Chapter 10: Annasti Mentari

"Siapa... mereka?"

Nafasku tercekat menatap 10 orang yang berdiri di atas dinding gerbang dengan jubah hitam dan wajah mereka yang tertutupi topeng.

Tubuhku tidak bisa bergerak sedikitpun saking ketakutannya. Sepertinya, yang lain pun sama takutnya denganku karena mereka hanya diam dan menutup mulut.

"Dengarkan aku, Tuan Kajin, anda harus membawa pergi para warga secara perlahan mulai dari sini, " ucap Kei sambil berbisik pelan pada Tuan Kajin di belakangnya, tanpa menoleh.

"Baik, saya mengerti Tuan Pahlawan Cahaya."

Beberapa jam sebelumnya...

"Mereka akan datang."

"Akh! Itu tidak mungkin! Kei, ayo berpikir positif!"

"Tari, aku lebih suka berpikir logis."

Aku merasa tertampar mendengarnya.

Itu benar. Aku tahu bahwa para pilar akan segera datang esok hari ketika matahari terbit. Hanya saja, aku tidak ingin mempercayai itu.

Berpikir bahwa para pilar akan datang esok, seperti mengatakan pada dirimu sendiri bahwa besok aku akan mati.

"10 pilar adalah lawan yang sulit. Mungkin saja besok kita akan langsung mati."

"Oren!" pekikku ketakutan.

"Itu sudah pasti," Kei menyetujuinya.

Hahh... Mengapa mereka mengatakan hal seperti itu dengan santai?

Apakah mereka tidak menyayanginya nyawa mereka sendiri?

Jadi sejak awal tujuan mereka bukan untuk balas dendam, melainkan bunuh diri?

"Dasar orang-orang gila..." dengusku kesal.

"Hiks! Sudah aku bilang, seharusnya kalian menolak tawaran Ratu Elina untuk balas dendam! Pada akhirnya, kita akan menjadi seperti i—"

"Tidak!" kompak kami berempat menolak ucapan Rose.

"Rose, walaupun aku ketakutan sekarang, aku tidak menyesal memutuskan untuk pergi kesini. Aku tidak akan menarik kata-kataku."

Aku membenci pemikiran Rose. Aku memang memiliki ketakutan yang besar seperti Rose. Aku juga tidak ingin menyia-nyiakan nyawaku begitu saja. Tapi, aku tidak pernah terbesit pemikiran untuk menyesali keputusanku.

"Rose, terima kasih!"

Gadis bersurai hitam pendek itu kebingungan, "Untuk apa?"

"Berkatmu, ketakutan dan keraguanku jadi hilang!"

Bagaimanapun, sejak awal tujuanku adalah balas dendam karena mereka sudah menghabisi nyawa ayah. Aku tidak akan bisa mundur. Bahkan, aku tidak memiliki alasan yang kuat untuk mundur.

"Yang dikatakan Tari benar! Rose, kau juga harus bisa bertekad seperti Tari untuk mengalahkan rasa takutmu! Kau harus memiliki ambisi yang besar untuk membalas dendam pada mereka! Jika seperti ini terus, kau hanya akan terus lari dari kenyataan!" tambah Oren sembari memegang kedua tangan Rose.

Rose yang masih ragu-ragu tampaknya hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk menyetujui.

"I-iya, kalian benar... Aku minta maaf..."

"Tidak apa-apa, aku tahu kau begini karena kamu terlalu baik. Aku bisa tahu isi hatimu begitu pertama kali bertemu. Hatimu selembut salju."

"Oren..." Rose terharu mendengar ucapan Oren.

"Jadi, apa rencananya?" Hiro membuka suaranya lagi.

Aku beralih menatap Kei. Dia tampak tengah memikirkan rencananya dengan keras. Aku tahu, ini sangatlah sulit. Bahkan sepertinya, tidak ada kemungkinan untuk kita bisa menang.

Aku rasa, Kei juga sedang kebingungan sekarang?

"Pertama-tama, kita harus memastikan keselamatan warga dan Kepala Desa terlebih dahulu."

"Bagaimana caranya?" tanyaku. "Apa kita harus kabur sambil membawa mereka? Aku rasa itu sangat tidak mungkin, Kei."

Kei kemudian menatap ke arah Rose.

"Rose, apa kau bisa mengirim Kepala Desa dan yang lainnya ke tempat Ratu Elina berada?"

Rose berpikir sejenak kemudian bersuara lagi, "Aku tidak yakin jika aku bisa melakukannya. Ratu Elina memang sudah mengajarkan itu kepadaku, tapi aku takut itu tidak berhasil."

"Kita tidak akan pernah tahu apakah akan berhasil atau tidak, yang terpenting kamu harus melakukannya, jangan pikirkan hasilnya."

Rose mengangguk-anggukan kepalanya dengan kaku. Aku tahu dia masih ragu-ragu.

"Kei, mengapa kita tidak mengirim mereka sekarang? Mengapa harus menunggu sampai besok para pilar datang? Bukankah itu sudah terlambat? Kita akan kesulitan jika harus mengirim mereka besok," Hiro protes.

"Aku tidak mengatakan bahwa kita akan melakukannya besok, tapi tidak juga hari ini. Kita lihat saat para pilar datang, dan kita akan langsung mengirimkan seluruh Dwarf disini ke tempat Ratu Elina."

"Mengapa kita harus menunggu?"

"Aku perlu melihat situasinya lebih dulu. Jika situasinya mengancam warga, maka saat itu juga mereka akan dikirim ke tempat Ratu Elina berada. Tapi, tempat itu tidak akan cukup untuk menampung banyak orang."

"Apa? Ibukota kan sekarang luas. Bahkan tidak ada siapapun yang tinggal disana kecuali Ratu!"

"Kau benar, Tari. Hal lain yang aku maksud disini adalah sisi negatifnya. Kota tanpa penghuni hanyalah kota mati. Para dwarf akan kesulitan hidup disana. Di Ibukota, tidak ada banyak makanan yang dapat memenuhi semua kehidupan mereka untuk waktu yang lama."

Aku sudah mendengarnya dari Ratu Elina. Ibukota yang biasanya dihuni oleh bangsa peri, sekarang tidak lagi. Penyerangan Kerajaan kegelapan mengakibatkan Ibukota menjadi kota mati. Tidak ada apapun yang bisa dilakukan Ratu Elina saat itu. Kerajaan cahaya benar-benar kalah telak.

Sebenarnya, para peri tidak lah mati. Beberapa dari mereka melarikan diri dan bersembunyi. Sedangkan para peri yang masih tinggal di kota itu, tidak dapat dikatakan hidup, ataupun mati. Mereka tetap ada namun tidak bisa melakukan apapun. Mereka sudah kehilangan energi mereka.

"Tapi kan, mereka bisa memasaknya sendiri?" ujar Oren.

"Kau pikir apa bisa memasak tanpa memiliki bahan-bahannya?"

"Tinggal beli?"

"Mana ada yang berjualan disana?!"

"Oh? Tinggal bawa saja barang-barang yang ada disini."

Kei memegang keningnya yang semakin terasa sakit karena berdebat dengan Oren.

"Apa? Memangnya aku salah bicara?" bingung Oren.

"Oren, yang kamu bilang benar... tapi..." Rose berbicara dengan ragu-ragu, "...Aku melihatnya... Ini, makanan terakhir yang mereka punya."

Mata ku membulat karena terkejut dengan informasi yang didapatkan dari Rose.

"Apa?! Ini makanan terakhir?! Lalu, kenapa mereka berpesta seperti itu?! Harusnya kan dihemat!"

"Aku tidak tahu, tapi sepertinya mereka tidak ingin membuat kita khawatir..."

Aku dapat mengerti sekarang. Pada akhirnya, kami memutuskan mengikuti rencana Kei yang menurut kami rencana terbaik.

Bagaimanapun, aku harus melindungi para Dwarf ini!

"Mundur perlahan-perlahan dan ikuti aku!" Rose berbicara dengan pelan menuntun para Dwarf.

Oren berdiri paling depan. Dia sudah menyiapkan perisai dihadapannya.

Kesepuluh pilar, benar-benar datang pagi ini. Jelas kami akan kalah dengan mudahnya. Tapi, setidaknya aku harus berhasil melindung para Dwarf disini. Setidaknya, kami harus bisa mengulur waktu hingga para Dwarf pergi.

"Rasanya aneh...!"

Aku melihat tubuh Oren bergetar. Dia yang sering bercanda, bisa seserius ini ketika berhadapan dengan lawan yang kuat.

Hiro menelan ludah. "Aku mengerti."

"Apa-apaan ini? Kalian yang disebut pahlawan cahaya?"

BRAKK!

Angin berhembus dengan kencang begitu sosok yang menggunakan topeng dengan huruf C itu turun ke tanah.

Aku tahu, dia adalah Uvult.

"Kalian hanya manusia lemah."

Uvult, gadis itu membuka topengnya dan tersenyum meremehkan pada kami.

Aku berdecak kesal karena tidak suka diremehkan. Itu menyebalkan. Maaf Tuan Kajin, sepertinya aku harus benar-benar memikirkan lagi mengenai permintaan mu untuk membawa dia kembali.

"Uvult, jangan bertindak gegabah."

Itu berasal dari pria yang menggunakan topeng S yang berdiri di tengah-tengah dinding. Aku tidak tahu itu siapa. Mungkin antara Willson dan Caliose? Ah, sepertinya Willson. Pria disebelahnya yang membawa pedang besar barulah Caliose.

"Aku tahu, Aku tahu. Mana mungkin aku menyerang anak-anak manis ini."

Pupil mataku bergetar.

Dia... Uvult tiba-tiba sudah berada di depanku. Dia bergerak cepat tanpa disadari kami, apalagi Oren yang berada di depan. Uvult menyentuh pipiku.

"Anak-anak manusia, kalian sedang main pahlawan-pahlawanan ya?"

SRING!

Hiro bergerak dengan cepat mengayunkan pedangnya kepada Uvult, tapi refleks Uvult lebih cepat sehingga dia dapat menghindar dengan mudah.

Untungnya nyawa ku tertolong karena Hiro! Untung Hiro dengan cepat sadar di saat tubuhku, Kei dan Oren masih membeku karena terkejut!

"Oh? Aku terkejut! Hahaha!"

"Jangan lengah!"

"I-iya!"

Aku terlalu takut. Aku terlalu takut hingga tidak siap untuk apapun. Aku tahu aku harus bergegas bergerak. Aku tidak boleh lengah karena lawan ini bukanlah lawan biasa. Aku bisa mati jika aku lengah.

Tapi, kenapa... kaki ku sangat sulit digerakkan?!

Kenapa... aku ternyata se-penakut ini ya?!

"Hahh..." Kei berulang kali mengambil napas, dan mengeluarkannya.

Dia sama dengan ku. Tapi, Kei jauh lebih tenang.

"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan sekarang, Tari."

"Apa?" tanya ku bingung.

"Tapi, di saat seperti ini, kita harus mengabaikan pikiran seperti itu."

Kei, maaf. Maaf karena aku seperti ini. Aku seharusnya sudah membulatkan tekad ku, tapi saat musuh sudah berada di hadapanku, tubuhku... tidak mau bergerak.

"Tenang saja, kami tidak akan menyerang kalian sekarang, kok!" Dia tersenyum. "Ah, tentu saja, aku sangat ingin membunuh kalian. Tapi jika orang itu dan para senior sudah melarangnya, aku tidak bisa berbuat apapun. Kalian beruntung untuk saat ini."

"Halo! Kalian pasti terkejut ya?"

"Huh?!!"

Oren terkejut karena 2 pilar lainnya itu ikut turun. Mereka adalah pilar tingkat B dilihat dari topengnya.

Siapa mereka? Fredrick? Galileo? Lee?

Sepertinya salah satunya adalah Galileo karena dia membawa tombak di punggungnya.

"Ah! Maaf-maaf! Kami tidak berniat untuk mengagetkan kalian!"

"Kenapa kalian tegang seperti ini? Pfft!"

Mereka benar-benar meremehkan kami. Tapi, kekuatan kami dengan para pilar masih sangat jauh. Kami bahkan tidak bisa menandingi satu pun diantara mereka.

Rose sekarang diam-diam pasti sudah merapal mantra untuk mengirimkan para Dwarf. Cukup bertahan sebentar lagi, dan kami bisa melarikan diri.

"Jangan bertarung."

"Apa ini? Tidak seru ah!" ucap sosok bertopeng B di atas dinding. "Tanganku gatal dan ingin segera membunuh manusia-manusia itu, Senior Willson!"

"Kalian tidak ingat apa yang dikatakan Tuan Ezriel?"

"Tentu saja ingat, tapi..."

Pilar yang menggunakan topeng A tiba-tiba saja sudah berada di dekat Rose.

Aku melotot kaget dengan kecepatannya yang diluar nalar! Aku harus melindungi Rose yang sedang menyelesaikan mantranya.

"...Apa boleh dibiarkan kabur begitu saja? Kita kan, harus mengecek kemampuannya."

Tidak bisa! Aku harus... melindungi mereka! Rencana yang sudah disiapkan Kei, tidak boleh gagal disini!

Aku mulai menarik anak panah, namun sebelum itu terjadi, untungnya Oren sudah berdiri di hadapan Rose.

"Oi! Jangan ganggu mereka!"

"Oh? Si gendut ini tidak takut ternyata—!"

Zian, pilar bertopeng A itu mengeluarkan sihir hitamnya. Namun, segera terhenti karena ditahan oleh dua orang yang menunggangi serigala.

"Hentikan. Patuhi ucapan Willson untuk saat ini. Aku tahu, kamu sedang sangat gatal sekarang."

"Itu benar! Itu benar! Apa yang dikatakan Kak Vixta benar! Jangan terlalu emosi, Zian."

"Ck!"

Dia berdecak kesal sebelum akhirnya menurunkan tangannya.

Aku tidak mengerti apa yang sedang para pilar lakukan. Terjadi pertengkaran diantara para pilar tingkat bawah dengan para pilar tingkat S. Terlihat jelas sekali perbedaan pandangan mereka.

Aku tidak tahu, apakah tujuan para pilar datang kesini bukan untuk mengalahkan kami dan merebut tempat ini kembali. Itu karena... para Pilar S seperti tengah menahan diri.

Apa... perintah Raja Ezriel bukan untuk mengalahkan kami dan merebut kembali wilayah ini?

"Kalau begitu..."

"Tari, walaupun sepertinya mereka tidak berniat untuk bertarung. Kita harus tetap waspada."

"Kei! Bisa tidak berhenti untuk membaca pikiran ku?!!"

"Apa?" bingung Kei.

"Kalian harus berterima kasih atas kebaikan para Senior," Uvult bersuara. "Jika bukan karena kebaikan mereka, kami tidak akan menahan diri.

Apa-apaan itu?! Senyumnya menyeramkan!

Aku bergeridik ngeri. Merinding melihat senyuman Uvult.

SRAATTT!!!

Cahaya terang menembus ke langit. Aku mengerjap-ngerjapkan mata ku beberapa kali. Cahaya terang yang indah sekali. Seperti sedang menyihir, chaaya itu bahkan membuat kami semua terdiam. Itu menakjubkan.

"White magic skill: Move on!"

Rose! Kamu berhasil!

Begitu cahayanya padam, para Dwarf sudah menghilang dari sana.

Tubuh Rose ambruk. Dia terlalu banyak menggunakan mana untuk mengirimkan banyak orang sekaligus seperti itu.

Namun, sebelum dia terjatuh ke tanah, Oren menahannya.

"Kerja bagus, Rose!"

"Oren..."

Mata sayu Rose menatap ke langit-langit. Dia melihat dinding besar yang melindungi desa ini.

"Terlalu cepat untuk merasa senang."

Itu benar! Yang Rose katakan benar! Kami tidak boleh sudah merasa puas dengan hanya mengirimkan para Dwarf ke kota pusat. Kini, masalahnya adalah para pilar disini.

"Hei."

Aku menoleh mendengar suara Kei.

"Pilar tingkat S, sang tangan kanan Raja Ezriel, Willson."

Willson terlihat sedang menatap Kei. Walaupun, aku tidak bisa melihat matanya, aku tahu perhatiannya tengah tertuju pada Kei.

"Saya merasa aneh ketika mendengar layar belakang Anda dari Yang Mulia Ratu Elina. Bukankah aneh melihat penjaga laut kini menjadi pedangnya Negeri Kegelapan?"

Aku tidak tahu kenapa Kei berbicara seperti itu! Yaampun! Aku memang bodoh, tapi kenapa Kei mengomporinya! Jika Willson emosi, maka kita semua tamat disini!

"Kei—!" pekik ku kesal. Aku berbicara dengan suara rendah tapi menekan, "Apa yang kamu lakukan?! Jangan memancing emosinya!"

"Hahh... Lalu apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Willson pada Kei.

"Saya yang akan mematahkan pedang itu."

Dasar! Kei tidak mendengarkan ku!

"Anak itu menarik."

Eh? Apa yang dikatakan orang itu? Menarik katanya? Pada Kei?

"TOLONG YA! KALIAN KAN COWOK!"

"BUKAN ITU MAKSUDNYA, TARI BODOH!"

Duak!

Ck! Sakit! Kei memukul kepala ku cukup keras. Aku meringis kesakitan merasakan rasa sakit di kepala ku.

"Hiks... Kei jahat! Jahat!"

"Wah? Apa yang kau lakukan pada teman perempuan mu?"

Uvult! Dia menolong ku!

"Tolong... Aku kena KDRT hiks..." lirih ku sambil berjongkok dan memegang kepala ku yang kesakitan.

"Tari, tidak bisa membaca situasinya!"

Sekarang, Hiro juga memarahi ku.

"Hiro! Tolong, pacar mu ini di KDRT sama mantan pacarnya..."

"SIAPA YANG KAMU BILANG PACAR?!"

"SIAPA YANG KAMU BILANG MANTAN PACAR?!"

"Huwaaaa! Tolong! Aku di aniaya!"

"Oi! Apa yang kalian lakukan pada Tari?!"

Oren penyelamat!

"Oren...!"

"Jangan kasar sama perempuan!"

"Apa? Sejak tadi aku diam."

"Hahh... Aku lupa, kau juga bodoh, Oren."

"Apa?! Hiro, kau mengatai ku bodoh?!"

"Duh... Kenapa kalian jadi bertengkar... Tenanglah..."

"Hiks!"

Kei, Hiro dan Oren jadi bertengkar adu mulut karena aku. Rose yang masih lemas pun tidak bisa menenangi mereka. Duh! Kita kan sedang perang! Kenapa jadi seperti ini, sih?!

"Pfft! Apa yang mereka lakukan?"

"Pada dasarnya mereka cuma anak-anak manusia biasa! Hahaha!"

Hah?! Sekarang Lee dan Galileo menertawai kami! Para pilar, mengapa jadi menikmati pertengkaran mulut ini?!

"Kalian hentikan!"

Aku beranjak berdiri dan berusaha menengahi mereka.

"Aku memang tidak pernah dididik oleh orang tua ku tapi setidaknya aku tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan!"

"Aku kan sudah bilang aku tidak menyentuh Tari!"

"APA, BOCAH KACAMATA?! KAU PIKIR AKU TIDAK MELIHAT TANGAN MU YANG MEMUKUL KEPALA TARI?! ITU BUKAN MENYENTUH HAHH?!!"

"Itu kan hanya sekali, kenapa begitu mempermasalahkannya?!"

"Walaupun cuma sekali, tetap saja! Kau sudah kasar pada Tari!"

"Aku memukulnya pelan. Itu karena dia membuat ku kesal karena tingkah bodohnya."

"Hahh?!! Bocah kacamata, kau tidak tahu apapun ternyata?! Kau lah yang bodoh! Mau keras ataupun tidak, itu tetap kekerasan!"

"Aku tidak bermaksud menyudutkan tapi, yang dikatakan Oren benar. Kei, ayo minta maaf pada Tari," ucap Rose.

"Aku tahu, aku tinggal meminta maaf nanti."

"NANTI KATAMU?! DASAR BOCAH KACAMATA BODOH! KAU CUMA KUTU BUKU KAN, YA?!!"

"Si gendut ini! Hentikan omong kosong mu!" Hiro itu membantu Kei.

"Oren, kamu sudah keterlaluan. Jangan menambah masalah," peringat Rose.

"APA KAU HIRO? KAU MENGATA-NGATAI KU GENDUT TERUS! SAMA SEPERTI BOCAH KACAMATA INI!"

"ITU FAKTA, GENDUT!"

"KAU—"

Hahh... Mereka sudah kelewat batas!

"KALIAN HENTI—!"

"APA?!!"

Mereka bertiga memotong ucapan ku dengan cepat.

"Jangan bertengkar seperti i—"

"INI KAN GARA-GARA KAMU, TARI!"

"Yaampun kalian kompak sekali! Kalian bertengkar karena aku? Aku kan jadi terharu..."

"Hahahah... Tari..."

Rose menatap ku dengan lelah, sedangkan ketiga pria di kelompok menatap ku seolah... tidak percaya?

"Tari... "

"Iya, Hiro sayang?"

Aku tersenyum. Kenapa Hiro tersenyum dengan wajah seperti itu dan mengarahkan pedangnya ke leher ku?

"Maaf, bro. Seharusnya aku tidak menolong Tari."

Oren, Kei dan Rose menjauhi ku.

Sebenarnya, mereka ini kenapa?

"Duh, pedang ku bergerak sendiri. Sepertinya pedang ku ingin mencari mangsa."

TUHAN! TOLONG! AKU MAU GILA RASANYA! WAJAH TAMPAN HIRO SEKARANG SANGAT DEKAT DENGAN KU!

APA KATANYA? MEMANGSA? YAAMPUN HIRO TERBURU-BURU SEKALI! IMUTNYA!

"BOLEH! Tapi, nanti ya setelah kita pulang."

Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba Hiro menekuk alisnya.

Dia kemudian menyarungkan pedangnya lagi.

"Cewek gila."

"Duh! Jangan menolak perempuan seperti itu! Tidak baik! Tidak baik!"

Uvult menahan Hiro yang hendak pergi mengikuti Oren dan yang lainnya.

"Aku tahu dia bodoh, tapi sepertinya dia tulus!"

"UVULT! AYO KITA JADI BESTIE!"

Entah aku tidak tahu kenapa tapi, rasanya Uvult sedang mendukung ku sekarang.

"Aku juga perempuan, karena itu aku tahu apa yang sedang dirasakan perempuan itu."

Aku dengan Uvult kemudian dengan cepat menjadi teman! Aku mengajaknya untuk melakukan tos.

Walaupun aku tahu dia adalah musuh, tapi entah kenapa kita akrab dengan cepat. Awalnya, aku merasa takut dengan kemunculannya. Tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak merasakan adanya sinyal bahaya dari para pilar ini.

"Apa itu Bestie?" tanya Uvult pada ku.

"Ah, itu artinya teman dekat, atau teman akrab? Seperti sahabat?"

"Oh... Aku baru mendengarnya."

"Apa? Uvult berteman dengan anak-anak manusia?"

"Hohoho! Sungguh tidak bisa dipercaya."

Aku bisa mendengar pembicaraan para pilar lainnya tapi aku tidak peduli.

"Uvult, boleh aku tanya satu hal?"

"Apa itu?"

"Apa... Willson otaknya agak-agak...? Maksudku, dia... tidak menyukai perempuan?"

Uvult mengangguk kukuh. "Sepertinya benar. Senior Vixta dan Senior Vixti saja sudah berusaha dengan keras untuk merayunya, tapi dia tetap saja tidak peduli. Bahkan pada aku yang turunan campuran ini dia tidak tertarik!"

"Ah! Begitu rupanya!"

"Aku saja, tidak menyangka dia seperti itu!"

Prok!

Prok!

Prok!

Aku mengalihkan pandangan ku, menatap ke sumber suara. Itu berasal dari Willson. Willson menepuk tangannya untuk mengalihkan semua perhatian kepadanya.

"Para Pahlawan Cahaya, terutama kau yang berkacamata."

Hah?! Dia benar-benar tertarik pada Kei?

"Cobalah untuk menghancurkan dinding ini dulu. Setelah itu, mari kita bertemu lagi."

Apa? Dia meminta untuk menghancurkan dinding ini?

"Uvult."

BRAKK!

"TARI!"

SRAT!

Tubuh ku membeku saat tiba-tiba Uvult menyerangku dengan palu besar di tangannya. Tapi, aku berhasil terhindar dari serangan tiba-tiba itu karena Hiro menolong ku.

"Uvult kenapa? Bukannya kita sudah menjadi bestie?"

"Cukup periksa saja sampai mana kemampuan mereka."

Setelah itu, Willson menghilang dari sana dengan cepat, dan disusul para pilar yang lain, kecuali Uvult.

"Haha! Aku tahu mereka tidak akan pergi begitu saja..."

"Aku saja, sudah cukup untuk mengalahkan kalian."

"Kenapa?! Bukannya kita sudah menjadi teman?! Kita tidak boleh bertengkar seperti ini!"

"Tari, berdiri di belakang ku!"

Aku ingin berbicara dengan Uvult, tapi Hiro menahan jalan ku. Dia memaksa ku untuk tidak mendekati Uvult sekarang.

"Maaf bestie, aku hanya mengikuti perintah Senior."

"Tapi, kita kan bestie! Bestie tidak menyerang satu sama lain!"

"Begitu, kah? Tapi, aku tidak bisa menolak perintah senior."

"Kenapa?! Jika begitu, kamu kan bisa pergi dari mereka dan kembali kesini! Uvult, Tuan Kajin menunggu mu untuk kembali! Mereka masih mau menerima mu! Bukankah itu lebih baik daripada terikat dengan Raja Ezriel?!"

"Tari..."

Aku tidak mengerti mengapa Uvult sangat mematuhi Raja Ezriel dan para Seniornya di Pasukan Kegelapan. Aku tidak mengerti. Padahal ini waktu yang sangat tepat untuknya kabur.

"... Sepertinya kamu tidak tahu. Aku melakukannya bukan karena aku diperintah oleh mereka, tapi aku menginginkannya. Sayang ya, pertemanan kita cukup sampai disini."

Aku tidak mengerti! Aku tidak mengerti!

Aku tidak mau situasinya menjadi seperti ini!

Padahal kita bisa berteman dan berdamai! Kita tidak perlu saling mengarahkan pedang seperti ini!

Aku yang tidak bisa menerimanya membeku di tempat. Aku tidak dapat bergerak sama sekali.

Aku tidak ingin, saling membunuh dengan Uvult...

Pada saat itulah, Tubuh ku terangkat.

"Dasar bodoh!"

"Hiro?!"

Hiro membohongi tubuhku dan membawa ku pergi dari sana. Dia berlari menjauhi Uvult di belakang yang masih diam di tempatnya. Kami sekarang sudah berada di luar dinding. Kami sudah keluar dari Desa.

"Kita tidak bisa meninggalkan Uvult disana sendirian! Dia sudah menjadi bestie ku!"

"Bodoh! Kau berteman dengannya?! Dia itu musuh, Tari!"

"Tapi, di mata ku tidak seperti itu. Setelah bertemu dengan para pilar, termasuk Uvult, aku tidak begitu merasa ketakutan lagi! Mereka tidak terasa mengeluarkan aura negatif!"

"Hahh?! Apa kau sudah di cuci otak oleh mereka?!"

"Hiro, aku sedang berbicara dengan serius!"

"Sudah! Jangan mengajak ku mengobrol dulu sekarang! Yang paling terpenting, kita harus kabur dulu dari sini!"

"Hahh?! Kenapa harus kabur?! Uvult, tidak—"

"Tari, kau lupa dengan rencana Kei?!!"

Kei memang mengatakan bahwa rencana kita adalah mengirim para Dwarf ke tempat yang aman, lalu sebisa mungkin kita harus kabur dari para pilar. Tapi, sekarang tidak ada para pilar. Hanya ada Uvult saja.

Uvult kan sudah menjadi teman ku...

"Dimana Rose, Oren dan Kei?"

"Mereka sudah pergi lebih dulu. Sebenarnya aku juga ingin meninggalkanmu begitu saja disana! Kau ini benar-benar merepotkan! Bahaya jika kau tertangkap oleh mereka lagi."

"Hiro."

Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Kamu manis sekali!"