku juga tidak bisa membalaskan dendamku kepada mereka, tetapi Kai mungkin benar pembalasan dendam yang terbaik adalah ketika aku sudah besar dan membuktikan bahwa anak yang selalu direndahkan ini bisa lebih sukses daripada mereka.

"Semua yang kau butuhkan ada di dalam tas ini. Kau hanya boleh membukanya ketika kau sampai di kota kecil bernama Hollow Lavador." Kata Han sambil menyerahkan tas lumayan besar itu kepada Hiro.

"Baiklah." Kata Hiro sambil menyimpannya di balik saku jaketnya.

"Hollow Lavador? Sepertinya kota kecil itu tidak terkenal hingga aku sendiri tak pernah mendengar soal kota itu." Kata Travis

"Mungkin kota itu terpencil." Ucap Kai

"Atau mungkin kota itu berhantu dan terkutuk? Aku pernah membaca artikel seseorang di internet tentang Hollow Lavador dan menyebutkan bahwa tempat itu berhantu dan tekutuk." Kata Han sambil tertawa.

"Jika temoat itu benar-benar berhantu dan terkutuk seharusnya tidak ada satupun orang yang sudi tinggal di sana. Ayolah ini abad ke 20. Aku tak percaya adanya hantu. Lagipula hantu itu tidak ada. Orang yang menulis artikel bohong itu seharusnya berlatih menulis artikel tentang kebohongan lebih baik lagi." Kata Kai

Tidak ada ya? Batin Hiro sambil memakan marshmallownya.

Sesudah perpisahan dengan teman-temannya Hiro pun pulang dan masuk lewat jendela kamarnya. Lalu Ia langsung menaruh tas kecil yang diberikan dari Han ke dalam kopernya. Kemudian Hiro teringat dengan kunci yang Ia temukan di hutan beberapa hari yang lalu. Ia pun langsung mengambil kunci itu dan memasangkan tali pada benda itu dan menjadikan kalung yang akhirnya Ia pakai agar Ia tak kehilangan kalung itu. Siapa tahu dia bisa saja membutuhkan kalung itu.

***

Keesokan hari pun dimulai. Yaitu hari terakhir mereka di Beijing. Mereka sudah bersiap-siap seperti membawa beberapa koper ke bagasi mobil. Setelah Hiro memasukkan beberapa barangnya di mobil, Ia pun langsung duduk sendirian di bagian belakang mobil sambil memandangi pemandangan kota Beijing untuk yang terakhir kalinya dari jendela mobil. Kai berada tak jauh darinya sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Senyum perpisahan. Sebelum akhirnya mobil mereka melaju, meninggalkan semua kenangan lama. Hiro terus-terusan memandangi pemandangan dari jendela mobil sampai akhirnya Ia tertidur pulas hingga Ia sampai di bandara.

Beberapa jam pun berlalu dan kini mereka sudah berada di dalam pesawat. Kenzo dan orang tuanya sedang tertidur pulas. Hanya Hiro satu-satunya orang yang terjaga sambil memandangi pemandangan di bawah dan berbagai awan dari pesawat sambil menulis sebuah cerita. Cerita yang baru saja Ia tulis mengenai kehidupannya.