Sudah tiga hari tiga malam kami menghabiskan waktu libur di tepi pantai. Teman-temanku terlihat sangatlah menikmati liburan mereka kali ini. Tetapi rencana yang telah aku susun, belum juga dapat aku laksanakan.
Tujuan aku mengajak mereka liburan di sini sebenarnya aku ingin menjadikan Ana sebagai pacarku. Bahkan kalau dia mau akan aku jadikan istriku. Tetapi aku harus tetap bisa mengontrol perasaan ku.
Walaupun dia hanya perempuan sendiri di tempat liburan kami ini, dia bisa menyiapkan makanan buat kami dua puluh orang laki-laki yang porsi makannya bisa dibilang sangat sangat jumbo. Ya walau makanannya tidak semua Ana yang membuat, paling Ana masak hanya buat sarapan saja. Makan siang dan malam aku menyuruh dia memesan makanan dengan layanan pesan antar makanan.
"Dia sangat menikmati peran dia sebagai ibu dan juga istri" pikir ku sambil senyum senyum sendiri memperhatikan dia yang sedang sibuk masak sarapan di dapur.
Di satu sisi dia bisa terlihat, di satu sisi dia juga bisa terlihat seperti perempuan tomboy yang jago silat. Kalau ada yang macam-macam sama dia, pasti kuda kuda sudah dia siapkan. Dan sikap setia kawannya juga membuat dia terlihat lebih istimewa. Walaupun yang dia tolong adalah laki-laki, dia pasti akan menolong selama yang dia tolong dalam keadaan yang terpojok.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku sambil masih tetap duduk manis di kursi meja makan yang ada di tengah dapur itu.
"Tidak usah, bukannya ngebantu nanti malah kerjaan dua kali" kata dia masih tetap memunggungiku.
Ana memang orang yang sangat tidak mau menerima bantuan apapun dalam hal apapun. Walaupun dia tahu orangtuaku kaya, dia tidak pernah memanfaatkan semua tawaran yang aku berikan padanya. Terkadang malah sempat aku berfikir Ana tahu tentang penyakit ku. Walaupun sudah tiga tahun kita kuliah di tempat yang sama, Ana tidak pernah menyentuh ku sama sekali. Tidak seperti gadis-gadis lain dari fakultas yang lain, yang ketemu langsung pengen cium pipi kanan pipi kiri. Untungnya ada Andre, dialah satu-satunya orang yang tahu penyakit ku. Dan aku minta Andre untuk merahasiakannya dari siapa pun, termasuk Ana.
"Pokoknya hari ini aku harus berhasil menyatakan cintaku pada Ana" dumel ku dalam hati dan belum juga pindah dari tempat dudukku. Aku masih asyik memandangi Ana yang terlihat sangat manis saat sedang memasak. Apalagi yang Ana masak kue bolu tape kesukaanku. Ana sangat tahu makanan kesukaanku. Aku tidak terlalu suka masakan ala ala barat, lidahku lebih cocok masakan Indonesia karena bi Inah selalu memasak masakan khas Indonesia.
Ini sudah percobaan yang ke dua puluh kali aku mencoba menyatakan cintaku. Dari yang spontan tanpa persiapan sampai yang dengan persiapan yang menurutku suah sangat matang.
"Dalam satu tahun aku mencoba nembak dia dua puluh kali, padahal setahun cuma ada dua belas bulan" pikirku sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Ting…. " oven listrik berbunyi tanda kue yang Ana buat sudah matang. Dengan berlahan Ana mengeluarkan kue tersebut dari dalam oven.
"Mau coba duluan ga?" tawar Ana pada ku sambil menata kuenya di atas piring. Entah apakah ini hanya perasaan ku saja, selama aku duduk di sini tidak sekalipun Ana melihat ke arah ku. Bahkan saat dia menawarkan kuenya tadi dia hanya melihat ke piring yang berisi kue buatannya.
Aku berjalan ke arah Ana tanpa ragu, dan sekarang aku ada persis di sampingnya. Antara ragu, takut dan senang, rasa itu bercampur jadi satu sekarang.
"Ambilin dong kuenya" kataku manja sambil melihat ke arah Ana.
Lalu Ana potong bagian kecil untuk ku, dan diletakkannya kue tersebut di atas piring kecil.
"potong-potong kecil lagi dong, biar gampang makannya" godaku berharap dia mau melihat ke arah ku walaupun dengan ekspresi kesal.
Tapi tetap aja dia terdiam sambil memotong kecil kuenya seukuran satu kali suap masuk ke dalam mulut.
"garpu nya mana?" tanyaku lagi.
Ana pun mengambil garpu dan meletakkannya di samping piring kue. Sebelum garpu terlepas dari tangan Ana, ku raih tangan Ana dengan cepat dan menuntunnya untuk mengambil kue lalu menyuapkannya ke mulutku.
Debaran yang luar biasa aku rasakan dari jantungku, dan aku harap Ana tidak mendengarnya. Jantung ku berdebar sangat kencang bukan hanya karena memegang tangan Ana, tapi juga karena khawatir aku akan pingsan setelah aku melakukan ini.
Ana pun akhirnya melihat ke arah ku. Bukan warna merah merona yang keluar dari wajah Ana. Padahal biasanya dengan satu ucapan sayang saja wajah Ana berubah jadi merah. Tapi yang terlihat ekspresi wajah heran, dengan alis yang naik ke atas dan mulut yang sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.
Karena detak jantungku berdebar makin kencang, akhirnya aku lepas tangan Ana. Aku tidak tahan menahan rasa yang baru aku rasakan selama hidup ku. Gimana tidak selama SMP dan SMA hanya ada di dalam rumah, tidak mengenal lawan jenis yang seusia dengan ku. Terakhir yang aku kenal cuma bu Ani, salah satu guru ku. Itu juga setelah pertemuan ke empat yang membuat aku pingsan, dia tidak pernah lagi datang ke rumah.
Ana masih terdiam di tempat dia berdiri, seperti orang yang siap-siap untuk menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Kalau aku melihat tingkah laku Ana, aku yakin Ana pasti tahu tentang penyakitku. Dasar Andre ya, suruh dirahasiakan tapi masih juga Ana diberitahu.
Aku baru tersadar satu hal, kenapa aku belum pingsan ya. Padahal lumayan lama aku memegang tangan Ana tadi. Kemudian aku perhatikan tubuhku, tidak terlihat tanda tanda kambuh. Tidak ada reaksi apa-apa.
"Apakah benar tidak ada reaksi apa-apa?" gumamku dalam hati.
Lalu dengan ragu akhirnya aku memberanikan diri untuk memegang pipi Ana yang masih terlihat tegang.
Ana pun memegang tanganku yang menempel di pipinya. Bukan untuk menepis tanganku, tapi tangannya memegang erat tanganku. Hangatnya tangan Ana meningkatkan rasa penasaran ku untuk melakukan hal yang lain yang sudah lama aku pendam. Aku mulai memberanikan diri untuk mendekati wajah Ana. Ku letakkan tangan ku di pinggang Ana, dan menariknya hingga tidak ada lagi jarak di antara kita. Wajah kami sekarang hanya berjarak lima senti, jarak yang pas untuk mencium bibir Ana yang mungil dan merah merona.
"hmmmm…. Wangi banget ya bau kue bikinan Ana" kata Rian yang tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dapur tempat kami berada.
"Hai bro, ngapain lo cuma duduk di sini aja sih! Tumben ga ikut main basket sama kita kita. Kurang seru ga ada lo" Kata Dika sambil memukul ringan bahu ku.
"Iya, dari kemarin kayaknya lagi ga semangat banget sih?" timpal Roy yang menarik bangku di sampingku dan duduk santai di sana.
Aku masih terdiam tidak menjawab satupun pertanyaan mereka.
"Jadi kejadian yang mendebarkan tadi?" otakku terus bertanya-tanya.
"Iya, Bagus daritadi ngelamun aja. Ditanya mau kue juga diam aja!" kata Ana sambil membawa kuenya dan meletakannya di atas meja makan. Dan kuenya masih utuh belum ada yang makan.
"Nih makan kue aja, jangan melamun yang tidak tidak" kata Ana lagi sambil menyodorkan piring kecil berisikan potongan kue.
"Kok buat bagua aja yang dipotongin, gua juga mau kali" protes Roy yang ingin diambilkan kue juga. Ana pun memotong satu bagian lagi dan diletakkan di piring kecil lainnya.
"Buat kamu…." Kata Ana sambil menyodorkan piring tersebut ke Roy "ambil sendiri" lanjutnya sambil berputar 180 derajat dan membawa pergi piring itu pergi. Yang lain tertawa melihat tangan Roy yang sudah siap menerima kuenya, tapi hampa yang dia terima.
Ana lalu pergi ke arah meja dapur dengan beberapa kursi bar berjajar di sana. Andre juga duduk di sana sambil meneguk segelas air putih. Ana mengambil duduk di sebelah Andre. Kemudian dia memotong kue tersebut dan siap memasukannya ke dalam mulutnya. Tapi tiba-tiba tangan Andre menyambar tangan Ana dengan cepat dan kue yang harusnya masuk ke mulut Ana beralih pindah ke mulut Andre. Aku sangat geram melihat kejadian itu. Yang lain tidak ada yang memperhatikannya karena sedang sibuk melahap kue dari piring secara berebut.
Aku yang kesal melihatnya, langsung melangkahkan kaki ke arah Ana dan duduk di sisi lain sebelah Ana. Aku ikut mempraktekkan yang Andre lakukan tadi, setelah kue itu masuk ke dalam mulutku aku ambil garpu yang dipegang Ana kemudian aku meletakan garpu tersebut di atas piring. Tanganku masih memegang tangan Ana, dengan sambil mengambil sesuatu dari dalam saku ku yang memang sudah aku siapkan sebelum sampai di sini. Tapi belum sempat barang itu keluar dari saku ku, aku sudah tersungkur jatuh ke lantai. Semua langsung berlari ke tempat ku terjatuh. Dan beberapa orang langsung membopong tubuh ku ke dalam kamar.
Andre yang tahu penyakitku, menenangkan semua orang agar tidak panik. Dan meminta Ana untuk mengambilkan air putih hangat.
"tenang aja, paling dia cuma pingsan karena kurang tidur dan kurang gerak" kata Andre berusaha menyembunyikan penyakitku.
"Udah biarin aja dia istirahat, bentar lagi juga dia sadar" kata Andre lagi, dan meminta yang lain untuk keluar dari kamar. Andre khawatir kalau saja ada yang sadar kalau aku bukan pingsan biasa. Karena itu dia segera menyelimuti badanku hingga tertutup semua.
Setelah yang lain pergi, Ana masuk ke kamar dengan segelas air di tangannya
"Bagus kenapa ndre?"Tanya Ana sambil menyerahkan air hangat dan sendok. Tapi Andre tidak menjawab. Dia hanya membongkar tas ranselku, dan menemukan obat ku di sana. Kemudian dia gerus dan mencampurkannya dengan sedikit air lalu memasukan ke dalam mulut. Dan memasukan air hangat sedikit demi sedikit sampai yakin obatnya masuk ke dalam.
"Kita tunggu aja, semoga saja obatnya cepat bekerja" kata Andre.
"Obat apa itu?"Tanya Ana penasaran.
"Obat bawaan bagus, dia selalu bawa obat ini. Tapi gua ga tau obat apa ini" jawab Andre masih berusaha menyembunyikan penyakit ku seperti janjinya.
"Udah kamu istirahat aja sana, capekkan habis bikin kue?" kata Andre meminta Ana untuk keluar, agar Ana tidak sadar dengan perubahan yang terjadi pada tubuhku.
"ga papa, aku mau nemanin bagus aja di sini" kata Ana sambil duduk di pinggir tempat tidur bagian bawah. Lalu merapihkan letak selimut yang sedikit terbuka.
"Oke lah, gua istirahat ya, capek" kata Andre sambil merenggangkan otot dengan menarik kedua tangan setinggi-tingginya ke atas. Andre yakin Ana bukan orang yang kepo dengan keadaan orang, dia pasti tidak akan berani membuka selimut bagus. Dan memang badannya sudah sangat lelah setelah tanding basket tadi.
***
Ana prov
Waktu sekarang menunjukan pukul delapan malam. Artinya sudah hampir sembilan jam bagus tertidur. Tadi saat jam tiga sore bagus sempat membuka matanya, tapi tidak lama kemudian dia tertidur lagi. Sepertinya karena dua malam ini dia kurang tidur, ku lihat dia sering banget terjaga dan berdiri di luar dengan menatap ke arah laut. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Bagus Aditiya Nugraha, siapa yang tidak kenal kamu. Sejak SMP kamu sudah sangat terkenal, apalagi saat diperguruan tinggi dengan julukan tangan dewa semakin membuat kamu terkenal. Sayangnya kamu baru sadar akan keberadaanku saat dua tahun yang lalu. Sedangkan aku sudah sangat kagum padamu sejak kita satu SMP.
Wajah tampan, hidung mancung, dagu runcing dan bibirnya yang seksi. Apalagi lesung pipi sebelah kirinya yang terlihat jika dia tertawa. Rasanya aku perempuan yang beruntung yang bisa melihatmu sepuasnya saat kamu tidur seperti ini. Ingin terus di sini melihat pemandangan yang jarang ku lihat. Tapi jika mata itu terbuka, aku tidak bisa lagi melihat kamu sepuas ini.
"Oke ayo bangun Ana, sudah waktunya menyiapkan makan malam. Sudah sangat telat ini" Kataku memberi semangat diri sendiri sambil bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu. Tidak jauh dari kamar bagus aku lihat Andre sedang jalan mendekat.
"kalian sudah pada makan malam belum?" tanyaku pada Andre. "Udah, tadi kita beli nasi goreng yang kebetulan lewat di depan. Tadi kita sempat keluar dari villa sebentar" Jawab Andre.
"ooooo, okelah kalau begitu" lanjutku tenang, "Kamu mau makan apa? Mau dibeliin?"Tanya Andre lagi sebelum aku berjalan meninggalkan dia.
"gak usah, mau masak bubur aja. Siapa tau bagus bangun mau makan, tapi sepertinya yang lembut dulu makannya" jawabku.
"bagus belum bangun" Tanya Andre
"tadi jam tiga sempat bangun, tapi tidur lagi" jawabku.
"temenin bagus ya, aku mau masak dulu" lanjutku.
Andre hanya menjawab dengan melingkarkan jari menemukan ibu jari dengan telunjuknya.Dan diapun berjalan ke kamar bagus.
Sesampainya di dapur, aku langsung melihat kulkas mencari bahan apa saja yang bisa aku campurkan di buburnya nanti. Ternyata hanya ada ayam dan beberapa bumbu pelengkap. Sepertinya hanya bisa jadi bubur ayam sederhana. Seperti biasa setelah ayam dibersihkan kemudian ayamnya direbus sampai kaldunya keluar. Setelah ayamnya ditiriskan, aku lanjut menggodok beras dengan air kaldu dan beberapa bumbu sampai airnya habis dan tekstur buburnya sudah terlihat lembut. Ditutup sebentar dengan api kecil agar lebih matang buburnya. Sudah siap, lalu sajikan dengan ayam yang sudah digoreng dan disuir suir halus agar wisnu mudah menelannya. Dan bumbu pelengkap lainnya sengaja tidak dicampur, takut bagus masih kurang enak untuk makan makanan yang terlalu asin atau manis.
Nampan yang berisi bubur dan bumbu yang terpisah aku bawa ke kamar bagus. Dengan harapan bagus sudah bangun, dan sudah merasa lapar karena tadi siang dia tidak makan apapun. Aku berjalan hati-hati agar buburnya tidak berceceran. Sesampainya di kamar bagus aku mendengar suara bagus dan andre yang sedang berbicara.
"Ana tidak tahukan ya?" Tanya bagus, sekilas terdengar sesampainya aku di depan pintu kamarnya. Dan itu membuat langkah kakiku terhenti.
"Tenang bro, Aman" Jawab Andre.
"Syukurlah" kata bagus lagi.
"Nekat banget lo bro, udah tahu…." Kata Andre terhenti karena sepertinya bagus melihat bayanganku di balik pintu kamarnya. Dan meminta Andre untuk diam.
Aku lalu membuka pelan pintu kamarnya, "Boleh masuk?" Tanyaku
"Tentu saja boleh tuan putri" jawab bagus. Entah kenapa bagus yang di kampus dengan bagus yang di SMP jauh sekali berbeda. bagus yang sekarang terlihat seperti pria penggoda atau lebih tepatnya seperti playboy. Aku lebih suka bagus yang di SMP, dan sekarang hilang kemana.
Aku melangkahkan kaki ke dalam, dan meletakkan nampan berisi bubur di atas nakas. "makan buburnya ya, hati-hati masih sedikit panas" kataku.
"Jangan minta disuapin ya!" potongku karena mulut bagus sudah mulai terbuka untuk mengucapkan sesuatu. Dia hanya tersenyum, dan terlihat lesung pipi di bagian kirinya. Aku langsung berjalan menuju pintu dan menutupnya dari luar. Aku tidak tahan melihat senyumnya itu, bisa-bisa muka aku berubah jadi tomat segar.
Sebelum sempat jauh aku meninggalkan kamar bagus sempat terdengar suara bagus.
"sepertinya kali ini gagal lagi" kata bagus
"sabar ya bro, lo sehat aja dulu" Andre terdengar membalas ucapan bagus, dan sepertinya Andre tahu apa yang sedang di rencanakan bagus. Apa yang gagal ya? Apa yang tidak boleh aku ketahui. Sudahlah aku tidak boleh terlalu mencampuri yang bukan urusan aku.