KAVIN sudah melajukan motornya secepat mungkin agar cepat sampai di sekolah tanpa harus terlambat, tapi rupanya hari ini bukan hari keberuntungannya.
Gerbang SMA Cempaka sudah ditutup rapat dan dirinya telat sekitar enam menit setelah bel berbunyi. Sejarah baru dalam hidupnya, selama bersekolah, Kavin tidak pernah sekalipun terlambat seperti sekarang.
Selang empat menit berlalu, mobil merah yang tadi dia temui di tengah jalan juga baru sampai dan berhenti di depan gerbang.
Pengemudi yang Kavin ketahui bernama Nadhifa Aurelia. Perempuan yang sering kali Kavin dengar namanya saat temen-temennya sibuk membicarakan dia, yang katanya perempuan paling cantik di sekolah.
Dhifa terus menekan klakson mobil secara berulang-ulang berharap Pak Dadang, satpam sekolah segera membukakan gerbang.
Sampai akhirnya Pak Dadang terlihat di depan gerbang yang masih tertutup itu. Dhifa segera turun dari mobil dan bersiap menghampiri pak Dadang, tapi matanya justru melihat cowok yang tadi membuat lecet mobilnya. Dari dalam mobil, Dhifa memang tidak melihat begitu jelas muka cowok yang berada di depan gerbang. Makanya Dhifa cukup terkejut saat melihat Kavin ternyata satu sekolah dengannya.
"Lo sekolah di sini?" tanya Dhifa tapi Kavin tidak menjawab dia malah mendekat ke Pak Dadang, membuat Dhifa membelalakkan matanya.
"Pak, tolong bukain gerbangnya," ucapnya pada Pak Dadang.
"Lho, Nak Kavin tumben terlambat, biasanya paling pagi," kata Pak Dadang.
"Iya nih, Pak. Tolong bukain ya, Pak? Saya, kan baru telat sekali," pintanya pada Pak Dadang.
"Yang namanya telat tetep aja telat, mau sekali kek, dua kali kek," kata Dhifa saat dirinya sudah berada di samping Kavin.
Lagi-lagi Kavin tidak menyahuti ucapan Dhifa, dia hanya melirik sekilas ke arah Dhifa.
"Neng Dhifa telat lagi?" tanya Pak Dadang.
"Kalo saya gak telat, saya gak bakalan ada di sini," jawabnya. "Bukain dong, Pak Dadang. Bapak tau, kan saya siapa?"
"Tau, Neng. Tapi, kan di sini semua sama, gak ada yang beda, kalo ketahuan Bu Tuti, Eneng pasti diomelin lagi." Bukannya membuka pintu gerbang, Pak Dadang malah memberikan nasihat.
"Buka gerbangnya, Pak," suara tegas yang berasal dari belakang Pak Dadang, membuat Pak Dadang menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara.
Rupanya suara Bu Tuti, salah satu guru BK di SMA Cempaka. "Oh, iya, Bu," jawab Pak Dadang lalu membuka gerbang.
"Kalian berdua ikut saya," ujar Bu Tuti.
"Mobil saya gimana, Bu?" tanya Dhifa.
Bu Tuti melihat ke luar gerbang, di sana ada mobil merah dan motor. "Kalian taruh di parkiran, nanti langsung temui saya di lapangan," perintah Bu Tuti yang tidak bisa di bantah.
🏫
Bu Tuti menatap tajam ke arah siswi yang saat ini berada di depannya. Matanya bergerak dari atas kepala sampai kaki, seperti sedang memberi penilaian.
"Sudah berapa kali Ibu bilang sama kamu, tidak boleh memakai kaus kaki selain warna putih ke sekolah?"
"Bu, kaus kaki saya tuh ada banyak, sayang kalo gak dipake," balas Dhifa.
"Bukan berarti kamu bisa pake ke sekolah. Kamu lupa sama peraturan sekolah ini? Apa perlu Ibu ingatkan kembali?" ucap Bu Tuti yang masih menahan amarahnya.
"Tidak boleh memakai kaus kaki pendek, dan juga tidak boleh memakai kaus kaki selain berwarna putih, itu kan, Bu?" Dhifa mengucapkan salah satu peraturan yang berada di SMA Cempaka.
"Itu kamu tahu, terus kenapa kamu langgar?" tanya Bu Tuti masih berusaha sabar menghadapi Dhifa.
"Iya deh, besok saya gak pake warna maroon," jawab Dhifa. Kavin yang saat ini berdiri di sampingnya hanya diam.
"Besok kamu harus pakai warna putih, kalo gak, saya buang nanti sepatu kamu!" ancam Bu Tuti.
"Yang salah kaus kaki, kok sepatu yang dibuang," batin Dhifa. "Iya, iya." jawabnya.
Bu Tuti memperhatikan Dhifa dan Kavin secara bergantian, sebelum memberi pertanyaan. "Kalian berdua kenapa bisa telat? Rumah kalian tetanggaan?"
"Saya ta--"
"Saya telat gara-gara dia, Bu," Dhifa memotong ucapan Kavin, lalu telunjuknya mengarah pada Kavin yang berdiri di sebelahnya. "Dia nabrak mobil saya, jadi saya telat."
Bu Tuti menatap Kavin. "Benar begitu, Kavin? Kamu nabrak Dhifa?"
"Gak sengaja, Bu. Dia gak nyalahin lampu sein pas belok kiri," jawab Kavin.
Dhifa langsung menoleh saat mendengar jawaban Kavin. "Jelas- jelas lo yang jalannya mepet sama mobil gue."
"Gue gak bakalan nabrak, kalo lo nyalahin lampu sein," ujar Kavin tak terima karena disalahkan.
Bu Tuti menarik nafas dalam-dalam. "Sudah cukup. Mau siapa yang salah, kalian berdua tetap Ibu hukum. Apalagi kamu Dhifa? Sudah berapa kali kamu telat."
Dhifa nampak seperti tengah berfikir sebelum menjawab pertanyaan Bu Tuti. "Tiga kali, Bu."
"Tiga kali di kelas XII! Dari kamu kelas X sampai kelas XI, kamu udah sering banget telat. Gimana jadinya bangsa ini, kalau penerusnya saja tidak disiplin!" ujar Bu Tuti tegas, lalu Bu Tuti berganti menatap Kavin. "Kamu juga, Kavin, tidak biasanya kamu telat."
"Maaf, Bu," jawab Kavin seadanya.
Bu Tuti menghela nafas. "Hormat ke tiang bendera sampai jam pelajaran ke dua, akan Ibu awasi dari meja piket." setelah mengatakan itu, Bu Tuti berlalu dari hadapan Dhifa dan juga Kavin.
Dhifa dan Kavin sudah berdiri tepat di depan tiang bendera. Mengadahkan kepala dan hormat sesuai yang diperintahkan Bu Tuti.
Waktu sudah berjalan sekitar 30 menit, Kavin melaksanakan hukumannya dengan sungguh-sungguh, berbeda dengan Dhifa yang sesekali menggerutu karena panas dan juga pegal.
Dari lantai atas, Dua orang perempuan sedang menatap ke arah lapangan dengan tatapan kasihan. Dua orang itu adalah Sandra dan juga Ara. Sahabat Dhifa dari sekolah dasar dulu.
"Dhifa dihukum, San," ucap Ara.
"Gue udah telpon dia supaya jangan sampe telat, tapi tetep aja tuh anak telat," balas Sandra lalu mengingat saat dirinya sudah menelpon Dhifa tadi pagi.
"Tapi tumben, lho, Dhifa mau nurutin perintah Bu Tuti, biasanya dia selalu cari alesan supaya gak dihukum."
Dengan tatapan yang masih mengarah ke arah lapangan, Sandra menjawab perkataan Ara. "Udah tobat kali dia," jawab Sandra santai.
"Tapi Dhifa kasian, San. Pasti pegel banget tuh hormat terus."
Sandra menoleh ke kanan, tempat Ara berdiri di sampingnya. "Terus gimana? Lo mau gantiin Dhifa? Yang ada lo kena semprot ama Bu Tuti."
"Ya gak gitu, ta--"
"Kalian berdua ngapain masih di luar? Cepet masuk!" Sandra maupun Ara langsung membalikkan badan setelah mendengar suara milik Bu Irma, Wali kelas XII IPA 4 sekaligus guru sejarah.
"Kita lagi pemanasan, Bu," jawab Sandra asal.
"Kenapa nggak sekalian di lapangan, biar bareng sama Dhifa, kebetulan temen kalian itu masih di bawah. Gimana? Mau?"
"Hmm, ga-gak usah, Bu. Makasih, kita mau ma-suk aja. Iya- mau ke dalam aja," jawab Sandra terbata lalu menarik tangan Ara untuk segera masuk kelas.
Bu Irma hanya geleng-geleng kepala melihatnya, lalu ikut masuk ke dalam kelas XII IPA 4.
*****
Hai semuanya 👋 kalian jangan lupa untuk memberikan dukungan suara pada cerita ini 🤗 dan juga share ke temen-temen kalian semua 😉
see you ❤️