Chapter 1 : Rose Melvalinda

Saat aku benar-benar menyerah untuk hidup, sebuah cahaya datang. Cahaya itu benar-benar sangat menyilaukan mataku. Karena silaunya, aku menutup mataku dengan tangan kananku. Entah apa yang terjadi, setelah itu kesadaranku berangsur-angsur menghilang.

"Hahhh.."

Aku terbangun dari mimpi burukku. Mimpi itu lagi ya.. Kenapa harus mimpi itu terus yang muncul? Aku sendiri merasa aneh karena mimpi itu adalah tragedi mengenaskan semasa kecilku.

Uh, sudahlah, aku tak mau terus-menerus memikirkan itu lebih jauh. Lama-kelamaan aku bisa menjadi gila! Aku menghela nafas panjang, bagaimanapun caranya aku harus tetap bertahan hidup. Karena cahaya tersebut telah menyelamatkan ku, aku tak boleh menyia-nyiakannya.

Aku beranjak bangkit dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

💠💠💠💠

Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari pertamaku masuk SMA. Sebenarnya aku sedikit tak sabar untuk segera memulai hari-hariku di sekolah baru. Jangan tanya soal teman, dari dulu aku tak mempunyai. Entah karena apa, karena aku yang salah atau mereka yang salah hingga saat ini aku tak punya satu pun teman.

Aku berdiri tepat dihadapan gerbang sekolah baruku ini. Rasanya aku benar-benar tak sabar untuk cepat-cepat belajar disini. Ah tidak, tidak mungkin langsung belajar. Hari ini adalah hari pertama MOS.

Aku sedikit takut karena biasanya kakak-kakak OSIS itu hampir semuanya berubah menjadi galak saat MOS. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan OSIS atau kebiasaan kegiatan MOS? Entah lah, yang terpenting sekarang aku hanya perlu menjalaninya. Ini tidak akan lama, hanya satu minggu, bukan? Iya aku bisa melewatinya.

Aku masuk ke dalam SMA Merah Putih ini, menyelusuri seluruh lorong-lorong kelas. Aku berhenti tepat di depan pintu masuk aula. Disana terdapat banyak kerumunan siswa-siswi yang masih memakai baju putih-biru, sama sepertiku.

Aku berjalan mendekat, hendak melihat juga. Namun, kerumunan itu terlalu penuh dan aku tak bisa melewati mereka. Akhirnya aku pun memilih diam menunggu hingga mereka semua telah selesai membaca mading tersebut.

"Hei! Aku juga ingin lihat! Apa itu masalah?! Kau sudah melihatnya sejak sepuluh menit tadi! Aku sudah menunggu sangat lama dan sekarang giliranku!"

Bentakkan itu mengalihkan perhatianku. Aku menoleh, melihat dua orang gadis tengah berdebat. Gadis berambut coklat panjang yang dikuncir itu tampak tak terima karena gadis yang satunya lagi tidak mau memberikan gilirannya untuk melihat mading.

Aku tertarik dengan gadis berambut coklat panjang yang di kuncir itu. Dia tampak tak takut dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Lihat, sekarang para kakak kelas memperhatikan mereka berdua yang tengah berdebat. Apa mereka tak malu? Padahal mereka anak baru sama sepertiku namun mereka sudah berani membuat masalah.

"Kalian mengganggu ketenanganku, bisa kah kalian diam?"

Suara tenang namun berat itu menyeruak dari sebelahku. Aku berbalik, melihat seorang pria yang tengah menyender ke dinding tepat di sebelahku. Bagaimana aku tak bisa menyadarinya sedari tadi?

Aku lihat, kedua gadis itu langsung diam dan tampak terpesona dengan ketampanan yang dimiliki pria ini. Aku akui dia memang tampan. Tapi aku sedikit tak suka dengan sikap dinginnya ini.

"Aku akan diam jika dia tahu gilirannya," gadis berambut coklat yang dikuncir itu mendengus.

"A-apa?! Kau yang tidak sabar menunggu! Tolong, kau jangan menuduhku!" gadis yang satu lagi berusaha membantah. Jika dipikir-dipikir, memang gadis ini yang salah.

"Aku tidak menuduh, itu memang kenyataan!"

Ah, rasanya kepalaku mulai terasa sakit saat mendengar perdebatan itu yang terus berlanjut. Hingga akhirnya mereka berhasil dileraikan oleh salah satu anggota OSIS.

"Kenapa kau menangis?"

Aku merasakan ada seseorang yang menepuk bahuku, dan ternyata dia adalah pria tampan yang berdiri di sebelahku.

"Hah?" Aku tak mendengar jelas apa yang ia katakan sebelumnya.

"Kenapa kau menangis?" ucap dia mengulang.

"O-oh.. A-aku?" Aku menunjuk pada diriku sendiri. Lalu kurasakan cairan bening yang mengalir dari mataku, membasahi pipiku. Kenapa aku menangis?

"E-eh.. Tidak.." Aku bingung mau menjawab apa, hingga akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku segera menghapus air mataku, tak mau orang lain menyadarinya. Rasanya ini aneh..

Pria itu hanya mengangguk saja dan tak bertanya lebih jauh. Itu bagus.

"Wah.. dia itu yang dapat nilai tertinggi, bukan?"

"Hebat sekali!"

"Nilainya hampir sempurna semua!"

Kudengar para siswa-siswi itu berbisik ketika seorang pria yang seangkatan denganku itu berjalan ke arah mading. Pria berkacamata itu.. ah, aku tahu, dia adalah siswa yang masuk ke SMA Merah Putih dengan nilai yang tinggi! Itu menakjubkan!

Saat pria berkacamata itu mendekat, kerumunan itu membelah dua, memberikan jalan baginya. Aku tersenyum masam, apa aku harus menjadi seperti itu dulu agar bisa dihargai oleh mereka?

Pria berkacamata itu tak berlama-lama, setelah melihat mading, ia segera pergi lagi menjauhi kerumunan siswa-siswi baru.

Saat kerumunan itu sudah mulai sepi, aku baru bisa untuk melihat mading itu. Ternyata informasi yang ada di mading itu adalah informasi kelas. Aku segera mencari namaku. Aku sedikit kesulitan mencari namaku, hingga ada seseorang yang bertanya padaku.

"Rose Melvalinda, bukan?"

Aku menoleh, melihat seorang pria bertubuh gendut dan sedikit lebih pendek berdiri di sebelahku. Aku kebingungan, kenapa ada dia disini? Bukankah tadi di sebelahku adalah seorang pria tampan? Lalu kemana perginya pria itu?

"I-iya. Kenapa kau bisa tahu namaku? Kau murid baru juga kan?" jawab dan tanyaku.

"Iya, aku murid baru juga disini. Entah kenapa tapi aku merasa tak asing denganmu. Dan kata itu tiba-tiba terluncur begitu saja dari mulutku," jawabnya sambil tertawa kecil. Apa yang lucu?

"Ini, kau di kelas 10 MIPA'1, kita sekelas. Ini sebuah kebetulan atau apa? Hahaha.." Pria gendut itu menunjukkan namaku di mading.

Pria gendut itu menyebalkan, dan kenapa aku harus sekelas dengannya?

"Mungkin kau harus tahu namaku karena kita akan berteman. Perkenalkan namaku Oren Altoro." Oren mengulurkan tangannya padaku, aku hanya membalas uluran tangannya dan tersenyum tipis, sepertinya aku sendiri tak perlu mengenalkan diriku karena dia sendiri sudah tahu.

"Jadi sekarang kau mau kemana? Apa ke aula? Sebentar lagi acaranya dimulai kan?" tanya Oren berturut-turut.

"Iya, aku akan ke aula."

"Baiklah. Ayo pergi bersama, kita sekarang sudah menjadi teman, kan?"

Aku bingung harus menjawab apa, aku hanya tersenyum dan mengiyakan saja. Walau Oren begitu menyebalkan karena tingkahnya yang berisik dan asal memutuskan secara sepihak, namun dia orangnya cukup seru dan dia selalu bercerita padaku semua tentang dirinya. Jadi, apakah seperti ini rasanya punya seorang teman?

💠💠💠💠

Para kakak OSIS itu memperkenalkan diri mereka di atas panggung. Aku tak hafal nama-nama mereka karena jumlah mereka yang mencapai sekitar 40 anggota. Aku hanya mengingat satu nama yaitu kak Rizki ketos di SMA Merah Putih ini.

Kak Rizki menjelaskan semua tentang SMA Merah Putih. Aku tidak hafal semua secara rinci, namun aku hafal garis besarnya.

Setelah menjelaskan semua itu dengan panjang-lebar, kak Rizki memberikan tugas pada kami setelah sebelumnya ia membagikan kami menjadi kelompok beranggotakan 5 orang. Dan untungnya aku sekelompok dengan Oren, setidaknya aku memiliki kenalan disini.

Namun, sebenarnya aku juga kenal dengan anggota yang lain, aku pernah melihat mereka tadi. Ketiga orang itu adalah gadis dengan rambut panjangnya yang berwarna coklat serta dikuncir satu, kemudian pria tampan dan pria berkacamata. Aku tak menyangka dapat satu kelompok dengan mereka.

Diantara kami berlima tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Kami hanya saling bertatapan. Aku rasa.. aku tampak tak asing dengan sorot mata mereka. Rasanya aku sangat mengenal mereka..

"Rose, kau kenapa menangis?" tanya Oren tiba-tiba.

"E-eh..!" Aneh, kenapa aku tiba-tiba menangis lagi? Dan.. kenapa rasanya sangat sesak saat melihat mereka? Aku.. tak mengerti.

"T-tidak! Aku tidak menangis!" Aku segera menghapus air mataku dengan seragam ku cepat-cepat, namun sebelum itu ada seseorang yang menyela.

"Jangan gunakan seragammu, gunakan ini," Dia, pria berkacamata itu memberikan selembar tissue padaku.

"T-terima kasih.." jawabku pelan.

"Sebentar.. apa kita pernah saling bertemu? Saling mengenal?" gadis berambut coklat itu buka suara. Apakah dia juga merasakan dengan apa yang kurasakan?

"Entahlah, aku rasa iya, tapi sepertinya tidak," pria berkacamata itu yang menjawab.

"Ah.." gadis itu mengangguk saja.

"Ayo kita berkenalan. Rasanya lebih enak jika sudah mengenal satu sama lain, kan?" ucap Oren, dia memperkenalkan dirinya lebih dulu. "Namaku Oren Altoro, kalian bisa memanggilku Oren."

"Namaku Annasti Mentari, panggil saja Tari gadis yang paling cantik, imut dan lucu," ucap gadis berambut coklat itu dengan penuh kepercayaan dirinya. Aku yang melihat itu hanya tertawa kecil, sedangkan yang lain langsung memasang wajah ketidak sukaan mereka.

"Kau terlalu percaya diri!" Oren tertawa kencang.

"Aku memang percaya diri dan semua ku katakan adalah kejujuran. Aku memang cantik, kan?" Tari berusaha membela dirinya.

"Aku akui kau cantik, tapi aku tak suka dengan sikapmu," ucap cowok berkacamata itu.

"Aku tak peduli kamu suka aku atau tidak, tapi yang pastinya kau menyukaiku, kan?" Tari mengedip-ngedipkan matanya ke arah pria tampan yang berdiri bersebelahan denganku.

"Aku tidak menyukaimu," jawab pria tampan ini.

"Kau jahat sekali.. Jangan berbohong padaku, aku tahu kamu menyukaiku karena kamu selalu memperhatikanku, kan?" Tari menatap penuh harap pada pria tampan ini.

"Tidak!" jujurnya.

"Ayolah katakan saja jika kau menyukaiku, kan?"

"Tidak!"

"Baiklah, kalau begitu aku akan membuatmu menyukai ku!"

"Lakukan saja jika kau bisa!"

"Baik, akan aku lakukan!"

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku pelan. Aku heran dengan tingkah aneh milik Tari, bahkan dia lebih aneh dibandingkan Oren. Namun, ini cukup menghibur bagiku. Mempunyai teman-teman yang berbeda-beda sifat, itu sangat menyenangkan. Aku merasa beruntung karena akhirnya aku memiliki teman seperti mereka.

"Ngomong-ngomong, siapa nama kalian?" Tari bertanya padaku, dan dua orang lainnya.

"A-ah.. Namaku Rose Melvalinda, atau kalian bisa memanggilku Rose," Aku tersenyum tipis, nadaku kecil karena jujur aku malu entah karena apa.

"Namaku Kei William, panggil saja Kei," ucap pria berkacamata itu.

"Apa aku juga perlu?" bukannya mengenalkan diri, pria tampan itu malah bertanya.

"Tentu, atau kau mau aku panggil—"

"Hiro Yunanda, tolong panggil aku Hiro saja," Pria tampan bernama Hiro itu menyela perkataan Tari.

"Namamu bagus!" puji Tari, ia bertepuk tangan.

"Lalu sekarang bagaimana jika kita berbagi tugas?" Kei sepertinya ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, ia tak mau tugas yang diberikan kak Rizki terlambat. Dia memang siswa teladan. Hebat!

"Jangan terlalu terburu-buru, santai saja," Oren meneguk es jeruknya. Ngomong-ngomong, sejak kapan dia membeli es jeruk?

"Kau sepertinya orang yang sering bermalas-malasan! Aku tak sudi jika nanti aku harus satu kelas denganmu!" Kei memandang rendah pada Oren.

Oren tampak tertawa kecil, "Tapi kita berlima satu kelas."

"HAH?!" Mereka semua terkejut, kecuali aku. Walaupun aku juga terkejut mendengarnya, namun aku tak bereaksi berlebihan seperti mereka.

"Lihat, tadi aku foto daftar murid-murid kelas 10 MIPA'1, dan ternyata kita sekelas. Sungguh diluar dugaan," Oren menunjukkan layar ponselnya. Aku tidak melihat ke arah foto yang diperlihatkan Oren, namun aku tertarik dengan ponsel milik Oren. Itu adalah ponsel keluaran terbaru dan termahal sekarang. Mungkinkah Oren adalah orang kaya? Aku menggeleng-geleng takjub.

"Gila! Aku bisa stress jika harus sekelas dengan orang pemalas!" Kei berteriak frustasi. Menurutku Kei adalah pribadi yang ingin sempurna, bahkan dia sampai tak mau satu kelas dengan orang pemalas.

Oren tak mempermasalahkan itu, ia hanya merasa bahwa itu pujian baginya.

"Kalian mau makan dulu?" tawar Oren tiba-tiba.

Aku dan yang lain masih diam, belum paham maksud tawaran Oren, hingga akhirnya pria itu buka suara kembali.

"Tenang, aku traktir kalian gratis sepuasnya!"

"Horeee!!!!!" Aku dan Tari meloncat-loncat kegirangan. Aku senang karena mendapat traktiran, mungkin Tari juga memikirkan hal yang sama? Maaf-maaf saja ya, aku hidup sendiri dan mencari makan sendiri, dan kesempatan ini tak boleh aku lewatkan.

"Em.. Hiro? Hiro mana? Kalian lihat Hiro, gak?" tanya Tari, ia tampak cemas mencari-cari keberadaan Hiro.

Oren tertawa kecil, "Dia sudah pergi duluan ke kantin."

Ah, aku tak percaya Hiro juga menginginkan traktiran itu, bahkan dia sudah pergi duluan ke kantin. Aku tertawa kecil, aku tak menyangka ada sisi Hiro yang seperti ini.

"Aku tidak boleh ketinggalan! Aku takut makanannya kehabisan oleh Hiro!" Tari cemberut, kemudian dia berlari kencang menuju kantin. Tawaku meledak saat melihat tingkah Tari yang sama anehnya. Ini benar-benar lucu.

"Ayo, Rose! Kau tidak ingin ketinggalan juga, kan? Oh, dan kau Kei, terserah kau mau ikut atau tidak," Oren berjalan lebih dulu, meninggalkanku berdua dengan Kei.

Aku berbalik, menatap Kei yang tampak memalingkan wajahnya.

"Aku tidak akan ikut!"

Entah kenapa, namun aku melihat wajahnya yang pucat, mungkinkah dia belum sarapan? Seharusnya dia ikut ke kantin saja agar dia bisa makan, bukan?

"Ayo ikut ke kantin!" Aku tak menunggu persetujuannya, aku langsung menarik tangannya dan segera pergi ke arah kantin.

💠💠💠💠

Aku melempar tasku ke sembarang arah, kemudian merebahkan tubuhku di atas kasur ku. Hahh.. hari ini benar-benar melelahkan. Ya walaupun tugas MOS-nya tidak terlalu sulit, tapi tetap saja ini sangat melelahkan.

Walau hanya meminta tanda tangan seluruh anggota OSIS dan menjawab pertanyaan dari masing-masing anggota OSIS, itu sangat melelahkan karena jumlah anggota OSIS di SMA Merah Putih itu tidak sedikit! Ada 40 anggota OSIS dan mereka menyulitkanku untuk mendapatkan tanda tangan mereka. Ini benar-benar menyebalkan! Aku paling malas jika harus berurusan dengan kakak kelas.

Aku segera bangkit dan bergegas pergi untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku mengecek buku catatanku, membaca ulang tugas-tugas untuk MOS besok.

Selesai mengecek, aku keluar dari rumahku, hendak pergi ke toko. Iya, itu toko bunga milikku. Semenjak aku tinggal sendiri, aku membuka toko bunga membiayai seluruh kebutuhan hidupku.

Aku tercekat saat melihat sebuah bola cahaya berada di halaman rumahku. Itu.. bola cahaya yang pernah menyelamatkanku saat kecil. Jujur aku sangat penasaran dengan bola cahaya ini. Bola cahaya yang misterius.

Aku melangkahkan kakiku, hendak mendekati bola cahaya itu. Namun, selangkah aku maju, selangkah juga bola cahaya itu menjauh dariku. Saat aku mencoba berlari kecil mendekati bola cahaya itu, bola cahaya tersebut juga semakin cepat menjauh.

"Tunggu! Tunggu!"

Aku mempercepat langkah kakiku. Aku tak tahu kenapa aku mau mengikuti bola cahaya itu, seperti.. ada sesuatu yang mengikat antara aku dan dia. Aku tak sadar jika bola cahaya itu membawaku ke dalam hutan. Hingga di tengah hutan, bola cahaya itu berhenti.

Aku berjalan mendekat, saat aku sudah berdiri dihadapan bola cahaya itu, bola cahaya tersebut tiba-tiba menjadi sangat besar dan cahayanya begitu menyilaukan! Aku menutup kedua mataku sesaat hingga cahaya itu kembali menghilang.

Aku membuka kedua mataku kembali. Aku terkejut ketika aku sadar jika sekarang aku bukan lagi berada di hutan. Entah aku dimana sekarang, aku berada di ruangan dengan nuansa warna putih, semuanya benar-benar putih.

Namun, aku baru sadar jika disini aku tak sendiri. Kulihat ternyata ada keempat teman-temanku juga disini!