Part 9

Hanya dalam beberapa hari saja, Hiro sudah kembali ke Hollow Lavador subuh ini, diantar oleh sopir Phillip. Sedangkan, Zane, Phillip, Miles, Rocky, dan Daniel masih berada di Los Angeles untuk urusan mereka. Kenapa Hiro tidak menetap di LA saja? Itu karena hari pertama sekolahnya dimulai hari ini. Yup, Hiro sudah malas untuk masuk di hari pertama sekolah. Dia hanya ingin kembali ke sekolah lamanya dulu. Dia rindu club kungfunya, dia rindu teman-teman lamanya. Ditambah lagi, dia kini tinggal di rumah sendirian, orang tua dan kakaknya mungkin akan kembali beberapa hari lagi. Dia pasti akan sangat kesepian tanpa teman-temannya yang biasa menemaninya di Hollow Lavador. Apalagi cuaca pagi yang mendung, dan daerah jalan menuju sekolah yang sepi membuatnya sedikit merinding mengingat mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya setiap kali dia tidur. Karena itu, Ia pun memutuskan untuk menelfon teman-teman lamanya agar mengurangi rasa paranoidnya, sambil berjalan serta menyandang tasnya untuk berangkat ke sekolah di pagi yang mendung, dingin, ditambah dengan jalanan yang kotor beserta beberapa pohon yang sudah mati disana.

"Apa kabar, bung?" Tanya Travis dari balik telefon.

"Hiro! Aku kira kau sudah mati karena tak mengirimkanku kabar sekian lamanya?" Canda Kai

"Ada apa, bos?" Kata Han

"Sudah lama, ya? Kau baik-baik saja?" Tanya Sharon

"Tidak ada, hanya ingin menanyakan kabar kalian." Kata Hiro yang saat ini memakai hoodie, jeans, dan sepatu hitam sambil terus mengambil langkah untuk berjalan melewati rumah-rumah yang sedikit menyeramkan yang berada di sana.

"Kabarku baik, tak terlalu banyak yang berubah. Hampir semuanya seperti dulu disini." Kata Travis

"Hanya saja Kai mengambil semua posisimu disini." Kata Han

"Maaf, aku tak memberitahukan ini kepadamu sebelumnya. Kau tak keberatan, kan?" Tanya Kai

"Tidak sama sekali, aku senang kau yang mengambil posisiku dan mempertahankannya." Jawab Hiro

"Tapi, bagaimana dengan mimpimu? Bukannya kau mau menguasai seni bela diri sabuk hitam?" Tanya Sharon

"Entahlah, saat aku disini… ada banyak impian yang kucapai. Terutama saat bersama teman-temanku yang disini seperti Zane yang menjadi actor sukses atau seperti Phillip sang pengusaha atau mungkin ikut dalam band seperti Rocky, Louise, Miles, dan Daniel. Entahlah, ada banyak hal yang ingin kucapai."

"Apapun itu aku berharap yang terbaik untukmu Hiro, asal kau bahagia dengan pilihanmu." Kata Sharon

"Wuhohohohoho, pasangan burung lovebird sedang pacaran!" Kata Kai

"Aku tunggu undangannya pernikahannya!" Kata Travis

"Sialan! Mau kupukul kalian, hah?!"

"Kemari! Terbanglah ke China dan pukul kami, hahahahahaha!" Kata Kai dan Travis disertai tawa Han.

"Tapi, ada hal apa sampai kau menelfon kami?" Tanya Han yang terdengar masih saja tertawa dari balik telefon.

"Sebenarnya kota ini sangat menyeramkan, ditambah lagi jalan yang sekarang. Silahkan anggap aku gila atau apa, tapi aku melihat hal yang seharusnya orang lain tidak lihat."

"Kau melihat film porno?" Tanya Kai sambil tertawa.

"Sialan! Bukan itu bego! Yang kumaksud adalah makhluk mistis dan gaib seperti jiwa mengerikan orang yang sudah meninggal atau makhluk lain. Ditambah lagi jalan menuju hari pertama sekolahku terasa menyeramkan." Kata Hiro

"Pffftttt, aku tak percaya. Kau pasti membual." Kata Kai sambil tertawa.

Hiro langsung memberhentikan langkahnya dan mengambil beberapa potret di jalan menuju skeolahnya yang sepi meskipun berbagai perumahan ada di sana, tapi beberapa rumah terlihat usang. Setelah itu, Ia mengirimkannya salah satu foto  rumah yang kelihatannya tidak terlalu terawat dengan satu seluncuran kecil dengan halaman yang terlihat kotor kepada teman-temannya.

"Tidak percaya, huh? Aku bukan tipe orang yang suka membual untuk mempermalukan diriku sendiri."

"Kau terlalu paranoid, memang kotamu terlihat menyeramkan. Tapi cobalah berfikir positif." Kata Han

"Bagaimana aku bisa berfikir positif kalau aku dikejar oleh makhluk-makhluk menyeramkan itu bekali-kali?" Balas Hiro

"Jeezz! Menyeramkan sekali. Jika aku jadi kamu, mungkin aku lebih baik sekolah di selokan." Canda Kai

"Aku tahu! Ditambah lagi dengan hutan dan kastil yang menyeramkan." Kata Travis

"Kastil apa?" Tanya Sharon

"Kastil milik keluarga Agravain, aku mencarinya di internet tentang kota Hiro, memang beberapa orang bilang daerah itu berhantu. Apalagi jalan menuju kastilnya terlihat horror." Kata Travis

"Dimana keluarga itu sekarang, apa mereka tinggal disana?" Tanya Sharon

"Ada yang bilang mereka sudah mati, ada yang bilang mereka menghilang. Tapi yang pasti tidak semua dari mereka sudah mati, karena ada salah satu keturunan mereka yag membayar pajak tanah mereka sampai saat ini. Yang jelas salah satu keturunan Agravain itu tidak tinggal disana." Kata Travis

"Niat sekali kamu mencarinya sampai sedetail itu?" Kata Kai

"Informasi yang kucari tidak terlalu detail, itu hanya sebagian kecilnya saja." Kata Travis

"Kenapa kau tak bertanya pada mereka saja, Hiro?" Tanya Han

"Mereka siapa?' Tanya Hiro

"Mereka, ya tentu saja penduduk disana atau teman-temanmu yang kau bilang tinggal disana?" Kata Kai

"Satu-satunya temanku yang paling banyak mengetahui kota ini adalah Zane, karena dia berasal darisini dan tinggal disini selama beberapa tahun. Tapi, dia bilang akan menceritakannya saat malam Halloween. Kalau penduduk disini… aku tak yakin. Karena Zane bilang penduduk disini sedikit tidak waras dan sinting. Mereka sedikit senditif pada pendatang baru seperi aku. Aku tentu saja mempercayainya, karena saat pertama kali aku keluar rumah, para tetangga menatapku dengan pandangan aneh. Belum lagi, aku berurusan dengan gang Caesar di kota ini, aku tak bisa mengalahkannya begitu saja karena ayahku akan membunuhku jika aku ketahuan terlibat dalam perkelahian atau masalah." Jelas Hiro

"Dimana teman-temanmu sekarang? Apa mereka tak pernah bergaul dengan penduduk disini?" Tanya Sharon

"Mereka semua di Los Angeles untuk bekerja. Jadi, aku sendirian di kota ini untuk beberapa hari karena kakak sialan dan orang tua bajinganku tidak ada di rumah. Setidaknya, dikejar makhluk-makhluk itu lebih baik daripada dihadapkan oleh monster sesungguhnya yang tak lain adalah orang tuaku." Kata Hiro

"Oh iya! Aku harus pergi, aku sudah sampai ke gedung sekolah. Ditambah lagi, gang Caesar berada tidak jauh dariku." Kata Hiro yang langsung menutup ponselnya.

Mereka tak terlalu percaya atau menganggap ucapanku serius tentang melihat makhluk itu.

Setelah itu, Ia memasuki gedung sekolahnya yang disana sudah terdapat adik-adik kelasnya sedang asik bermain di berbagai wahana taman bermain yang sudah usang. Bahkan beberapa dari wahana iu sudah rusak. Ia juga melihat ada pesawat tua terbengkalai dengan tulisan pilok di badan pesawatnya, dan di atas pesawat itu, ada beberapa anak sedang berdiri di atas sana.

Hiro langsung melanjutkan langkahnya mendekati gedung sekolah itu, sambil melihat ke bagian-bagian jendela gedung sekolah itu. Dari atas gedung sekolah terdapat beberapa jendela kelas yang terbuka, terdapat beberapa siswa yang sedang berbincang-bincang dan bergurau. Tiba-tiba pandangan Hiro berubah menjadi terkejut, ketika dia melihat ke salah satu jendela kelas yang terbuka, menampakkan salah satu anak kecil perempuan sedang tersenyum ke arahnya. Satu anak kecil di sebelahnya sedang menatap ke arahnya dengan ekspresi datar, dan diantara kedua anak kecil itu terdapat seorang wanita dengan tubuh hitam pekat seperti korban kebakaran, dan mata putihnya melotot ke arah Hiro yang membuat Hiro tak bisa mengalihkan pandnagannya terhadap penampakan itu.

Tiba-tiba datanglah seorang remaja senior berambut pirang kecoklatan yang langsung menubruk Hiro dengan sengaja sampai Ia terjatuh, orang itu tak lain adalah Caesar. Hiro pun langsung bangkit, dan berusaha sabar.

"Pecundang!" Kata Caesar sambil meninju pipi Hiro. Tubuhnya tetap berdiri meskipun Ia menerima pukulan hook kanan yang keras itu yang membuat Caesar langsung terkejut, karena biasa setiap anak yang menerima pukulan hook kanan langsung terjatuh. Apalaagi seorang adik kelas seperti Hiro yang tubuhnya lebih kecil daripadanya. Hiro pun langsung menghela nafas pasrah, dan berjalan pergi menuju kelasnya dan tak menghiraukan Caesar yang mengancamnya seolah-olah hook kanan itu tidak menyakitkan sama sekali karena dirinya sudah biasa menerima pukulan.

Sesampai di kelas, Ia langsung disambut oleh tatapan beberapa anak di kelasnya yang menatapnya dengan aneh. Hiro pun mencoba tidak mempedulikan mereka, dan duduk di salah satu kursi kosong di sana. Tapi, baru saja Ia meletakkan tasnya, perhatiannya langsung teralihkan ke sebuah kursi di depannya yang sedang di duduki oleh seorang anak di depannya bertuliskan "Disini terletak pikiran yang tersiksa dari para remaja yang nilai dan nilai ujiannya lebih dihargai daripada kebahagiaan mereka."

Tepat pada saat itu, wali kelas mereka masuk dan langsung mengajar pelajaran sejarah yang membosankan. Bahkan guru itu tidak menyuruh murid-muridnya memperkenalkan diri di hari pertama masuk sekolah. Ditambah lagi, setelah Ia mengajar pelajaran sejarah yang banyak dan membosankan, Ia langsung memberikan murid-murid yang berada di sana sebuah latihan soal di hari pertama sekolah. Hiro sudah merasa sekolah ini adalah sekolah yang terburuk di dunia, karena di hari pertama sekolah yang buruk ini, Ia sudah merasa tidak niat bersekolah lagi dengan berbagai kesialan yang Ia dapat. Tepat setelah Ia dan murid-murid lain menyelesaikan latihan soal dan mengumpulkannya ke depan. Guru sejarah sekaligus wali kelasnya itu langsung menilai latihan soal mereka. Dan, Hiro mendapatkan nilai tertinggi di sekolah. Hiro sebetulnya tidak terlalu peduli dengan nilainya lagi, karena itu Ia hanya acuh tak acuh dan makin malas sehingga dia kini memilih mengeluarkan buku novelnya dari dalam tas, lalu membacanya diam-diam. Tak lama kemudian, Ia mulai mengantuk sehingga Ia meletakkan buku tersebut di atas mejanya. Lalu, Ia memejamkan matanya sekilas dan membukanya lagi sambil menengok ke langit-langit kelas di belakangnya. Ia baru saja bahwa di langit-langit kelas itu, terdapat salah satu plafon kotak yang hilang sehingga langit-langit kelas itu nampak berlubang.

Ia pun mengusap matanya yang kini mengantuk itu. Kemudian, sekilas Ia melihat ke depan wali kelasnya yang sedang menuliskan materi baru di papan tulis. Setelah itu, Ia menatap ke salah satu plaffon yang hilang tadi, dan Ia langsung membulatkan matanya ketika Ia melihat seorang wanita berambut panjang dengan kulit yang sangat pucat serta matanya yang bulat kehitaman menatap ke arahnya, seakan-akan Ia akan merangkak keluar dari atas sana.

"Hiro!" Panggil gurunya yang langsung mengagetkan Hiro hingga hampir terjatuh dari kursinya.

"I-iya, ada pak?" Kata Hiro sambil menoleh kembali ke arah depan dan menatap gurunya itu.

"Bisa tolong bawakan berkas ini, ke ruang guru? Aku ingin kau memasukkannya di suatu lemari dengan tulisan semua berkas harus ditandatangani." Kata guru sejarah yang sekaligus wali kelasnya itu sambil meletakkan berkasnya ke depan mejanya.

"Baik, pak." Ucap Hiro dengan cepat sambil berjalan ke depan dan mengambil berkas tersebut dan langsung melangkah keluar dari kelas sampai Ia lupa menanyakan dimana letak ruang guru sangking merindingnya dengan penampakan yang Ia lihat tadi.

Sambil terus memegangi setumpuk berkas itu, Hiro pun akhirnya bejalan mengelilingi gedung sekolah itu untuk mencari ruang guru tersebut hingga tibalah Ia ke lantai gedung sekolah paling bawah. Ruangan itu ternyata adalah gudang sekolah yang kotor, tidak terawatt, lumayan gelap, dan ada tulisan besar di beberapa dinding dan alas ruangan itu bertuliskan "Tolong bangunlah, kau mengalami mimpi buruk lagi."

Hiro sudah merinding melihat hal ruangan itu, ketika Ia baru saja mau berbalik pergi, Ia langsung dikejutkan oleh Caesar yang sudah berada di depannya. Dengan cepat Caesar melayangkan tinjuan-tinjuannya, tapi Hiro dengan gesit menghindari serangannya dan langsung pergi berlari sambil masih membawa setumpuk berkas tersebut. Setelah berlari cukup jauh, Ia kini terus berjalan entah menuju ke ruangan apa. Saat ini Ia tiba, di sebuah koridor ruangan kotor serta sangat tidak terawat yang penuh dengan bekas coretan pilok, air yang sedikit menggenang di seluruh keramik lantai. Disana, juga terdapat beberapa bagian dari banguan tersebut yang terlepas tergeletak di seluruh koridor beserta cairan hitan yang menggenang di beberapa tempat. Seakan-akan koridor tersebut sudah dihancurkan dan belum diperbaiki selama bertahun-tahun. Tiba-tiba pintu yang berada di depannya terbuka sedikit.

Hiro pun langsung terpatung menatap pintu itu, hingga seorang kakek tua petugas sekolah memegang pundak Hiro yang lantas membuat Hiro menoleh ke belakang.

"Kau tak seharusnya berada disini, bel sekolah sudah berbunyi daritadi." Kata kakek tua itu.

"Maaf, tapi aku tersesat. Aku sedang mencari ruang guru tapi aku tak menemukannya. Aku harus mengumpulkan berkas ini ke ruang guru." Kata Hiro yang masih memegang setumpuk berkas itu.

"Kau pasti baru disini, hingga tersesat, ya? Mari ikuti aku. Akan kuantar kau ke ruang guru." Kata petugas kebersihan itu sambil memutar tubuh dan melangkah pergi.

Hiro pun langsung mengikuti langkah petugas tersebut hingga tak lama kemudian mereka tiba di ruang guru yang sangat sepi dan sama sekali tidak ada orang disana dengan berbagai berkas dan computer yang dibiarkan masih menyala. Kakek petugas kebersihan itu langsung melangkah pergi meninggalkan Hiro di ruangan itu sendirian. Ia pun menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari emari bertuliskan semua file harus ditandatangani. Pandangannya malah teralihkan kepada sebuah lukisan menyeramkan, di lukisan tersebut terdapat beberapa orang sedang duduk berkumpul seperti sedang menatap ke atas dengan pakaian formal mereka, namun wajah mereka berwarna putih tak bermata, tak memiliki hidung dan mulut yang jelas.

Tak lama setelah Ia mengamati lukisan itu sebentar, Hiro pun akhirnya menemukan sebuah lemari yang tertempel sebuah kertas bertuliskan "Semua berkas harus ditandangani." Karena jarak lemari tersebut tak terlalu jauh, Ia pun segera mendekati lemari tersebut. Tetapi nyalinya menciut untuk membuka lemari itu ketika Ia melihat ada sebuah lubang di atas langit-langit ruangan tersebut, dan terdapat sosok yang mengintipnya dengan rambut panjang hitamnya serta wajah yang pucat disertai mata bulat kehitaman yang Ia lihat saat di ruang kelasnya tadi.

Tak lama setelah mereka saling menatap, sosok wanita itu mengulurkan tangannya yang pucat pasi itu ke bawah yang lantas membuat Hiro mundur beberapa langkah. Tiba-tiba pintu ruangan tersebut terbuka dan menampakkan wali kelasnya, Mr. Frank berjalan memasuki ruang guru tersebut.

"Kenapa kamu baru disini? Dan kenapa kamu tidak kembali ke kelas?" Tany guru sejarahnya itu.

"Saya sedikit tersesat dalam mencari ruangan ini tadi, tapi aku sudah menemukannya berkat bantuan kakek petugas kebersihan sekolah yang mengantarkanku." Kata Hiro sambil langsung menaruh berkat tersebut ke dalam lemari dengan cepat.

"Hah? Kakek petugas kebersihan?"

"Iya, apa ada yang salah? Saya bertemu dengannya di salah satu koridor sekolah ini yang hancur." Jawab Hiro

"Kami tidak memperkerjakan orang yang lanjut usia menjadi petugas kebersihan disini." Kata Mr. Frank

"A-apa? Lalu yang tadi mengantarku itu siapa?" Tanya Hiro tak pecaya.

"Jangan membual, nak. Lebih baik kau segera ambil tas dan bukumu yang masih tertinggal di meja kelas dan segeralah pulang." Kata Mr. Frank

Hiro pun langsung keluar dari ruangan itu, dan berjalan kembali menuju ruang kelasnya.

"Kai benar, lebih baik aku sekolah di selokan daripada disini." Gumam Hiro sambil melangkah menuju kelas.

Sesampai di kelas yang kosong itu, Hiro sedikit kaget karena semua meja dan kursi di ruang kelasnya berantakan bahkan di pojok belakang ada meja yang dinaikkan ke meja lain, lalu ditumpuk oleh satu kursi diatasnya. Hiro pun memilih untuk tidak peduli dan membenarkan meja dan kursinya yang ikut berantakan. Setelah itu, Ia pun kembali ke bangkunya untuk memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tasnya. Dan Ia pun mengambil buku novelnya yang entah sejak kapan sudah terjatuh di bawah meja tersebut. Kemudian, Ia menemukan sebuah kertas dengan tulisan "Hai, aku rasa kita belum pernah bertemu, tetapi berdasarkan literature pilihan anda, aku pikir kami akan berteman baik :)"

"Apa-apaan ini? Siapa sih anak-anak yang iseng seperti ini? Sudah jelas-jelas kalau berteman denganku dia pasti terlibat masalah dengan Caesar, ditambah lagi benar-benar aneh kalo ada yang mau berteman denganku di sekolah ini karena aku sepertinya tidak disukai oleh murid-murid disini." Kata Hiro sambil memasukkan buku novelnya ke dalam tasnya. Tiba-tiba, meja dan kursinya disekitarnya langsung bergeser dengan sangat keras dan cepat, tapi tidak ada orang pun yang berada di sana selain dirinya. Setelah itu, meja dan kursi tersebut mulai melayang ke atas. Seketika itu juga Hiro langsung berlari keluar kelas sambil menyandang tas sekolahnya. Ia terus berlari dengan cepat, melompati beberapa anak tangga yang ada di sekolahnya sampai Ia akhirnya berhasil keluar dari gedung sekolah itu.

Tak lama kemudian, muncullah seekor gagak mengepakan sayap di dekatnya, dan hinggap di salah satu bird fontain yang berada di taman jalan di sekitar pepohonan yang sudah mati  bersama dengan beberapa burung gagak lainnya.

Satu per satu gagak mulai terbang dan hinggap di bird fontain dan beberapa diantara mereka lagi terbang mengelilingi tempat itu, dan beberapa diantaranya lagi hinggap di ranting-ranting pohon itu. Jumlah gagak-gagak itu makin bertambah banyak dan banyak. Hiro mendengar masing-masing gagak itu berbincang tentang sesuatu yang sedikit menyeramkan dan Ia sama sekali tak mengerti. Ia merinding mendengar perkataan mereka, tapi rasanya kakinya tak bisa digerakkan untuk lari.

"Dibutuhkan tiga orang untuk mengambil jiwa seorang lelaki."

"Membawanya ke puncak kemaluan dan kemuliaan."

"Membebaskan dirinya dari kehidupan dan mengantarnya ke liang kubur.

Semua dilakukan agar terlepas dari berhala-hala karena setiap jiwa yang dibebaskan akan menambah kesucian.

"Lapar itu abadi. Membunuh itu tugas. Memakan mayat dari dalam tubuh yang sudah membeku adalah kewajiban."

"Karena kami bertiga tidak sependapat bersemayam dalam satu tubuh, menjadi satu jiwa—karena takut disebut sebagai Tritunggal; Bapa, Putra, dan Roh Kudus—maka kami memutuskan bersemayam dalam diri burung gagak, dengan mata sehitam pekat, darah semerah saga—sedarah, semata—,atau sebening langit biru, akan melakukan penyucian diri demi memuliakan nama kami sebagai utusan dari langit, dari laut, mewakili pohon, batu, angin. Kami adalah Malaikat sekaligus Setan sekaligus Tuhan, tabib sekaligus cenayang."

"Bersemayam dalam jiwa kami adalah kudus dan tercela. Mulia dan hina."

"Tugas suci kami kali ini adalah membunuh seorang lelaki sombong, yang telah merusak dan merongrong jiwa kami sebagai penguasa; pembunuh yang paling keji dan biadab, yang tak mengenal belas kasih dan pengampunan. "

"Kami membunuh karena iri. Kami membunuh karena mencintai."

"Setiap iri yang lahir dari jiwa yang paling latah akan membakar hasrat, mendorong dan memaksa kami melakukan apa pun, dengan cara apa pun, bahkan anak dan istri atau suami atau pun diri kami menjadi jaminan bahwa kelak akan menghuni kerak neraka, atau jika kelak kami tidak tercatat dalam daftar orang-orang yang dibangkitkan kembali. Siapa tahu kami yang telanjur dilabeli sebagai laknat yang paling jahanam, atau lebih halusnya Setan, dipercayakan memegang kunci surga."

"Kami percaya bahwa kitab yang ditulis para nabi adalah sejenis upaya pembohongan agar orang-orang lari dari kehidupan Setan dan memercayai malaikat sebagai pendamping. Cuih!! Karena, sebetulnya, Setan dan Malaikat adalah anak-anak Allah yang diberkahi. Sebab sejak awal mula, Setan atau Malaikat diberkahi dengan berkat yang berkelimpahan hingga amin tak lagi didaraskan."

"Suci. Ya, hanya kesucian. Tanpa laknat, tanpa biadab, tanpa amarah dan dendam. Jahanam. Ya, hanya jahanam. Tanpa kesucian, tanpa kemurnian, dan tanpa kemuliaan."

"Masih sucikah Malaikat? Masih muliakah Malaikat?"

"Laknatkah Iblis atau Setan? Jahanamkah Iblis atau Setan?"

"Apa kau akan samakan saya sebagai Yudas Iskariot, yang menjual Sang Guru dengan 30 keping perak? Pikirkan kembali, jika tidak ada Yudas, yang memang sedari awal ditakdirkan menjadi perantara, tidak dipilih, apa akan ada keselamatan umat manusia? Pikirkan, yang digariskan sebagai laknat jahanam tidak selamanya membawa orang pada kebinasaan. Di matamu, Yudas adalah seorang jahanam tapi, perlu kautahu, seorang jahanam yang membawamu pada keselamatan."

"Hidup itu bedebah dan kebatilan, kawan. Kini, tugas suci ini harus saya selesaikan untuk meningkatkan kemurniaan jiwa saya. Karena, pada akhirnya, saya akan setingkat dengan para Malaikat. Karena saya, oleh teman-teman, dipercayakan mewakili bangsa malaikat. Sedang dua sahabat saya, seorang kami dipercayakan mewakili iblis yang paling jahanam, dan seorang yang lain akan menjadi Tuhan yang Mahamurka dan Mahaadil."

"Begitulah. Riwayat perjalanan kami pun dimulai ketika seorang sahabat dengan kegeraman, mata mendelik semerah saga, mulut disepahi sirih pinang, liur yang telah berubah merah tertiris di sudut bibir, mewangsitkan kepada saya agar dalam beberapa hari jiwa lelaki jahanam dan suci itu berpelesir dari raganya. Kami harus menggiringnya ke liang kubur karena batas toleransi hidupnya telah kedaluwarsa."

"Malam di ambang lelah, saya mengitari rumah kediamannya sebanyak tujuh kali—ketika itu saya belum menyemayamkan diri dalam tubuh seekor gagak. Prasangka saya meyakini bahwa tidak ada seorang pun bisa melihat rupa wujud saya kecuali sekumpulan anjing yang kerjanya mendengus, menggonggong, melolong, dan sekumpulan kucing mengeong lirih. Saya tidak peduli pada binatang-binatang itu, atau berpikiran buruk. Semua saya sembunyikan rapat-rapat. Di ujung tugas yang baru dimulai ini, saya menyembunyikan akar-akar dan daun-daun yang telah kami ramukan di keempat sudut rumah."

"Saya merapal mantra dengan tegas dan tanpa rasa takut, sebab di mata saya terbayang kemenangan, dan kekalahan bagi laki-laki uzur yang bermulut pisau itu. Jiwanya akan kami bawa mengitari kampung, pada tengah malam, sambil mencambuknya hingga lengking suaranya terdengar. Di dalam perjalanan itulah, kami akan membuat semacam perhentian, memanggil 'orang-orang' yang mengabdi diri pada kehendak kami, melahap bersama tubuh yang kami bawa itu. "

"Saya tertawa ketika diberi tahu oleh kawan bahwa lelaki yang kami hadapi bukan sembarang lelaki di kampung ini karena, konon katanya, ia terlahir dari seorang ibu yang ditahbiskan oleh warga pada masa itu sebagai tabib dan seorang ayah yang juga ditahbiskan sebagai cenayang terhebat. Lebih lanjut kawan saya itu berkata bahwa dalam diri lelaki itu ada tabib dan cenayang."

"Saya katakan dengan enteng bahwa kematiannya adalah perkara mudah. Membunuhnya ibarat kita mencuil kotoran hidung. Bukankah memang dunia sekarang dipenuhi dengan pelaku-pelaku pembunuhan?"

"Pertanyaan saya tidak digubrisnya. Ia hanya katakan bahwa segalanya harus bersama agar jiwa kita murni. Agar kami sama-sama mencapai kemuliaan."

"Maka keesokan harinya, saya berkelana—maksudnya jiwa saya—terbang di atas hamparan laut. Begitu saya melihat seekor gagak menukik tajam ke arah laut, saya mengejar. Saya merasa bahwa dirinya adalah sebuah pesawat tempur dan saya adalah rudal. Gagak itu memang diberkahi dengan penglihatan lebih, ia menyadari kehadiran saya. Ia menambah kecepatan, saya memacu hasrat. Saat mendekat permukaan laut yang tenang, ia menjungkir, terbang rendah di permukaan, saya tidak mau ketinggalan. Saya kejar. Kadang ia ngikik begitu menyadari bahwa saya tertinggal jauh di belakang. Dan, begitu kecepatan mencapai batas maksimun, tubuh kami melebur. Kami menjadi satu. Kami menyatu, melebur dalam cahaya putih yang gemilang."

"Saya mulai mengepakkan sayap, terbang menuju rimba karena di sana, kawan saya, sedang memburu seekor gagak yang lain. Mungkin jiwa mereka telah lebur. Mungkin sekali mata gagak itu menyala, karena dalam dirinya bersemayam iblis jahanam yang diberkahi langit."

"Jika kau telah membaca atau mendengar kisah tentang seorang wanita yang menetaskan anak-anaknya dari liang kesuburannya, maka saya ingin katakan lagi bahwa saya adalah salah satu anak yang tidak dituliskan riwayatnya. Dan, memang sejarah tidak berlaku adil atas kehidupan saya. Keturunanan terakhir biasanya dilupakan karena saripati kehidupan sesungguhnya berada di pundak yang awal."

"Maka saya tetap membunuh demi menuntaskan lapar yang tiada pernah berkesudahan."

"Terpujilah segala laknat yang menahbiskan dirinya sebagai nabi baru, membunuh tanpa berperikemanusiaan. Memberi seluruh jiwa agar Lilith dikenang kembali, sebagai manusia yang pernah dilahirkan di dunia yang fana ini. Maka, wahai Ibu Lilith yang kami kasihi, ibu yang dilupakan, datanglah bersama roh-roh angin, bersama mata angin-mata angin—dari selatan ke utara, dari timur ke barat—leburlah dalam jiwa ini. Jadikan jiwa ini sebagai laknat yang paling jahanam. Nyalakan api abadi dalam tubuh ini. Pakailah tubuh fana ini untuk kepentingan kita bersama. Segala pasrah tengadah padamu. Total, setotal-totalnya, sebab tiada pengabdian yang lebih purna selain kepadamu, Ibu. Ibu yang telanjur tersemat jahanam dan keras kepala. Ibu yang diam-diam menguntai air matanya menjadi manik-manik yang memancarkan cahaya bara. Ibu yang dari matanya menceritakan kisah pedih tentang lupa."

"Wahai Ibu Lilith, bibir latah ini siap dipakai untuk segala firmanmu, untuk segala dahagamu yang belum tersampaikan, agar kau dan kami yang kerdil mampu mengguncang Semesta. Mendengar jeritan yang paling pedih, yang sakit, yang terluka, yang nestapa, erang yang bagai muncul dari binatang terluka, tentunya, setelah itu, kita merayakan kemenangan di atas tangis dan nestapa, mengikik seperti kuda-kuda liar di padang terbuka, bernyanyi dan berdendang ria, menari sambil menunggu berkah yang diturunkan ke kepala kita. Berkah dari surga, berkah dari kerak neraka. Kutuk dari surga, kutuk dari kerak neraka."

"Kuasalah diri saya sebagai iblis yang paling jahanam, dengan taring-taring panjang dan tajam, setajam mata elang, nyalakan bara dalam liang mata ini. Rajamlah saya dengan kelaknatan, dan kutuklah saya agar semakin subur dan pandai membaca gelagat agar kesucian malaikat tidak dilahirkan dalam diri saya, tapi songsong saya dengan iblis-iblismu."

"Saya senang bukan main karena pada akhirnya bisa melaksanakan tugas suci ini lagi. Seperti sebelum-sebelumnya, saya membayangkan sebuah kematian yang menyenangkan hati saya. Di alam tak kasatmata, kami akan mendatangi si korban tepat tengah hari, yang pada malamnya jiwanya telah kami gerogoti. Saya ditugaskan membelah perutnya, mengambil usus, lalu dengan usus itu saya lilitkan ke lehernya. Salah seorang akan menekan dadanya sehingga ia (si korban) terlihat bagai kesesakan napas, dan seorang di antara kami akan memegang kakinya sehingga ia tak punya kuasa untuk berontak."

"Setiap saya mengencangkan simpul usus pada lehernya, lalu disertai tekanan kawan saya di dada, dan melihat si korban berontak tapi kakinya tak bisa bergerak, kami bertiga akan ngikik. Dan, saat mulutnya menganga seperti ingin mengatakan sesuatu, saya akan meludahi mulutnya dengan sepahan sirih pinang, kawan saya yang menekan perut si sakit berdiri lalu mengarahkan penisnya ke mulut yang terbuka itu lalu ia kencing, dan teman saya yang lain, yang kami percayakan dirinya sebagai Tuhan yang Mahamurka dan Mahaadil, mengarahkan pelirnya, mengocok lalu tersemburlah maninya yang putih kental berlengket itu. Dengan rasa gemas dan hasrat mencintai yang membabi buta, saya menyumbat hidungnya dan membisikkan kata-kata jahanam dan cinta, seperti, tidurlah dalam damai, Tuhan, Malaikat, dan Iblis menyertaimu. Dan, ketika ia berusaha menahan kematiannya agar lebih lama, ditandai dengan mata mendelik, kami akan tertawa terpingkal-pingkal. Melompat ke atas tubuhnya, berguling hingga ranjangnya bergetar. Kami senang memandang matanya yang melotot."

"Tepat tindakan ini berlangsung, di bubungan, di langit-langit rumah, kami melihat Tuhan, Malaikat, dan Iblis semringah, lantas saling menyalami satu sama lain. Mereka tampak begitu bersahabat. Mereka terlihat seperti sekumpulan berandal yang tertawa lepas sambil meneguk tuak."

"Setelah semua itu berakhir, seseorang yang mengenakan jubah hitam, kerudung, dengan wajah ditutup kain tipis, memberi sembah kepada Tuhan, Malaikat, dan Iblis yang telah duduk. Setelah itu, seseorang muncul dari belakang, membawa sebuah kitab tebal dan menyerahkan Kitab Kehidupan itu kepada orang yang mengenakan kerudung tadi."

"Dibukalah kitab itu, dengan nada lirih penuh haru biru, ia mulai mengisahkah riwayat hidup orang yang sebentar lagi meregang nyawa di tangan kami."

"Usai ia mengisahkan, semua orang yang berkumpul dalam ruangan tersebut melemparkan pandangan ke samping. Tergambarlah sesosok yang hendak kami bebaskan. Setelah menyaksikan gambar itu, mereka bertepuk tangan hingga gemuruhnya terdengar di bumi dalam wujud halilintar. "

"Sucilah iblis. Mulialah setan. Laknatlah malaikat. Jahanamlah malaikat."

"Kali ini, dalam diri saya bersemayam seorang Iblis. Tugas saya adalah membunuh seorang yang telah kami tentukan bersama. Seperti telah dikatakan teman saya, tugas saya nantinya adalah menekan dada si korban agar ia kehabisan napas. Ini saya lakukan dengan senang hati karena saya akan membebaskan dan memuliakan hidupnya. Saya pun harus berhitung secara cermat setiap dengusan napasnya agar orang-orang, atau sanak kerabat, atau anak dan istrinya tidak mencurigai kematian si korban."

"Cara saya seperti ini. Saya menyumbat mulut dan hidungnya dengan tangan kiri dan, dengan tangan yang lain saya tekan dadanya kuat-kuat. Dan, setiap tiga menit saya longgarkan sumbatan dan tekanan. Karena, seperti kami sepakati sebelumnya, bahwa dalam sebuah pembunuhan mesti ada sisi sensasi (yang kami maksudkan adalah sensasi seksual—bagaimana kelamin kami bisa ereksi—dan jika ada wanita, liang gabah purba itu harus berlendir), maka ketika sensasi itu tidak tercapai, pembunuhan kami dikatakan gagal."

"Ini sebetulnya rahasia kami. Kedua kawan saya yang dungu itu malu menceritakan hal ini secara terus terang. Saya tidak puas kalau tidak menekankan nada suara pada kata bodoh amat, sebab mereka memang begitu. Memangnya dunia ini tidak tahu? Persetanlah dengan mereka. Bagaimana  juga mereka merahasiakan, serapat-rapat apa pun, sedalam samudera atau setinggi langit, bahkan sampai ke liang selangkangan yang paling gelap pun, tidak ada rahasia."

"Begitu kami melihat si korban menjerit, atau ketakutan, atau tangannya ingin meraih sesuatu di sekitarnya, atau memuntahkan semua nama binatang untuk melaknatkan deritanya, kami tertawa hingga air mata jatuh. Itulah saat-saat kami akan mulai merasa sensasi purbawi itu, yang membuat dada kami lega dan melenakan. Sungguh!"

"Saya akan membisikkan kalimat yang paling saya senang ke telinganya. Penderitaan itu adalah doa, Kawan. Maka, menderitalah. Kami mendengarmu. Setelah saya membisikkan kalimat itu, matanya akan mendelik dan mulutnya membuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sebetulnya ia haus. Maka, kami akan memberinya air kencing dan air kehidupan¸ ke dalam mulutnya."

"Begitulah cara kami memuliakan sesosok tubuh ketika ia di ambang maut. Untuk lelaki yang akan kami bebaskan ini, saya menemukan cinta yang membara dalam liang matanya. Cinta yang begitu tulus. Cinta yang meluas dari kebersahajaan. Cinta seorang kebapaan, kepada istri dan anak-anaknya."

"Dan, oleh cinta yang melumer bagai tiada pernah berhenti itulah yang menjadi alasan kami membebaskan dan menyucikan jiwanya. "

"Setelah kawan saya terbang menuju samudera, kini giliran saya terbang ke hutan rimba, mencari seekor gagak bermata saga. Saya pun tidak terlalu kesulitan. Pada kedalaman rimba, saya menemukan seekor gagak dan jiwa saya langsung melebur bersamannya. Kami melebur di antara langit dan bumi. Ia menukik dan saya mengundara, dan kami saling menubruk."

"Sebaiknya kau bersumpah terlebih dahalu. Jangan menghakimi kami (para gagak) sebagai pendongeng, sebab apa yang tertulis, memang benar-benar terjadi. Karena, sejak awal kami bukanlah pendongeng yang baik, atau penipu yang lihai. Dan, berterimakasihlah kepada ingatan karena ia masih menjaga wibawanya."

"Kini, ia yang sebentar lagi berjalan menuju keabadian, di mata saya ia adalah permaisuri yang harus saya jamu dengan wangi dupa dan kemenyan. Saya memperlakukan dia dengan segala keistimewaan surgawi (karena ia senang dengan segala yang berhubungan dengan surga), tapi setiap perjamuan itu saya sisipkan kebodohan-kebodohan hingga otak mengajak tubuhnya membenci jiwanya."

"Karena berdasarkan garis keturunan, ia dan saya masih sedarah—ia si sulung, maka dalam diri saya mengalir cinta dan benci, dendam dan kasih. Dua hal bertolak belakang ini seharusnya tidak  menunas dalam diri saya sebagai pembunuh. Saya tidak bisa menolak. Semua harus terjadi, demi penyucian dirinya, demi melaknatkan dirinya."

"Setelah pikir punya pikir, dan pertimbangan bersama istri kelima, saya harus membagikan jiwa saya menjadi dua bagian. Pertama, jiwa saya menyusup ke dalam diri si istri dari sang korban guna memecahbelahkan keluarga utuh mereka. Tugas selanjutnya yang akan saya lakukan adalah mendatangi seorang tabib—menyusup ke dalam tidurnya hingga ia bermimpi—bahwa sang istri korban adalah alasan di balik kematian suaminya. Karena di dalam mimpi itu, saya mengubah wajah menjadi sang istri.  Kedua, jiwa saya yang lain menyusup ke dalam seekor gagak bermata bening. Pada kaki burung gagak akan dipakai sebuah cincin. Sehingga ketika burung gagak yang meregang nyawa terkapar, dan warga menemukan cincin itu melingkar di sana, mereka akan membayangkan sebuah hubungan kedekatan, keterikatan. Bukankah ini adalah rencana pembunuhan yang paling genius di dunia pertenungan? Karena saya adalah Tuhan, yang genius, yang merancang dengan kecermatan tinggi, dan tentu dengan segala pertimbangan. Dalam ilmu tenung, kami kenal dengan sebuah istilah  sakral yang, jika dilafalkan segala cara."

"Begitu selesai mengitari kampung sebanyak tujuh kali, dan berkaok-kaok sebanyak 77 kali, kami menukik tajam menuju kampung ini. Kami bertiga hinggap di seng rumah si korban, berpekik dengan lengking yang paling menyayat, sendu, nelangsa. "

"Karena kami sudah tahu bahwa akan ada dua orang datang membidik kami dengan katapel, kami terbang rendah dan singgah ke rumah sebelah. Dua orang berkatapel berusaha mencari cela, tapi kami akan mengambil salah satu sudut agar tidak ada kemungkinan mereka membidik."

"Lalu kami terbang lagi, ke rumah sebelah. Kedua kawan saya akan terbang jauh, dan membiarkan saya sendirian. Di saat itulah, saya akan mencari celah, tempat terbuka, sambil berpura-pura seperti tidak melihat si penembak. Tepat saat itu, ia akan memanfaatkan keadaan itu untuk membunuh saya. Ketika mati, saya membebaskan jiwa dari bangkai itu, lalu kembali ke tubuh asli."

Seekor gagak lainnya terbang di sekitar Hiro sambil meneriakkan kata-kata yang membuat Hiro merinding.

"Sucilah iblis! Mulialah setan! Laknatlah malaikat! Jahanamlah malaikat! Kami adalah pembunuh suci!" Teriak gagak itu. Seketika itu, Hiro langsung berlari pulang ke rumahnya.

Beberapa menit pun berlalu, tak terasa malam pun sudah tiba. Kini, Ia sudah masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Setelah itu, Ia mendengar suara langkah kaki seseorang yang berasal dari lantai atas kamarnya. Hiro pun menelan salivanya, Ia merasa ada seuatu yang tidak beres.

"Apa yang kau lakukan di kamarku? Tunjukkan dirimu Kenzo? Apakah itu kau?" Tanya Hiro sambil mendongak ke atas.

Suara langkah kaki itu berhenti, dan tak lama kemudian muncullah sosok wanita dengan wajah berwarna putih tak bermata jelas, tak memiliki hidung dan mulut yang jelas. Namun, disertai mulut dengan seringai menyeramkan. Sosok wanita bergaun putih dengan beberapa rumbai di sekitarnya menunduk dan menatap ke arah Hiro dari lantai atas.

Wanita itu seperti salah satu sosok yang Ia lihat di lukisan sekolahnya yang menyeramkan tadi. Hiro pun langsung berlari menuju koridor sempit tempat kamar ibu dan ayahnya berada. Namun, di hadapannya malah ada sosok wanita berkulit pucat kotor, berambut pendek dengan leher yang penuh darah, kedua matanya berlubang, mulutnya terbuka seakan-akan telah memuntahkan darah. Sosok itu memakai short jeans, dan bra putih kotor dengan beberapa perban putih yang masih ada pada perut beserta telapak kaki kirinya. Dan di kedua kakinya yang kotor dari atas sampai bawah terdapat beberapa luka yang cukup serius.

Melihat sosok yang menakutkan itu, Ia langsung berlari ke koridor lain, dan masuk ke kamar tamu. Lalu dengan cepat menguncinya. Saat Ia menoleh ke belakang yang tak lain adalah tempat ranjang tidur bermata putih berada. Dari atas langit-langit atap ruangan tersebut, muncullah sosok mayat dengan kulit pucat kurus, tak memiliki hidung, dan tak bermata hanya titik merah yang menjadi matanya serta senyum seringai lebar yang menyeramkan ke arah Hiro.

Dengan cepat, Hiro langsung membuka kunci kamarnya dan membuka salah satu jendela di rumahnya. Setelah itu, dia melompat dari jendela tersebut dan berlari ke halaman belakang rumah dan terus berlari sekencang-kencangnya melewati padang rumput kering untuk menuju hutan.

Tiba-tiba langkahnya langsung terhenti, ketika Ia melihat lebih dari delapan tubuh sosok mayat yang kakinya tak menyentuh tanah sedang melayang di sekitar hutan dan masing-masing dari mereka perlahan mendekat ke arah Hiro.

Tepat pada saat itu juga Hiro langsung  berbalik dan berlari kembali untuk pulang. Dan tak lama kemudian, Ia pun akhirnya sampai di perumahan tempat rumahnya berada dengan jalanan yang sepi tak ada seorang pun yang berjalan di sekitar sana ataupun kendaraan yang lewat dengan suasana yang sepi, angin yang menusuk dingin, dan langit malam yang masih mendung.

Karena Ia tak tahu harus pergi kemana lagi, Ia pun akhirnya kembali meneruskan langkahnya pulang menuju rumahnya. Tapi, Ia melihat lampu kamarnya menyala dari luar jendela. Ia pun langsung memanjat pohon besar dan melompat ke arah kamarnya, lalu membuka jendela kamar tersebut. Dan, Ia menemukan Kenzo yang baru saja tertidur dan kini terbangun karena kedatangannya sedang berbaring di salah satu tempat tidurnya.

"Kenapa kau berada di kamar tidurku?" Tanya Hiro sambil kembali menutup jendela kamarnya.

"Pintu rumah di kunci, jadi aku  memanjat naik ke jendela kamarmu yang selalu tidak dikunci ini. Namun, pintu kamarmu juga dikunci jadi aku tak bisa kemana-mana selain terjebak di kamarmu. Karena itu, aku berbaring di ranjangmu dan beristirahat sebentar. Tapi, dari mana saja, kau? Apakah kau baru saja pulang dari sekolah? Kenapa larut sekali?" Tanya Kenzo yang masih berbaring.

"Iya, aku baru saja pulang dari sekolah, setelah itu aku berlari di sekitar kota ini." Kata Hiro sambil meletakkan tasnya yang seharian Ia sandang di bahunya. Lalu, Ia langsung membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Kenzo keluar dari kamar. Setelah Kenzo pergi dari kamarnya, Ia langsung mengunci pintu kamarnya, dan menuju kamar mandi yang terletak di kamarnya tersebut untuk membersihkan diri, lalu beristirahat dari hari yang melelahkan ini. Setelah  hari itu berlalu, kesehariannya di sekolah hanya disertai oleh pembullyan yangg Ia dapat dari Caesar bersama teman-temannya. Dia hanya bisa untuk menahan amarahnya dan bersabar meskipun setiap kali, Ia makan Ia kadang harus disiram oleh susu ataupun air.