"Kapan kita ke Pandawa?"
Si perempuan pencerita mitos duduk dengan tiga temannya, mengisi sudut ruang meja berkursi empat. Satu mereka masih kuingat karena sebangku dengan perempuan itu. Aku sendiri tertarik mendengar kabar angin tak pasti dari cuapan keempatnya. Lumayan kan, pengganti acara infotaiment pagi ini. Kalau bukan karena jam sarapan di hotel, mau saja memanjakan badan tidur sepanjang hari sambil menghabiskan saluran favorit di tv.
Cuman yeah, sekarang ini di Bali. Untuk berpindah pulau, menghabiskan uang, kalau ujung-ujungnya berdiam di kamar, aku belum sekaya itu.
Entah apa kata Nana-sahabatku, mendapati seminggu waktu dengan ranjang, gosip artis, dan makanan. Mungkin saja komentar rasa Samyang-nya bisa begini,
Aku lebih baik berteman dengan koala asli, pemalas menggemaskan. Bukan koala kw, udah mageran menyedihkan pula.
Begitu kira-kira. Wajar saja kalau dia mengungkit tingkah unik-ku, mencoba meraih remote di nakas saja, harus sampai ngesot.
Kujuahkan piring sisa sarapan ke tengah meja, mengambil beberapa lembar tissue dan pura-pura mengecek media sosial padahal telinga setia mendengar sayup-sayup mereka.
"Rabu apa kamis sepertinya. Kenapa kau tanya ini?"
"Memangnya kalian gak mau ketemu Elvan Junior?"
Aku tersedak ludah sendiri. Baru tahu aktor idola wanita dan remaja punya jadwal di Bali. Tak pernah ku dengar dia berniat berkunjung kemari.
Apa mungkin tidak liat tv dan social media semalam, jadi kudet begini?
Wah gila sih. Kuakui tingkat gibah para perempuan itu lebih update dibandingkan aku dan Nana.
"Dia di daerah privasi, apa yang kau harapkan?"
"Tapi gak mungkin juga Lucian diam doang disana?"
"Dan bertemu di sekian banyak tempat wisata Bali? Aku berani bertaruh, sekali ada yang tahu Lucian di Pantai Kuta sekalipun, besoknya udah ganti lokasi."
Salah satu dari mereka menggerutu. Ku pikir penuturan tadi benar dan lagi.
Kenapa aku tidak jalan-jalan di Pantai malah berakhir di resto ini?
Hahh...
Berdiri dengan menggenggam ponsel, aku berjalan ke lobi, berbincang sebentar dengan recepcionist. Niat menitip kunci, tak sengaja berpapasan dengan Bli Wayan. Pria setengah baya berkemeja hijau panjang dan hiasan di kepala tak luput menjadi ciri khas Bali miliknya.
Dengan sepasang sepatu hitam sekilas tua terawat, ia berjalan ke arahku. Berdiri di samping sang recepsionist yang sudah setengah menunduk hormat. Bli Wayan menyapanya lalu menoleh ke arahku.
"Geg Rainy mau jalan-jalan di Pantai?"
"Iya Bli Wayan. Mumpung matahari hangat lagi keluar."
Ia mengangguk, melirik arloji kemudian melarikan pandangan di belakangku. Aku bingung, pastinya. Mengikuti arah perhatiannya, Bli Wayan menggagalkan gerakan tubuhku dan berkata, "Geg Rainy suka ke pantai pagi-pagi ya? Jam segini masih dingin, ditambah subuh tadi baru hujan."
"Saya kira tidak masalah Bli. Jam tujuh mencari angin pesisir laut tidak bakal ada lagi kesempatannya,"kekehku. Jarak Jakarta Selatan ke daerah perairan pantai jangan ditanya. Jadi selagi disini, kenapa tidak?'
Pria itu diam lagi, memikirkan sesuatu sampai akhirnya mengangguk ragu.
"Kalau begitu, jangan jauh dari daerah pedagang kaki lima yang jualan ya," gumamnya, lalu berbalik pergi ke resto sebelum aku mengeluarkan tanya alasannya.
"Bli Wayan jarang memperbolehkan sekedar jalan di pantai pagi-pagi. Kau beruntung."
Sarah-pemilik nama recepcionist mengerut kening. "Cobalah menjaga langkahmu disana, setahuku hujan tadi cukup deras. Aku yakin kabut-nya begitu tebal," beonya sembari mengangkat bahu.
Aku mengerjab mata. Kata-kata sudah di ujung lidah terpaksa tertelan bulat. Sejak tadi satu jari telunjuk terangkat ingin berkomentar, harus turun begitu saja. Ku hela napas panjang, lalu pergi ke arah pantai yang sejak tadi menggoda niat sekedar duduk di pasir putih.
Begitu alas kaki bertemu selimut pasir, udara dingin menyapa sela-sela leher dan kulit lutut sampai pergelangan kaki, bagian tubuh tidak tertutup kain. Salahku memakai gaun tidur selutut warna salju dengan cardigan abu-abu.
Malas balik ke pondok berganti pakaian.
Apa?
Aku saja ke resto tadi begini. Kenapa begitu perduli sehabis bangun, buru-buru mandi dan pergi? Lagipula, dibandingkan mirip piyama, setelanku ini tidak ada bedanya sama pakaian santai feminim.
Lebih mendekat ke pasir bergenang air, aku berjongkok. Mengulurkan satu tangan, mengambil butiran Kristal bercampur batu segenggam. Meremas rupa mirip tanah karena basah sebelum menjatuhkan lagi ke tempat asalnya.
Sudah terlihat bocah lima tahun belum?
Kulakukan sekali lagi. Kali ini lebih dalam, membiarkan beberapa pasir masuk ke kuku pendekku. Lalu meremasnya lagi, sampai kurasakan genggaman ada janggal. Penasaran, ku cari-cari benda permukaan kasar tadi. Awalnya aku mengira cacing laut nyasar. Dan seharusnya menyingkirkan segera gumpalan pasir di tangan.
Masalahnya, gumpalan itu diam. Begitu ku cari penyebabnya, mataku mendapati sebuah rantai kalung tanpa bandul. Warna-nya mirip pasir disini tentu membuat keberadaanya tidak kelihatan.
Beberapa anak rantai dihiasi bentuk daun yang terlihat akrab. Kubersihkan rantai itu di genangan, dan pesona-nya terlihat.
Untaian rantai berkelip. Sekilas mirip perak tetapi agak berat di tangan. Aku tak mau menduga itu emas putih.
Tidak apa-apakan membawanya pergi?
Kulihat sekeliling. Tapi sepanjang mata memandang pantai masih sepi. Bahkan pedagang yang kemarin berjualan masih belum datang.
Jadi pikirku, status si rantai adalah hilang. Mungkin aku bisa bertanya ke Sarah atau Bli Wayan. Maka kukantongi benda itu, berdiri dan berjalan-jalan di pinggiran pantai. Membiarkan sesekali ujung ombak memandikan kaki.
Aku memejamkan mata, merasakan haluan menyisir rambut. Suhu menyentuh tubuhku, sampai terasa ke tulang belakang.
Menerima kenyamanan yang dikirim samudra lepas sana, aku susah menolak rayuan sang angin. Dan tetap berjalan sembari membaui aroma laut bercampur limau nan lembut.
Kemudian ketika kelopak mata terbuka, sekelilingku begitu samar. Walau terdengar kibasan ombak, aku tak mampu melihat jelas di ujung penglihatanku.
Sempat pula mengira aku tertutup embun, aku merutuki diri.
Bodohnya.
Kucoba berbalik, ingin kembali ke pondok. Sayangnya, di belakangku udara terlalu pekat.
Menengok lagi ke depan, satu-satunya jalan masih terlihat. Dan keputusanku jadi bulat, pergi ke area pantai tidak ku tahu ada apa disana.
Setidaknya sampai kabut mulai memudar.
Tahukah kalau pilihan ini membawaku ke sebuah masalah baru lainnya?
Begitu mendekati udara lebih baik, aku mengangkat kepalaku yang sempat menunduk lagi dan menemukan diri di sebuah pantai berbeda. Pasirnya masih sama, tapi tidak dengan air lautnya.
Mereka semua hijau cerah! Aku tak ingat air Perasi dari biru jadi hijau.
"Oi! Siapa kau? Bagaimana bisa ke tempat ini?"
Kutoleh samping, menengok siapa berbicara. Dan saat itu juga, kedua mataku membola. Tubuhku nyaris membeku kalau saja dia tidak bersuara lagi.
"Oh! Kau salah satu fans gila diluar sana? Dasar penguntit, pergi atau berakhir di jeruji!"
Aku mundur beberapa langkah. Sedangkan dia dengan papan, terlihat alas gosok-an bagiku, berjalan mendekat bersama aura tidak senang yang menguar.
"Apa masalahmu? Ini pantai tempat umum." Kuangkat kedua tangan ke arahnya, meminta dia diam di tempat.
Laki-laki itu memang berhenti. Sebagai gantinya, ditancapkan papan surfing-nya ke pasir. Menunjuk kurang ajar dan kembali menyemprotku.
"Ini daerahku, perempuan! Maka aku pantas bertanya. Jangan beralasan kaki pendekmu membawa kemari."
Aku mendengus. Dia kira omongan pedasnya, berhasil menginjak perasaanku gitu?
Hell no
"Memangnya kau kasih apa untuk pantai ini? Laut saja menolakmu." Aku menyeringai, melirik suasana ombak tiba-tiba tenang.
Dia ikut menoleh. Kedua alis tebalnya bertaut sampai kudengar desis dari mulutnya.
"Kau, yang buat itu?!"
"Sejak tadi aku di sini. Menerima sambutan meriah darimu,"ucapku mengangkat bahu.
Pria itu menatapku tajam, "Aku tahu kau penyihir!" Ia lalu pergi, meninggalkan papannya denganku.
Sedangkan aku? Jangan tanya. Wajahku setengah melongo menatap kepergiannya sehabis menuduh tidak-tidak.
"Heran kok bisa Nana nge-idola-in dia."
Menghembuskan napas panjang, aku mendudukkan diri di pasir. Melipat kaki ke belakang sebelum menutup mata. Merasakan angin pantai yang kembali bertiup.
Tapi aroma laut tiba-tiba berbeda.
Limau lembut yang ku baui sebelumnya hilang.
Berganti citrus kuat, membuatku mau tak mau membuka mata.
Dan mendapati pria tadi berjongkok depanku, dengan dua jeruk oranye terang di masing-masing tangannya.
"Kau ini sedang apa?"
Dia tidak menjawab. Kedua matanya tertutup, mulutnya berkomat kamit.
Ini orang kenapa sih? Stress sama film nya apa gimana?
Pada akhirnya aku menyingkir. Berdiri dan kembali ke sisi pantai tempatku berasal yang udaranya kembali memutih. Membiarkan pria bule itu dengan dua jeruk bodoh di tangannya.
Harusnya bentar lagi ada kabar heboh Lucian Elvan ditemukan gila
****