Chapter 1 : The Sufferings Choose Me

17 Maret 2013

Ibu, apa salahku? Tak bisakah engkau bertahan menemaniku? Tubuhku baik-baik saja,

Tapi hatiku sakit melihat engkau memilih kematian daripada meraih tanganku.

~ Delora Indriana ~

Dua puluh satu tahun berlalu kemudian angin itu

datang kembali. Ia mengingatkan masa indah namun menyedihkan, kenangan pedih namun tak jua ingin dilupakan, melekat dalam ingatan mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dirasakan.

Seorang gadis yang tak asing nampak berjalan di pekarangan taman, ia memperhatikan setiap sudut lingkungan sekitar dan perlahan dengan tangan mungil yang menjulur gemetar meletakkan setangkai mawar merah di atas tanah dengan tatapan penuh kesedihan.

***

"Ibu, raih tangan Clemi..

Turun dari sana, bu!" Mohonnya.

"Tidak, aku lelah hidup seperti ini! Kenapa Tuhan memberikan aku anak penyakitan di saat aku sendiri tidak mampu menghidupi diriku sendiri? Kenapa Tuhan merenggut suami yang seharusnya membantuku menjadi lebih tegar? Aku tidak sanggup, aku lebih baik mati sekarang!!!" Teriaknya dari atas pinggiran gedung.

"Ibu, Clemi mohon..

Semua akan baik-baik saja. Turun dari sana.." Ia terus berusaha meyakinkan ibunya.

"Ibu, apa salah Lora? Lora minta maaf sebab terlahir berbeda dengan orang lain, Lora minta maaf sebab selalu menyusahkan ibu. Lora janji tidak akan pernah membantah perkataan ibu lagi, Lora janji akan menjadi anak yang baik bu. Tidak apa-apa jika ibu membenci Lora tapi jangan tinggalkan kami seperti ini, Lora butuh ibu.." Menatap sedih, hembusan angin pun menyeka air mata di wajah pucatnya.

"Lora, kamu tidak boleh berada disini. Ibu akan baik-baik saja, kamu kembali ke ruang perawatan sekarang ya.." Bujuk Clemi.

"Tapi, ibu,,," Cemasnya.

"Kalian anak sial! Kenapa aku punya anak seperti kalian? Aku lebih baik mati!!! Aku ingin matiii!!!" Wanita paruh baya itu seketika melompat dari atas gedung rumah sakit.

"Ibuuuuu!!!!!" Kedua gadis polos tersebut serentak berteriak menatap wanita yang mereka panggil ibu sudah terkapar tak bernyawa. Tepat di sudut taman rumah sakit, darah segar mengalir ke berbagai arah, orang-orang pun berkerumun untuk bisa melihat kejadian naas hari itu lebih dekat.

"Kakak, kenapa ibu tidak bergerak?" Tanpa ia sadari darah segar mengalir dari hidungnya kemudian ia terjatuh pingsan.

"Lora!!!" Clemi menggendong adiknya dan secepat mungkin berlari menuju ruangan dimana Lora dirawat.

"Lora biar saya yang tangani, dia akan baik-baik saja untuk saat ini."

"Baik. Titip adik saya, dok.." Clemi berlalu. Dengan setegar mungkin menggunakan semua kekuatannya yang masih tersisa, ia menemui ibunya yang sudah terbujur kaku berselimutkan kain putih di ruang jenazah.

"Aku harap ini semua mimpi, aku berharap ini hanya ilusi. Kenapa ibu diam saja? Ibu pernah mengatakan untuk tidak menyerah pada hal yang kita sayangi. Apa mungkin ibu tidak menyayangi kami? Lora jatuh pingsan, apa yang harus Clemi lakukan tanpa ibu? Apa, bu??" Mata Clemi meremang menatap jasad wanita pucat diatas tempat tidur dengan hati yang terasa seperti tercabik, remuk dan hancur, lama-kelamaan air matanya menetes hingga deru tangis memecahkan suasana hening di ruangan itu.

"Nak Clemi, kamu yang sabar ya nak..

Ini semua ada hikmahnya, relakan ibu kamu. Yang tabah, nak..." Seorang wanita berjas putih menghampirinya, memeluknya erat hingga keduanya larut dalam tangis yang cukup lama.

17 Maret 2013.

Ibu, tahukah engkau..

Hari-hari yang kulewati berlumur debu, pikiranku tak pernah lepas darimu hingga semua hal buruk menyatu layaknya ombak yang siap menghantamku.

~ Clemi Anggilily ~

Nyanyian merdu angin itu terdengar lagi, indah aromanya pun masih terasa sangat menyejukkan suasana, namun apa kabar dengan hatinya? Saat ini ia terkurung dalam keterpurukan dan kebohongan untuk tetap terus tersenyum dengan indahnya. Pernahkah ia mengelak? Tidak, bahkan ia tidak punya waktu untuk sekadar berceloteh tentang takdir dan perihnya luka tanpa ada sedikitpun goresan yang terlihat nyata.

"Kakak minta maaf sebab akhir-akhir ini jarang datang mengunjungi kamu." Sembari menghela nafas memperhatikan keadaan gadis kecil memakai penutup kepala yang terlihat lemah di depannya.

"Kakak tidak perlu repot sering menjenguk kesini, aku baik-baik saja untuk sekarang. Penyakit ini sepertinya sudah mulai bosan berada di dalam tubuhku.." Lora tersenyum namun pantulan bola mata indahnya terlihat jelas menyiratkan kesedihan mendalam.

"Adik kakak ini memang adik terbaik di dunia! Sekarang waktunya kamu tidur siang, kakak harus menemui dokter Ayu. Tidak apa-apa kakak tinggal, kan?" Sembari mengecup kening gadis kecilnya penuh kasih sayang.

"Tentu saja tidak apa-apa, aku bukan anak kecil." Lora langsung memejamkan matanya sesaat setelah Clemi memberikan kecupan manis di dahinya.

***

"Jangan tertipu dengan tingkah ceria dan senyum manis adik kamu, sekarang leukimia yang dideritanya sudah mendekati stadium akhir. Saya tidak bisa menjanjikan kabar baik, kita hanya bisa berserah pada Tuhan. Dua hari yang lalu adik kamu mengalami kejang disertai pendarahan dan kita semua tahu ia sama sekali tidak pernah seharipun merasakan kedamaian selama ini. Saya takut akan terjadi hal yang lebih buruk kedepannya sebab kita tidak bisa memprediksi kapan ia akan mengalami hal seperti ini lagi. Mi, sebenarnya adik kamu memohon agar saya tidak memberitahukan hal ini tapi saya merasa kamu harus tahu keadaannya." Jelas dokter Ayu.

"Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan adik saya, dok? Saya janji akan bekerja lebih keras, saya bersedia berhenti sekolah untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak lagi! Apapun dan berapapun biayanya, saya janji akan berusaha semampu saya! Lora anak yang baik, saya menyayanginya dan tidak ingin kehilangannya. Hanya dia yang saya punya di dunia ini, dok. Hanya Lora.." Air matanya terus menetes meski Clemi berusaha keras membendungnya.

"Kamu tahu sendiri usaha apa yang telah kita lakukan selama ini. Kita sudah berjuang sejak usianya enam tahun, Lora bertahan sampai sekarang pun merupakan sebuah mukjizat. Kita tidak bisa berbuat banyak tapi saya berjanji akan melakukan semua yang saya bisa dan akan terus membantu kesembuhan adik kamu." Dokter Ayu pun memberikan pelukan hangat untuk menenangkan Clemi.

***

Delora Indriana, nama yang terdengar indah namun mempunyai makna penuh kesedihan. Nama itu berasal dari negara Inggris, penulisan aslinya adalah "Delores" yang berarti rasa sedih atau perempuan yang merasa sedih. Nama itu ia peroleh dari sosok ayah yang dulu adalah seorang guru bahasa Inggris namun sayangnya pria itu telah lama pergi bahkan sebelum ia terlahir ke dunia.

Nampaknya, nama itu benar-benar menggambarkan dengan jelas bagaimana kehidupan yang ia jalani.

Sejak berusia enam tahun ia telah divonis mengidap leukimia, bahkan ia tidak tahu bagaimana rasanya bersekolah, bercanda bersama teman atau menjalani kehidupan layaknya anak seusia dirinya.

Hal yang lebih mengerikan lagi adalah seseorang yang ia sebut ibu memilih mengakhiri hidup daripada menemani dan memberinya semangat untuk tetap berjuang melawan penyakit yang dideritanya.

Sedih? Tidak, ini sama sekali tidak menyedihkan tapi lebih buruk dari kata menyeramkan.

***

"Mi, bagaimana kabar adik kamu? Sebenarnya saya dan istri saya ingin mengunjunginya sesekali tapi untuk saat ini kami terlalu sibuk mengurus restoran. Berikan ini padanya saat kamu sudah selesai bekerja, ya." Seraya memberikan bingkisan coklat kepada Clemi.

"Adik saya baik-baik saja..

Ah, bapak dan ibu tidak perlu repot memberikan bingkisan seperti ini kepada Lora, saya jadi tidak enak pada bapak dan karyawan lain."

"Tidak apa-apa, anggap saja hadiah kecil dari kami untuk menyemangatinya." Tambah bu Ana.

"Baik, bu. Terima kasih banyak.." Clemi menerima bingkisan itu kemudian kembali bekerja.

Di sela-sela pekerjaannya, Clemi selalu menyempatkan diri untuk membaca buku pelajaran atau mengerjakan tugas sekolahnya. Disekolah, ia tidak terlalu dikenal sebab ia hanya berharap bisa lulus tanpa harus meninggalkan kesan baik dan buruk kepada semua orang yang mengetahui keberadaannya.

"Mi, apa yang kamu lakukan disini? Bukankah kamu harus mengantar pesanan di meja nomor delapan? Apa kamu lupa?"

"Oh, iya! Maaf, mbak..

Saya akan segera meluncur sekarang!" Clemi tergesa-gesa membereskan bukunya yang berserakan di antara rak piring.

"Kamu ini ya, untung mbak sayang..

Kalau tidak, tahu sendiri akibatnya!" Ketus Desy, Clemi hanya berlalu cengengesan.

"Hm, bagaimana mungkin mbak tega memarahi kamu, Mi? Hidup yang kamu jalani sudah terlalu kejam untuk seorang gadis berusia tujuhbelas tahun. Kalau mbak jadi kamu, mungkin mbak akan memilih mengakhiri semuanya." Gumam Desy pelan.

"Maaf, apa anda yang memesan makanan ini? Disini tertulis untuk meja nomor delapan."

"Ya, kenapa lama banget? Disini katanya GPL, Gak Pake Lama tapi sama aja tuh kayak Resto lain, gak jelas!" Ketus seorang pria tampan yang menatap tajam kearah Clemi.

"Wajahnya lumayan tapi emosian banget sih, cuma telat beberapa menit doang kok." Batin Clemi.

"Saya minta maaf..

Saya akui ini adalah kesalahan saya, lain kali saya akan melayani anda dengan.."

"Ya, ya, yaaa.." Potong pria sinis itu.

"Udahlah, Dan..

Masalah gini aja direpetin, yuk makan.." Ajak salah satu temannya.

"Badmood gue, gak selera liat makanan sampah kayak gini!" Pria yang nampak kesal itu hendak beranjak dari tempat duduknya namun tak sengaja menyenggol tangan Clemi yang sedang memegang mangkuk berisi kuah panas yang mengakibatkan kuah itu tumpah mengenai mereka berdua.

"Anda baik-baik saja? Saya, saya minta maaf. Saya tidak sengaja.." Dengan wajah pucat dan takut, Clemi terus membungkuk mengucapkan kata maaf berharap pria tak bersahabat itu tidak memperpanjang masalah.

"Maaf?? Lo bisa gak kalo kerja yang bener? Liat nih, gara-gara lo baju gue kotor, tangan gue melepuh. Lo bilang maaf? Pikir pake otak! Emang segampang itu bisa minta maaf?" Pria itu mengayunkan tangan siap untuk menampar, Clemi hanya bisa pasrah berharap ada yang menolong dirinya namun orang-orang hanya berlalu lalang menatap sinis padanya.

"Saya benar-benar minta maaf.." Tutur Clemi lagi. Ia memegang pipi kanannya yang terasa panas.

"Ada apa ini?" Pak Anto datang saat mendengar laporan kegaduhan dari karyawannya.

"Maaf pak, ini semua salah saya." Ucap Clemi sembari tertunduk.

"Hey anak muda, apa hak kamu menampar karyawan saya? Saya yang memberi upah padanya dan kamu hanya menumpang makan disini!

Kalau kamu tidak suka dan tidak sabar dengan kerja mereka, lebih baik kamu pergi. Apa kamu tidak punya belas kasihan? Berani-beraninya kamu berbuat seperti itu pada seorang gadis!" Bentak pak Anto.

"Pa, sudahlah..

Malu dilihat pelanggan lain. Kamu tidak apa-apa kan, Mi?" Lerai bu Ana.

"Tidak apa-apa, bu." Jawab Clemi lagi sembari tertunduk.

"Seharusnya bapak bela saya dan memecat karyawan seperti dia. Ini baju mahal! Dia pikir orang rendahan seperti dia bisa beli baju ini? Trus gimana dengan pengobatan luka ditangan saya? Bapak mau tanggung jawab??" Balas pria itu.

"Bro, lo kenapa sih? Nggak biasanya kayak gini, kalo ada masalah cerita sama kita jangan lampiasin ke masalah sepele." Bujuk teman disampingnya.

"Minggir lo, gue nggak terima dibuat gini sama orang rendahan kayak dia!

Lo cuci sampe bersih baju gue!" Pria itu melepaskan kemeja putih yang dipakainya kemudian melempar ke wajah Clemi dan lagi-lagi ia mengayunkan tangan hendak menampar namun teman-temannya menahan dan memaksanya untuk pergi dari restoran tersebut.

"Lepasin, gue bakal kasi pelajaran sama cewek sialan itu. Lepasin gue!!" Hingga akhir pria tersebut terdengar terus berteriak memaki Clemi dan pemilik restoran hingga suaranya lenyap dan suasana kembali normal seperti biasa.

"Heyy, Dan! Daniel!!!

Lo apaan sih? Malu diliatin orang kayak gitu! Lo udah gede, harusnya mikir!" Teriak Hendi saat sudah berada di parkiran.

"Lo yang apa-apaan!! Ngapain lo bela orang gak becus kerja kayak dia? Mau diliatin orang kek, BODO AMATTT! Gausah halangin gue, gue nggak seneng sebelum ngasih pelajaran ke cewek sialan itu!" Daniel hendak kembali ke restoran.

"Udah deh, Dan! Gue tau lo pasti lagi ada masalah, kasian tuh cewek jadi pelampiasan amarah lo! Tadi lo bener-bener udah kasar banget. Sekarang kita balik, oke? Kita balik sekarang!!" Memaksa Daniel masuk ke dalam mobil yang semakin membuatnya kesal namun tetap menurut.

***

"Untuk kejadian hari ini jangan terlalu dipikirkan, kompres pipi kamu pakai ini agar terasa lebih baik." Ucap Desy dalam perjalanan pulang.

"Kapan mbak menyiapkan kantongan es ini? Dari tadi mbak nampak sibuk kesana-kemari, ternyata mbak perhatiin aku ya.." Goda Clemi. Ia tersenyum walau pipi kanannya nampak membengkak.

"Masih bisa becanda ya kamu, mau mbak cubit pipinya??" Seraya mengambil ancang-ancang.

"Ampun mbak, ampun!! Peace!" Serunya.

"Yasudah, mbak pulang duluan ya.

Kamu hati-hati, sampaikan salam mbak pada Lora." Desy berlari mengejar bus yang sudah melewatinya agak jauh.

"Awas jatuh, mbak juga hati-hati.." Teriakan Clemi hanya dibalas lambaian tangan dari dalam bus dan sesaat setelah bus itu melaju, senyum manisnya juga ikut layu meninggalkan wajah sendu.

"Hari ini rasanya sangat melelahkan.

Dari sekian banyaknya hari, apa tidak ada satu hari bahagia untukku? Aku berharap tidak akan bertemu orang seperti dia lagi, apa gunanya penampilan menarik tapi hatinya tidak baik? Dia sombong sekali tapi memang benar bahwa aku tidak akan mampu membeli baju seperti ini, menyebalkan!" Clemi menatap baju kemeja pelanggan yang tadi menamparnya.

"Ibu, apa aku akan bahagia jika memilih jalan seperti yang ibu lakukan? Tapi bagaimana dengan Lora? Bukankah terlalu kejam meninggalkannya sendirian? Hidup yang ia lalui seperti bukan sebuah kehidupan, aku tidak sanggup menerima kebahagian itu tanpanya bahkan aku tidak pantas mendapatkan itu semua." Clemi menghela nafas panjang menyusuri jalan gelap yang suram.

BERSAMBUNG..

Terimakasih telah membaca bagian pertama.

Nantikan part selanjutnya, yaa.