"Yang ayo."Alena menghampiri Panji di dalam kamar Panji.
Sejak Panji telah bertunangan dengan Alena, sejak itu pula Alena sudah berani masuk kedalam kamar Panji. Sebelumnya dia tidak pernah masuk kedalam kamar Panji karena memang Panji tidak suka kalau ada orang lain masuk kedalam kamarnya tanpa seizinnya. Entah karena didalamnya ada apa tapi Panji tidak suka kalau kamarnya didatangi orang yang tidak dikenalnya.
Panji tidak pernah mengizinkan seorangpun masuk ke dalam kamarnya kecuali Reihan sahabatnya sejak kecil. Pernah ada cewek masuk kedalam kamarnya. Namun akhirnya dia melakukan sesuatu dengan cewek itu. Dan cewek itu adalah Arini.
"Huammm."Panji baru bangun dari tidurnya.
"Ayo yang. Ini kan hari minggu."rengek Alena menyingkap selimut yang menutupi tubuh Panji.
Hari ini adalah hari minggu. Waktunya dia lembur untuk tidur. Setelah seminggu kemarin bekerja di kantor. Dia tentu ingat kalau ini hari minggu, jatah untuk meluangkan waktu sibuknya untuk pergi jalan-jalan menemani Alena.
Akhirnya Panji bersiap-siap pergi. Dia dan Alena sengaja memakai kemeja couplan. Warna kemeja mereka biru muda. Mereka terlihat serasi sekali.
Tempat pertama yang ingin mereka kunjungi adalah mall. Seperti biasa Alena ingin berbelanja semua kebutuhan yang diperlukannya sekaligus make up juga. Panji setia menemaninya.
Ketika Alena sedang sibuk memilih beberapa make up, perasaan Panji menjadi gelisah sendiri. Dia tidak tahu kernapa dia seperti itu. Padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah seperti itu.
"Kamu kenapa yang?"Alena nampak bingung melihat Panji yang sedang mondar mandir disampignnya saat sedang memilih lipstic.
"Nggak papa kok. Hanya ingin jalan-jalan saja."Panji mencari alasan. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa. Alena kembali memilih lipstic lagi.
Setelah membeli keperluan make upnya, kini Alena dan Panji pergi berbelanja yang lain. Mereka berdua terlihat sangat romantis sekali, Panji tidak pernah bisa jauh dari Alena begitupula sebaliknya. Sehingga mereka berdua selalu jalan berdampingan. Seramai apaupun mallnya mereka selalu jalan bergandengan.
"Itu."pandangan Panji terhenti pada sebuah rak yang diatasnya terdapat susu untuk ibu hamil. Terlihat ada cover seorang ibu hamil disana. Dia teringat dengan Arini.
"Yang beli ini apa yang ini?"Alena mengambil dua produk yang beda merek. Dia meminta pendapat Panji. Tapi Panji tidak melihatnya karena sedang fokus melihat susu bumil itu.
"Itu aja."jawab Panji tanpa melihat barangnya dulu.
"Ok. Aku juga suka yang ini sih."Alena percaya saja. Dia kira Panji memang menjawabnya dan tahu barangnya.
"Apa dia butuh kayak gitu?"batin Panji dalam hati. Bukankah Arini sekarang tengah hamil anaknya. Pastinya butuh asupan susu seperti itu.
Setelah menemani Alena jalan-jalan dan berbelanja kebutuhannya, kini mereka pergi menuju ke restaurant untuk makan siang. Mereka makan siang bersama dengan suasana romantis di tempat privat yang telah dipesan Alena langsung.
Sedangkan disisi lain Arini kini harus kesepian di rumah. Dia tidak memiliki teman selain Bi Sumi. Arini menghampiri Bi Sumi di dapur.
"Bi saya bantu ya."Arini langsung memegang sayuran yang tergeletak di atas meja makan.
"Nggak usah mbak. Mbaknya istirahat saja. Biar bibi aja yang masak."kata Bi Sumi menoleh kearah Arini.
"Nggak papa bi. Lagian saya juga bosan cuma diam aja di dalam kamar."Arini cemberut.
"Nanti kalau Mas Panji tahu marah lho mbak."Arini terkejut mendengar ucapan Bi Sumi tadi.
"Mana mungkin dia peduli sama aku bi."Arini menjawab sambil nyengir. Menurutnya Panji tidak akan peduli sama dia. Mau dia masak mau dia makan, Panji tidak akan memikirkannya.
"Gitu-gitu Mas Panji juga perhatian sama mbak lho. Apalagi sekarang mbak Arini tengah mengandung anak Mas Panji."Bi Sumi mendekati Arini dan berusaha meyakinkan kalau Panji orangnya itu tanggungjawab dan tidak seperti yang dibilang Arini tadi.
"Tapi masak ya sih."Arini teringat kejadian kemarin saat dia ditolong Panji jatuh dari tangga.
"Lagian kenapa aku mikirin itu. Udahlah."Arini tidak mau ambil pusing memikirkan Panji lagi.
"Ya bi. Boleh ya?"Arini merengek agar diijinkan memasak.
"Ya sudah terserah mbak Arini saja."jawab Bi Sumi dengan pasrah. Dia baru tahu kalau Arini sedikit keras kepala.
"Ini kita mau masak untuk siapa bi?"tanya Arini sambil mengupas bawang merah.
"Buat Mas Panji sama mbak Arini lah."jawab Bi Sumi sambil tersenyum. Arini tersentak. Bukankah Panji sekarang tidak ada di rumah. Kenapa dimasakkan segala.
"Untuk dia? Emang nanti dia kesini lagi bi?"Arini menghentikan tangannya yang sedang mengupas bawang merah tadi.
"Memang mas Panji nggak setiap hari kesini tapi bibi selalu menyiapkan makan untuk mas. Buat jaga-jaga gitu. Tapi kalau mas Panji nya ndak pulang ya, bi Sumi yang makan."Bi Sumi tersenyum puas. Siapa yang tidak senang bisa makan puas dan gratis, enak lagi.
"Oh ya aku lupa. Ini sebenarnya aku dimana ya bi. Dari kemarin mau tanya itu kok ya lupa."Arini kemarin ingin bertanya kepada Panji, sebenarnya dia sekarang dimana. Tapi lupa terus. Kalau semisal dia tahu pasti kan bisa minta tolong untuk dijemput sama Dilan.
"Maaf Mbak. Bibi nggak bisa jawab."Bi Sumi terlihat takut dan menunduk. Seperti ada sesuatu yang terjadi sama Bi Sumi.
"Lha kenapa bi? Masak bibi nggak tahu ini dimana?"Arini tersenyum bingung.
"Maaf ya mbak. Saya nggak bisa ngasih tahu ini dimana."kata Bi sumi lagi. Arini melihat ekspresi wajah Bi Sumi seperti ketakutan dan ancaman.
"Panji ya yang melarang bi Sumi?"Arini mendekati Bi Sumi. Bi Sumi langsung cepat-cepat pasang muka biasa saja.
"I…iya mbak."Bi Sumi keceplosan. Arini mengangguk saja. Dugaannya benar juga.
"Ya sudah nggak papa bi. Kalau bibi nggak dobolehin sama dia."Sebenarnya Arini ingin mendesak Bi Sumi untuk memberitahunya tapi berhubung ekspresi Bi Sumi ketakutan sendiri jadi Arini mengurungkannya. Bi Sumi dan Arini melanjutkan memasak bersama lagi.
Tidak terasa masakannya telah matang semua. Kemudian mereka berdua bahu membahu memindahkan dan menata semua makanannya ke meja makan. Mereka berdua melupakan kejadian menegangkan yang sudah terjadi sebelumnya.
Arini mulai merasa capek sendiri. Rasanya kakinya tidak bisa digunakannya untuk berjalan lagi.
"Ada apa mbak?"Bi Sumi menghampiri Arini yang sedang duduk di kursi meja makan.
"Nggak papa kok bi."Arini melihat kakinya bengkak. Dia tidak memberitahukan Bi Sumi mengenai keadaan kakinya.
"Kaki mbak Arini bengkak. Mbaknya duduk disini saja. Nanti pasti kempes sendiri."Bi Sumi malah tahu sendiri. Arini mengangguk saja.
"Kamu kenapa?"Panji tahu-tahu datang menuju meja makan dan melihat Arini duduk sambil meluruskan kaki.
Bi Sumi dan Arini menoleh berbarengan kearah Panji yang baru datang. Panji nampak mengenakan kaos warna putih dan celana pendek warna abu-abu.
"Nggak papa kok."Arini nampak kaget ketika tahu Panji sudah tiba di meja makan.
"Kakimu."Panji mendekati kaki Arini yang sedang diluruskan. Betapa tercengangnya Panji ketika tahu kedua kaki Arini bengkak.
"Bi ini kenapa?"Arini ingin menjelaskan tapi malah keburu Panji bertanya sama Bi Sumi.
"Nggak papa mas. Biasanya orang hamil memang begitu. Nanti kempes sendiri kok. Hanya butuh istirahat saja."jawab Bi Sumi dengan tenang.
Meskipun sudah dijelaskan sama Bi Sumi Panji masih nampak khawatir dan cemas.
"Beneran ini nggak papa bi? Bibi pernah ngalamin dulu?"tanya Panji terlihat gegabah.
"Ya mas. Dulu bibi kan pernah hamil kayak mbak Arini. Jadi sudah pernah ngalami kaki bengkak seperti itu."jawab Bi Sumi dengan meyakinkan. Panji sedikit mulai percaya. Arini hanya memandangai wajah panik Panji didepannya yang sedang jongkok itu.
"Dia sepertinya panic sekali."batin Arini terus melihat wajah Panji. Panji kemudian menatap Arini. Mereka berdua saling adu pandang dengan jarak dekat.
"Ayo istirahat di kamar saja."ucap Panji sambil berdiri.
"Hemm."jawab Arini. Dia sudah tidak nyaman lagi duduk di kursi. Rasanya dia ingin merebahkan tubuhnya di kasur.
Arini langsung berdiri. Berhubung kakinya sekarang bengkak jadi sedikit susah untuk berjalan. Tanpa pikir panjang, Panji langsung menggendong Arini. Jujur Arini kaget. Dia tidak menyangka kalau Panji akan menggendongnya dan membawanya ke kamar.
"Aku bisa jalan sendiri."kata Arini. Dia tidak mau digendong Panji.
"Diam."kata Panji sedikit membentak. Arini langsung diam saja. Akhirnya Arini mau digendong ke kamar meskipun sedikit terpaksa dan tidak nyaman.
Setibanya di kamar, Panji langsung merebahkan tubuh Arini di kasur. Punggung dan kepala Arini disandarkan ke tembok. Arini merasa enakan sedikit ketika istirahat di kasur daripada di kursi tadi.
Arini mencari posisi ternyaman untuknya. Menurutnya selama dia hamil, baru akhir-akhir ini dia mudah merasa capek. Panji hanya memandangi Arini dari kejauhan sambil berdiri.
"Permisi. Mas mbak Arini makanannya sudah siap."Bi Sumi membuka pintu dan melihat majikannya tengah berduaan dengan Arini di dalam kamar.
"Ya bi. Nanti saya kesana."jawab Panji menatap Bi Sumi.
"Bi kalau orang hamil harus minum susu khusus untuk ibu hamil."Panji menghentikan langkah kaki Bi Sumi yang hendak menutup pintu.
"Jauh lebih baik kalau ibu hamil memang minum susu untuk bumil mas. Supaya asupan nutrisi buah hatinya tercukupi."BI Sumi sudah menduga kalau Panji akan peduli dengan kehamilan Arini. Dia sudah tahu gimana karakter Panji. Meskipun Arini kemarin telah menceritakan kalau Panji sempat menyuruhnya untuk menggugurkan anak itu.
"Untuk siap memang?"Arini keceplosan.
"Untuk siapa? Untuk kamu lah."jawab Panji dengan cepat dan lantang. Seketika Arini langsung memundurkan kepalanya karena tidak menyangka.
"Aku… dia bilang."batin Arini dengan tidak percaya.
"Bi tolong belikan susu ibu hamil untuk dia."Panji sambil menunjuk kearah Arini. Bi Sumi langsung diberi beberapa uang untuk membeli susu bumil oleh Panji.
"Ya mas. Tunggu ya mbak."kata Bi Sumi menerima uang pemberian Panji. Arini hanya melepas senyum kecil saja.
Sepeninggal Bi Sumi, Arini masih diam terpaku sambil mengingat ucapan Panji sebelumnya. Apakah dia kini sedang bermimpi. Bukankah kemarin Panji terlihat tidak suka dan tidak menerima kehadirannya dan anaknya, lantas kenapa hari ini berbeda sekali dia.