Jakarta, Agustus 2019
PAGI ini langit tampak begitu cerah, awan putih berkerumun menghiasi langit. Kicauan burung di pagi hari, suara ayam berkokok, dan juga bunyi nyaring dari jam weker berwarna hitam yang terletak di atas meja samping kiri tempat tidur, tidak juga membangunkan gadis yang saat ini masih bergulung di atas kasur.
Nafasnya yang teratur, matanya yang terpejam rapat membuat dia tampak begitu nyenyak dalam tidurnya. Membuat siapa saja yang melihatnya, mengurungkan niat untuk membangunkan gadis itu.
Tapi jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, itu artinya gadis ini harus segera bangun dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.
"Non, bangun. Udah siang, Non harus sekolah," itu suara Bi Inah, ART yang sudah bekerja hampir tiga belas tahun lamanya.
Gadis itu tidak juga bangun, hanya bergumam sebentar lalu melanjutkan tidurnya.
"Non, Dhifa bangun," ucap Bi Inah sambil menggucangkan tangan dan kaki gadis yang bernama Dhifa ini.
"Apa sih, Bi," sahut Dhifa dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka.
"Akhirnya bangun juga," batin Bi Inah. "Non gak ke sekolah?" tanya Bi Inah.
"Sekolahlah, emang ini jam berapa?" tanyanya.
"Jam enam, Non."
"Masih jam enam, Bi. Saya, kan masuk jam tujuh!"
"Tapi, kan, Non harus sarapan, mandi, siap-siap, belum lagi kalo macet, Non."
Dengan malas Dhifa bangun dari tidurnya. "Bibi keluar, saya mau siap-siap."
Bi Inah mengangguk dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Dhifa yang saat ini sudah berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
🌤️
"Sarapan hari ini nasi goreng, Non," ujar Bi Inah saat melihat anak majikannya sudah duduk di kursi meja makan.
Dhifa melirik malas nasi goreng yang berada di meja makan. Bukan, bukan karena masakan Bi Inah yang tidak enak atau tidak pas di lidahnya, tapi karena dia bosan harus makan sendiri setiap pagi.
"Bibi, gak makan?" tanya Dhifa.
"Bibi udah makan, Non." Tuh kan, Bi Inah selalu saja seperti ini, makan lebih awal.
"Dhifa mau langsung berangkat aja deh, gak nafsu makan," ujarnya lalu beranjak dari duduknya.
"Lho kenapa, Non? Non Dhifa gak mau nasi goreng? Atau mau Bibi bungkusin aja?"
"Gak usah, Bi. Emang lagi males makan aja." Dhifa menyampirkan tas di bahunya, lalu memakai kaus kaki maroon dan juga sepatu putihnya.
"Tapi nasi gorengnya sayang lho, Non. Nanti gak ada yang makan." Bi Inah masih saja membujuk Dhifa untuk sarapan, bahkan tanpa sadar Bi Inah sudah mengikuti Dhifa sampai ke halaman kosong depan rumah, tempat mobil Dhifa sudah terparkir dan siap untuk dipakai.
"Kasih Pak Wawan aja, suruh abisin. Dhifa berangkat, Bi," pamitnya lalu masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan halaman rumahnya, setelah Pak Wawan, satpam rumah membuka pagar.
Jalanan hari ini cukup lenggang, membuat gadis yang berada di balik kemudi tidak perlu menggerutu karena terjebak macet.
Dia mengendarai mobilnya dengan santai sambil sesekali tangan kirinya merapikan tatanan rambutnya.
Ddrtt. Ddrtt. Ddrtt
Ponsel yang berada di dashboard bergetar tanda adanya telpon masuk.
Tanpa menepi, Dhifa langsung mengambil ponsel itu dengan tangan kirinya dan melihat siapa yang menelpon, rupanya Sandra. Sahabatnya dari sekolah dasar dulu.
"Lo dimana?" tanya seorang di sebrang sana setelah Dhifa menekan icon hijau pada layar ponselnya.
"Di jalan."
"Kiraiin masih di rumah. Ya udah gc, dua puluh menit lagi masuk. Awas lo, jangan sampe telat."
"Ya elah, udah sering telat, kan gue." setelah mengatakan itu, Dhifa langsung menutup panggilan dan berniat menaruh kembali ponselnya di dashboard, tepat saat dia ingin memutar setir ke kiri. Tapi tiba-tiba dia menginjak rem secara mendadak setelah merasakan ada yang menabrak mobilnya dari arah belakang dan ponselnya terjatuh ke kolong kemudi.
"Aduuh! Handphone gue." bukannya mencari ponselnya terlebih dahulu, Dhifa malah keluar dari mobil dan melihat ke bagian belakang mobilnya.
Di sana, tepat di samping kiri bagian mobil, terdapat goresan memanjang dan lebar.
Dhifa mengepalkan tangannya dan menatap nyalang ke arah orang yang sudah menyebabkan mobilnya lecet itu.
"Lo bisa bawa motor gak, sih?! Liat tuh! Mobil gue lecet!" bentaknya sambil menunjuk bagian mobil yang lecet.
Cowok yang sedang men-standarkan motornya itu melihat ke arah Dhifa, lalu membuka helmnya yang tidak menutupi seluruh wajahnya.
"Harusnya gue yang nanya, lo bisa gak nyetir mobil yang bener?" tanyanya sinis.
"Jelas-jelas lo yang nabrak! Itu artinya lo yang gak becus bawa motor."
"Gue gak bakalan nabrak mobil lo, kalo. lo. nyalahin. lampu sein. pas belok kiri," ucapnya penuh penekanan pada kata-kata tertentu.
"Lo gak bakalan nabrak mobil gue! Kalo lo jalannya gak mepet-mepet sama mobil gue!" terdengar sekali nada sewot yang Dhifa keluarkan.
"Motor gue juga lecet, jadi kita impas."
"Enak aja! Itu sih derita lo, pokoknya gue gak mau tau! lo harus tanggung jawab, GANTI RUGI!" teriaknya di akhir kalimat.
"Lo juga salah, kalo lo lupa," balas cowok itu lalu melihat jam hitam yang berada di pergelangan tangan kirinya. "Gue buru-buru," ucapnya lalu berniat naik ke atas motornya tapi cekalan pada tangannya membuat dia menghentikan gerakannya.
"Lo kira gue gak buru-buru? Gue juga mau sekolah," ujar Dhifa sambil melepas cekalan tangannya.
Mendengar kata sekolah, membuat cowok itu memperlihatkan seragam yang Dhifa pakai. Ada dua hal yang dia sadari, bahwa mereka berada di sekolah yang sama dan juga cowok itu baru sadar siapa perempuan yang berada di depannya ini, saat matanya tidak sengaja melihat ke arah badge yang tertempel di bagian atas kanan seragam perempuan itu.
"Nadhifa Aurelia," gumamnya saat dia teringat dengan nama yang sering kali dibicarakan teman-temannya dan sialnya Dhifa mendengar perkataannya.
"Lo kenal gue?" tanya Dhifa heran.
"Gak," jawabnya datar.
Dhifa memperhatikan lelaki yang memakai celana panjang abu-abu dan jaket hitam di depannya ini. "Lo juga mau ke sekolah?"
"Gue bisa terlambat kalo lo banyak tanya."
"Gue juga bisa telat, tapi ini mobil gue gimana? Lo harus tanggung jawab," ucapnya kembali ke topik awal. Tanggung jawab.
"Gak sekarang, kita bisa telat," ujar cowok itu yang tanpa sadar menyebut 'kita'
Dhifa berdecak kesal. "Terus kapan? Lo jangan lari dari tanggung jawab, dong."
Berurusan dengan perempuan keras kepala semacam Dhifa, benar-benar menguras emosinya. Jelas-jelas dia juga salah, tidak bisakah dia bercermin pada kaca mobilnya itu!
"Pulang sekolah," ucap Kavin final lalu meninggalkan Dhifa yang mengernyit bingung.
"Pulang sekolah? Emang dia tahu kapan gue pulang?" tanyanya pada diri sendiri.