BAGIAN SATU : Awal dari Sebuah Kisah.

"Sejatinya setiap manusia memiliki kepandaian yang sama. Hanya bagaimana cara dia menggunakannya dan membuatnya berbeda."

🏅🏅🏅

"Sejatinya di dunia ini tidak ada manusia yang bodoh. Yang ada hanyalah manusia yang malas berpikir dan terus berusaha."

🏅🏅🏅

Pagi hari, ketika suasana jalanan kota Jakarta sangat ramai.

Dua tiga kendaraan bergerak lebih cepat untuk mendahului kendaraan yang di depannya. Terburu-buru.

Pagi ini, hujan mengguyur kota metropolitan dengan sangat deras, membuat beberapa burung yang hendak mencari makan mengurungkan niatnya dan memilih berdiam diri di sarang, menunggu hujan reda. Membuat pejalan kaki terpaksa berhati-hati agar tidak terkena guyuran air dari lubang di jalan.

Mataku menoleh ke samping, saat ayahku memanggil namaku. Entah apa yang ia bicarakan, aku tidak terlalu fokus dengannya.

"Iya Ayah, ada apa?" tanyaku, berharap ayahku mau mengulang kembali perkataannya.

Ayahku yang sedang fokus ke jalanan, matanya hanya menatapku sekilas dan kembali menoleh ke depan. "Astaga, Kay. Pagi hari, dan kamu sudah melamun?" Ayahku memainkan dagunya yang mulus tanpa janggut.

"Maaf," ujarku lirih. Padahal aku sama sekali tidak melamun, hanya sedang menikmati suasana pagi ketika aku berangkat sekolah. Sebelum suasana hatiku berubah karena orang di sekitarku.

"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya sembari menginjak rem, ketika lampu lalu lintas berwarna merah.

Hanya pertanyaan itu? Astaga, tadi pagi saja Ibu sudah menanyakan hal tersebut sebelum Ayahku bergabung di meja makan. "Seperti biasa. Melelahkan." Aku kembali menoleh, melihat anak kecil yang kakinya basah karena mantol yang digunakan tidak menutupi dengan sempurna.

Ayahku tersenyum. "Ya, seperti itulah. Kamu pintar, pandai, rajin, selalu menang olimpiade, dan ramah. Jadi, jangan heran banyak anak yang meminta bantuan tugas kepadamu," ujarnya, kembali melajukan kendaraan.

Aku hanya tersenyum membalasnya. Sudah bosan mendengar kalimat itu. Bukan empat atau lima kali aku mendengarnya. Melainkan lebih dari lima puluh tiga kali.

Ya, begitulah kenyataannya. Bahkan ketika aku dengan terpaksanya harus berangkat sekolah menggunakan angkot, pasti akan ada siswa yang mendekatiku. Bukan karena tempat duduknya penuh, tetapi karena ada tugas yang belum mereka selesaikan. Tapi dengan legowo aku membatunya, meskipun aku tidak mengenal siapa mereka.

"Iya, Ayah. Tapi terkadang mereka membuatku geram. Tidak tau waktu dan posisi. Bahkan saat aku sibuk, mereka terus saja bertanya." Aku melipat kedua tanganku di depan dada, kesal. Selalu Ayah membesarkan hatiku agar sabar dan mau membantu sesama.

Ayahku malah tertawa melihatku. Sebelah tangannya terjulur mengelus rambut panjangku. "Mungkin Ayah tidak tau bagaimana rasanya menjadi dirimu. Rasa lelah, kesal, dan suntuk itu selalu ada. Ingat, Tuhan telah memberi kepercayaan kepada dirimu dengan kepandaian yang melebihi anak seusiamu. Jadi, pegang kuat kepercayaan itu, jangan membuat Tuhan kita kecewa."

"Tapi, Ayah. Bukankah setiap manusia memiliki kepandaian yang sama. Hanya bagaimana cara dia menggunakannya dan membuatnya berbeda?"

Ayahku malah tertawa mendengar perkataanku. Apa yang salah?

"Sayang, jika perkataanmu itu benar, maka semua orang tidak perlu sekolah. Tidak perlu kuliah jauh-jauh sampai ke luar negeri. Untuk apa mereka belajar jika sudah bisa?"

Aku tersenyum mendengarnya. Selalu ada kata-kata yang membuat hatiku merasa tenang.

Benar. Tidak semua orang memiliki kepandaian yang sama. Aku, keluargaku, teman-temanku, orang-orang di sekitarku, semuanya memiliki kepandaian yang berbeda.

"Iya, Ayah. Aku salah tentang itu," jawabku bersamaan dengan berhentinya mobil yang kami kendarai.

"Baiklah, Kayla. Belajar yang rajin dan selalu menjadi manusia yang berguna bagi saudaranya. Jangan lupa, gunakan jaketnya." Tanpa aku sadari, mobil yang dikemudikan Ayahku sudah sampai di depan pintu gerbang sekolahku.

Hujan mulai reda, hanya ada satu dua sisa tetes air yang tertinggal dan berembus bersama angin.

Aku menyalami tangan Ayahku, "iya, Ayah. Kayla berangkat dulu, Yah." Membuka pintu mobil dan menginjakkan kaki di trotoar.

Aku berjalan melewati gerbang yang bertuliskan 'SMP Kita Bisa,' sekolahku.

Ya, aku masih duduk di bangku kelas 8 Sekolah Menengah, usiaku saat ini baru 13 tahun, beberapa hari lagi baru 14 tahun. Tidak ada yang spesial dariku. Kulitku tidak seputih orang Korea, hidungku tidak semancung orang barat, dan tinggiku hanyalah 156,5 senti.

Tapi aku memiliki satu hal yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusiaku.

Entah bagaimana bisa, kerja otakku sudah seperti orang dewasa. Memahami semua mata pelajaran. Matematika, sejarah, kimia, fisika. Semua. Aku telah memahaminya. Jadi, tak ayal banyak teman-teman yang berlarian mendekatiku. Berusaha untuk berteman denganku dan memanfaatkan apa yang aku miliki.

Namaku Kayla Syafira. Ayahku, Ibuku, teman-temanku, dan orang sekitarku memanggil diriku dengan sebutan 'Kayla.' Ya meskipun ada yang meringkasnya menjadi Kay.

Kayla Syafira, begitulah namaku. Beberapa kali aku mencoba mencari arti namaku. Dan beberapa sumber pula memberikan arti yang berbeda.

Seperti Kayla, menurut karakteristiknya memiliki makna enerjik, kuat, cerdas, berjiwa petualang, ahli berkomunikasi, pengambil keputusan, berani, agak keras kepala.

Ah, mungkin arti itu terlalu berlebihan bagi namaku. Tidak ada yang cocok dengan keadaan diriku sebenarnya. Hanya beberapa saja yang sesuai.

Dan ketika aku bertanya kepada Ayah dan Ibuku mereka selalu mengatakan, "Kamu adalah mahkota kami, Kayla. Anak satu-satunya yang selalu menjadi mahkota keluarga kecil ini."

Aku tidak tau maksud dari perkataan itu.

Sedangkan nama 'Syafira' Ayah sematkan pada diriku karena aku sesuai dengan arti nama tersebut. 'Istimewa' baginya.

Kayla Syafira. Itulah namaku. Dan aku suka dengan nama pemberian kedua orang tuaku.

-To Be Continued-

A/n: Part pertama, dan aku sebut sebagai perkenalan. Semoga kalian suka dengan part pertama dan selanjutnya.

Jangan lupa untuk vote dan comment. Sampai jumpa di part selanjutnya.

Salam, Nu_Khy.