KEADAAN kantin cukup ramai hari ini, bahkan banyak dari sebagian mereka yang mendesah kesal karena tidak mendapat tempat duduk.
Kavin, Edwin, Liam dan Vano sudah duduk di kursi pojok kantin dengan makanan masing-masing. Mereka nampak menikmati makanannya sambil sesekali berbincang.
"Makin hari nih bakso makin enak aja," kata Liam membuka percakapan.
"Perasaan rasanya gini-gini aja," kata Vano.
"Makanya jangan pake perasaan. Pake mulut coba rasainnya," ucap Liam santai.
"Kadang gue suka mikir. Kenapa bisa, ya gue mau temenan ama bocah bego kaya lo," ujar Vano kesal.
Liam yang mendengar Vano berbicara seperti itu langsung menghentikan gerakan menyedoknya. "Gue gak nyangka lo bakal ngomong kaya gitu, No. Gue kira pertemanan kita dari SMP ini bakal bikin lo nyaman sama kegoblokkan gue," balas Liam dramatis, yang membuat Edwin dan Kavin tertawa.
"Akhirnya lo nyadar juga kalo goblok," ucap Vano santai membuat Liam melemparkan bekas tisu kearahnya. "Kotor, nyet!" sewot Vano.
Diantara mereka berempat. Memang Liam dan Vano lah yang paling sering berdebat dan adu mulut seperti sekarang. Liam yang terkadang jahil dan suka menunjukkan sisi lebaynya, sedangkan Vano yang mudah tersulut emosi dan kadang juga bermulut pedas. Tapi percayalah dalam hitungan detik mereka akan kembali akur.
"Wiiish, ada yang bening-bening nih," ucap Liam tiba-tiba sambil melihat ke arah pintu kantin. Disana terdapat tiga cewek cantik.
"Si Dhifa makin bening aja," kata Vano setelah dia melihat ke arah pintu kantin. Oh iya, ada satu hal yang belum kalian ketahui tentang Vano.
Selain mudah tersulut emosi, Vano juga mudah jatuh cinta dan paling sering gonta-ganti pacar diantara ketiga sahabatnya.
Mendengar penuturan Liam dan Vano, membuat Kavin dan Edwin ikut mengalihkan pandangannya ke arah pintu kantin.
Tatapan Kavin langsung tertuju ke perempuan dengan rambut tergerai yang ujungnya sedikit bergelombang dan berwarna hitam mengkilat itu. Kavin sering mendengar nama Dhifa, saat temannya membicarakan dia yang katanya cewek paling cantik di sekolah, dan kejadian tadi pagi membuat dia inget betul dengan perempuan itu.
Tanpa sadar matanya tidak sengaja bertatapan dengan mata perempuan itu, tapi hanya sekitar tiga detik karena Kavin sudah lebih dulu membuang muka. Seakan tidak ingin terlalu lama bertatapan dengan iris coklat madu milik perempuan itu.
"Cantik gak, Vin?" tanya Liam. Yang ditanya pun hanya mengangkat bahu berusaha tidak peduli dan kembali melanjutkan makannya.
"Kavin ditanya begituan. Mendadak gak punya mulut dia," ucap Edwin yang lagi-lagi tidak digubris oleh Kavin.
"Kalo Kavin sampe bilang jelek berarti harus diperiksa ke THT," timpal Liam.
"Ko THT sih, Yam. Dokter Spesialis matalah harusnya," ucap Edwin.
"Namanya juga bocah kaga lulus SD, ya gitu jadinya," timpal Vano
"Salah gue dimana, sih? Kayaknya pada emosian aja," tanya Liam dengan wajah sok polosnya.
Vano sudah terlihat mulai emosi (lagi), terbukti saat dia sudah menatap lekat ke arah Liam.
"Bukan kayaknya tapi emang udah emosi! Sekarang gue tanya sama lo. THT itu apa kepanjangannya?"
"Telinga, hidung, tenggorokan. Anak SD juga tau kali," jawab Liam.
"Terus kenapa gue harus periksa ke THT? Kan harusnya mata gue yang diperiksa, kalo emang gue salah nilai," Kavin mulai membuka suara.
"Sekarang gantian gue yang nanya. Lo ngomong pake apa?" tanya Liam pada Kavin.
"Mulutlah."
"Terus kalo lo bilang Dhifa jelek berarti yang salah siapa?" semua diam. Baik Kavin, Edwin dan Vano.
Mereka bertiga tidak ada yang berniat membuka suara, membuat Liam berdecak kesal dan melanjutkan kalimatnya. "Yang salah itu udah jelas mulut lo! Jadi yang harus diperiksa itu tenggorokan, sapa tau tenggorokan lo bermasalah."
Semua masih diam. Tidak ada yang membuka suara atau menjawab ucapan Liam. Sampai akhirnya Vano yang lebih dulu membuka suara.
"Kalo Kavin bilang Dhifa jelek. Itu artinya ada yang salah sama penglihatannya. Jadi harus diperiksa ke dokter spesialis mata bukan THT. Itu jawaban orang masuk akal. Bukan kaya jawaban lo!"
"Terus gue salah lagi nih? Lo nya aja yang pada baperan, pada gak bisa diajak bercanda."
"Bercanda lo bikin emosi, tai!"
"Gue tau siapa yang salah," ucap Kavin tiba-tiba.
"Siapa?" tanya Liam, Edwin, Vano serempak.
"Lo bertiga. Jelas-jelas gue gak bilang apa-apa, tapi malah dipermasalahin."
🥑
Dhifa mendengus saat melihat Kavin membuang muka. Dia pikir, dirinya mau bertatapan lama-lama dengan cowok menyebalkan semacam Kavin.
Tapi Dhifa cukup tersinggung melihat sifat Kavin yang seperti itu. Tidak biasanya ada cowok yang terang-terangan membuang muka saat bertatapan dengannya.
"Fa, mau sampe kapan berdiri?" tanya Sandra saat dirinya sudah lebih dulu duduk di bangku yang tidak jauh dari pintu kantin.
Dhifa duduk di samping Sandra. "Mau pada pesen apa? Biar sekalian gue pesenin," tanya Ara yang duduk berhadapan dengan Sandra.
"Gue bakso sama es jeruk," kata Sandra.
"Gue jus alpukat, Ra," Dhifa merogoh saku seragamnya lalu memberikan selembar uang berwarna biru kepada Ara. "Nih, pake ini aja," ucapnya.
"Gak usah, pake uang sendiri-sendiri aja, keenakan nanti Sandra," tolak Ara membuat Sandra mendelik tidak suka karena namanya disebut.
"Ko gue, sih," protes Sandra.
"Pake ini aja, biar sekalian," ujarnya lalu Ara mengambil uang Dhifa, dan beranjak dari duduknya untuk memesan makanan.
Ini bukan pertama kalinya Dhifa mentraktir seperti ini, melainkan sudah sering, apalagi mereka bersahabat sejak SMP. Tapi bukan berarti juga Sandra dan Ara yang meminta, bahkan mereka sering kali menolak, dan juga mereka sudah sering saling mentraktir satu sama lain. Jadi bagi Dhifa, itu bukan suatu masalah, lagipula untuk apa punya uang banyak jika tidak bisa saling berbagi dengan sahabat.
"Lo emang gak laper apa? Kok cuma pesen jus," tanya Sandra, perempuan si pemilik rambut berwarna hitam dan sedikit lebih panjang di bawah bahu.
"Lagi males makan," jawabnya.
Selang sepuluh menit berlalu, Ara datang dengan pesanan mereka masing-masing. "Nih, ambil-ambil," ujar perempuan dengan rambut sedikit berwarna coklat dengan panjang rambut sebahu.
Sandra mengambil semangkok bakso dan es jeruk yang ada di atas nampan, begitupun dengan Dhifa yang mengambil jus alpukat miliknya. Mereka menikmati makanan dan minumannya masing-masing.
Dhifa merogoh saku seragamnya untuk mencari ponsel, tapi sesaat kemudian dia teringat kalau ponselnya masih berada di dalam mobil. Membuat dia berdecak kesal lalu pandangannya menelusuri pojok kantin. Di sana dia melihat empat orang cowok yang sedang tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Tapi lagi-lagi tatapannya bertemu dengan cowok si pemilik iris mata hitam walau hanya tiga detik lamanya.
*****
Kalau kalian pada ngasih dukungan suara, Dian akan cepet update-nya 🤗❤️
see you ❤️