WebNovelDILAMAR(?)100.00%

Part 10

"Ampun deh Yar, meja lo itu kapan sih bisa rapih? Tiap hari tuh meja selalu berantakan, kan gue jadi susah nih mau makannya." Protes Aul kepada Yara karena mejanya tak pernah rapih. Selalu berantakan, buku, binder, pulpen, pensil, juga bungkus ice cream serta choki-choki selalu bersemayam di meja gadis itu. Saat ini mereka ingin makan bersama di meja Yara, namun bagaimana ingin makan bersama jika mejanya saja sudah seperti kapal pecah.

Yara hanya nyengir sedangkan Aul mendengus. Terpaksa Aul yang merapihkan kekacauan di meja sahabatnya itu, agar mereka benar-benar bisa makan bersama.

"Buang-buangin aja lah nih pulpen, buat apaan punya pulpen banyak trus di berantakin tapi nggak mau di beresin." Kembali Aul memarahi Yara karena mejanya yang selalu berantakan.

"Jangan dong, kan gue beli itu semua pake uang sendiri. Masa mau di buang-buangin siih." Rengek Yara karena Aul ingin membuang pulpen-pulpen kesayangannya itu.

"Udah sih, katanya pada mau makan kenapa malah pada ribut begini coba. Mending kita beresin nih semua pulpennya biar bisa cepet makan, udah pada laper kan?" Sesil menengahi kedua sahabatnya itu, dan mereka pun bergegas membereskan kekacauan di meja Yara.

Biasanya pada jam istirahat, Yara dan kedua sahabatnya selalu ke kantin bersama dengan Risa, Caroline, juga Emi. Dan seperti biasa pula, Yara pasti mampir ke koperasi sekolah untuk membeli cemilan kesukaannya, apalagi kalau bukan ice cream rasa strawberry dan choki-choki. Pada saat makan bersama di mejanya Yara pun, memang selalu mejanya Yara yang di penuhi oleh makanan.

Saat tengah asyik menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba gerakan itu terhenti karena Yara teringat akan sesuatu. Hal ini yang terus mengganjal di hatinya sepanjang malam, ia terus memikirkan hal ini. Laki-laki itu, laki-laki itulah yang terus terbayang diangannya selama semalaman penuh.

"Eh Ul, gue mau nanya deh."

Aul berhenti menyuapkan nasi ke dalam mulutnya lalu beralih menatap Yara. "Nanya apaan?"

Yara memainkan sendok plastik di tangannya, terlihat menimbang-nimbang tentang bagaimana cara ia menanyakan hal ini. Sedangkan Aul, masih setia menunggu pertanyaan dari Yara.

Yara menghela nafas, menyerah dengan semua pikiran-pikiran yang berkeliaran di otaknya. "Itu...hmmm...yang kemaren itu..yang sama abang lo, dia siapa deh?" Tanya Yara kemudian.

Aul mengernyit dan kembali memutar memorinya ke kejadian sore kemarin. Lalu ia tersenyum, setelah mendapati siapa sosok yang di maksud oleh Yara. "Oh...itu. Dia calon imam gue, kenapa emang?" Jawab Aul enteng sambil tersenyum jahil. Sesil melihat senyum Aul itu, dan ia bertanya melalui gerakan mulut apakah Aul beneran atau hanya sekedar bercanda. Aul pun menjawab pertanyaan Sesil dengan gerakan mulut pula kalau ia sedang bercanda.

Yara menghela nafas panjang, kemudian ia meletakkan sendok makannya dan menjauhi makanannya itu. Hilang sudah nafsu makannya. Aul yang melihat reaksi Yara seperti itu pun semakin tersenyum jahil dan Sesil hanya mampu menahan tawa agar rencana Aul tidak gagal.

Yara terlihat berfikir mengenai sesuatu, lalu ia tersenyum dan kembali bertanya kepada Aul. "Dia calon imam lo? Emangnya lo udah dapet restu Ul dari keluarga lo? Secara lo aja SMA masih belom lulus."

Aul tersenyum mendengar pertanyaan Yara. "Udah. Yaa tinggal tunggu gue lulus SMA apa susahnya coba. Kalo lo nggak percaya tanya aja sama Bang Al, buktinya kemarin dia ikut jemput gue bareng Bang Al." Aul menjawab pertanyaan Yara dengan tenang dan santai, sama sekali tidak menunjukkan tampang bercandanya. Dan Yara pun semakin percaya dengan perkataan Aul, Yara sendiri merasa aneh dengan dirinya. Mengapa ia seperti merasa kecewa saat tahu bahwa laki-laki tersebut merupakan calom imamnya Aul, seharusnya ia bahagia mendengar kabar itu. Lagi pula, sudah ada sosok Ardi bukan, yang selalu setia berada di sisinya dan membimbingnya menuju kebaikan. Ini aneh sekali pikir Yara. Tak seharusnya ia merasa sakit hati seperti ini, seperti separuh dari dirinya telah hilang entah kemana setelah mendengar pernyataan itu.

Melihat ekspresi Yara yang semakin termenung, Aul semakin giat untuk menjahili sahabatnya itu. "Oh iya, sabtu depan gue mau ketemu sama dia, ada hal penting yang mau di bahas gitu deh. Lo mau ikutan nggak? Ada abang gue juga kok nanti."

Mendengar itu, membuat Yara semakin merasa sakit hati. Entah kenapa dia merasakan hal itu, padahal ia saja tidak kenal dengan laki-laki itu. Yara kembali termenung, dan sama sekali tidak melanjutkan makan siangnya.

Aul semakin tersenyum jahil. Sesil semakin tertarik dengan topik yang tengah di perbincangkan ini. "Emang kapan Ul lo mau nikah sama tuh cowo?" Sesil ikut menambahkan guyonan Aul agar terkesan nyata.

"Tunggu aja, pokoknya tiba-tiba gue sebar undangan aja. Palingan abis UN gue ngadain akad nikah sama dia." Ucap Aul mantap sambil melirik jenaka ke arah Yara, sedang yang dilirik masih setia menatap kosong meja sekolahnya.

"Wiih selamat yaa, semoga kalian jadi keluarga yang sakinnah, mawaddah, warohmah." Sesil berdiri lalu memeluk Aul. Dalam hati Aul dan Sesil terkikik geli melihat tampang nelangsa sahabatnya itu.

Sesil menoleh dan mendapati Yara semakin termenung di bangkunya. "Lo nggak mau ngasih ucapan selamat Yar ke Aul? Dia bentar lagi mau nikah loh." Pancing sesil.

Yara mengangkat wajahnya dan tersenyum masam, lalu berdiri juga memeluk Aul. "Selamat ya Aul, semoga kalian jadi keluarga yang samawa." Ujar Yara sambil berusaha menahan nyeri di hatinya. Entah kenapa saat ia mengucapkan kalimat itu, rasanya seperti ada ribuan bahkan jutaan jarum yang menusuk hatinya hingga terasa perih.

Yara kembali duduk di bangkunya dengan wajah yang masih nelangsa. Ia kembali mengehela nafas panjang, rasanya punggung badannya berat sekali. Seperti menahan beban tak kasat mata yang sangat berat.

"Lo kenapa Yar? Kok kaya nggak suka gitu denger gue mau nikah sama dia. Lo nggak ikhlas? Atau lo mau ngerebut dia? Yaa..nggak apa-apa sih kalo lo mau ngerebut dia dari gue, gue terima-terima aja. Coba aja lo rebut dia dari gue, itu pun kalo dia nya mau sama lo." Ujar Aul kepada Yara.

Mendengar itu, Yara semakin pias dan nyeri di hatinya semakin bertambah. Biar bagaimana pun juga, perkataan Aul ada benarnya. Mana mungkin laki-laki seperti dia mau menikah dengan dirinya. Jika dibandingkan dari segi penampilan, Aul jauh lebih unggul darinya. Aul tinggi dan berkulit putih, jadi cocok saat bersandingan dengan laki-laki itu karena tinggi mereka hampir sama. Berbeda dengan Yara yang tidak terlalu tinggi dan berkulit hitam manis, akan terkesan seperti majikan dan pembantu apabila ia bersandingan dengan laki-laki itu nantinya. Dilihat dari segi agama pun, ia sangat jauh di bawah Aul. Aul merupakan hafidz Al-Qur'an 5 juz, sedangkan ia? Membacanya saja masih terbata, apalagi menjadi seorang hafidz Al-Qur'an.

Tak kuasa melihat wajah pias sahabatnya, Aul dan Sesil pun tertawa hingga menteskan air matanya karena mereka berhasil mengerjai Yara. Yara menengadah dan mengernyit heran melihat kedua sahabatnya itu tertawa sampai segitunya, apa yang mereka tertawakan batin Yara.

Aul menghapus air mata yang mengalir di pipinya dan berusaha mengontrol tawanya agar tak kembali lepas, Sesil pun demikian.

"Lo percaya Yar, sama apa yang gue bilang barusan?" Tanya Aul yang masih berusaha mengontrol tawanya.

Yara mengangguk polos. Melihat itu, Aul dan Sesil kembali tertawa. Yara semakin mengernyit heran. "Kalian kenapa ketawa sih?" Tanya Yara akhirnya yang benar-benar tidak mengerti dengan kedua sahabatnya ini.

"Ya ampun Yar, kenapa sih lo itu polos banget. Gampang di culik lo nantinya." Sesil kembali tertawa melihat ekspresi Yara yang seperti tidak mengerti apa-apa.

Aul mengontrol sisa tawanya, lelah juga tertawa selama itu. "Gue bercanda Yar." Ujar Aul demikian.

Yara mengernyit, ia semakin tidak mengerti dengan perkataan Aul. "Bercanda? Bercanda apanya deh?"

"Gue bercanda soal cowo itu." Aul kembali menjelaskan.

Sedangkan yang di jelaskn masih tetap tidak mengerti dan kembali memasang tampang tak berdosanya tanda ia masih tidak paham. Melihat itu, Aul pun menepuk jidatnya. "Astaghfirullah.. sebel aja gue kalo dia lagi kumat lola nya."

Sesil tertawa melihat Aul yang gemas karena Yara yang tak kunjung paham dengan penjelasan Aul. "Ya gitu deh Ul, namanya juga Ayara Zameena Ibrahim, emang kadang suka lemot otaknya." Sesil kembali tertawa melihat ekspresi kesal Yara karena di bilang lemot.

Yara menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Gue nggak lemot ih. Otak gue itu kadang cuma connecting baru connected, bukan lemot." Protes Yara tidak terima dirinya dibilang lemot.

"Sama aja!!" Jawab Aul dan Sesil berbarengan.

Yara bersedekap dan merajuk layaknya bocah kecil. Aul mengalah, dan ia menjelaskan semuanya kepada Yara bahwa ia hanya bercanda tadi. Dan ia pun menjelaskan siapa laki-laki yang dimaksud Yara itu, dia adalah sahabat dari Bang Al namanya Akram.

Yara masih terdiam, berusaha mencerna dengan baik setiap kata yang di ucapkan oleh Aul. Ya beginilah Yara, apabila lemotnya sedang kumat, maka apapun yang di dengarnya akan lama di cerna oleh otaknya.

15 menit telah berlalu, bel masuk pun telah berbunyi. Semua murid bergegas kembali ke bangkunya masing-masing, nasi yang di beli Yara tadi kembali di bungkusnya untuk di makan di jam istirhat kedua nanti. Guru mata pelajaran yang bertugas pun sudah masuk ke kelas. Pelajaran telah di mulai, semuanya berjalan dengan lancar. Di tengah-tengah keheningan yang terjadi, tiba-tiba saja Yara menggebrak meja sekolahnya sambil berteriak "Gue paham!!" Aul dan Sesil hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.

Sadar bahwa dirinya menjadi tontonan sekelas dan sudah di pelototin oleh gurunya, Yara meminta maaf dan kembali terduduk. Yara mengguncang kursi Aul sambil berbisik. "Aul gue ngerti tadi lo ngomong apa. Jadi lo cuma bercanda? Dia bukan calon imam lo kan Ul?" Tanya Yara memastikan kebenarannya. Aul hanya diam di tempat sambil menepuk jidatnya. Begini amat sih punya temen pikir Aul dalam hati.