Elvis sudah menjadi sahabatku sejak SD. Saat di sekolah, kemanapun kami selalu bareng. Bahkan kadang sering main ke rumah masing-masing. Hingga orang tua kami pun sudah saling kenal. Kami sudah seperti saudara yang selalu nempel kemana-mana. Orang-orang mengatakan aku kakanya dan Elvis adiknya. Hal itu karena aku lebih tinggi dari dia, bahkan sampai sekarang dia juga masih kelihatan chibi kalau dibandingkan denganku.
Dan Elvis lah yang menjadi jembatan pertemuanku dengan Bang Adrian. Bang Adrian adalah abang kandungnya dari kedua orang tua pertama mereka. Pertemuan pertama itu biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Hanya pertemuan antara seorang anak SD dengan anak SMP. Semakin sering aku main ke rumah Elvis semakin dekat aku dengan Bang Adrian. Bahkan kadang kami bertiga bermain bersama. Dari situ aku mulai mengaguminya. Dimata ku dia tampak sangat keren. Belum lagi Bang Adrian memang orang yang pintar, tampan dan supel. Aku mulai berpikir bahwa dia adalah panutanku.
Namun suatu hari aku berpikir bahwa perasaanku ini agak berbeda dari sekedar mengagumi. Aku ingin dekat dengannya lebih dari sekedar teman adiknya. Hanya berduaan dengannya saja membuat jantungku berdegup kencang. Aku terus memendamnya namun rasanya perasaan ini bisa meledak kapan saja. Aku tahu, mungkin ini hal yang salah. Tetapi aku tetap tidak bisa membohongi diriku sendiri.
Hal ini terus berlanjut hingga suatu hari. Hari yang kupikir adalah hari terakhir kami berjumpa untuk selamanya.
Hari itu aku sengaja datang ke rumah Elvis sendirian tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Toh, rumah kami deket kok. Tapi sialnya, aku datang di waktu yang tidak pas. Di depan pekarangan rumahnya ada mobil truk yang sepertinya milik jasa pemindahan barang.
Saat itu yang aku tahu adalah aku bertemu dengan bang Adrian di pintu gerbang. Pakaiannya sangat rapi seperti orang yang akan bepergian. Di salah satu tangannya ia menggenggam sebuah tas besar. Namun kali ini ekspresi wajahnya kelihatan sangat sedih, atau mungkin... hancur. Hingga akhirnya ia menyadari kehadiranku dan memasang kembali senyum seperti biasa.
Ia mendekat ke arahku yang masih keheranan. Ia meletakkan tasnya di atas tanah dan berjongkok hingga kepalanya selaras dengan milikku.
"Axel mau main sama Elvis ya?" Tanyanya dengan senyum yang masih terukir di wajah.
Aku mengangguk.
"Tolong jagain Elvis buat abang ya?" Tiba-tiba ia mengelus kepalaku pelan.
Aku membeku di tempat. Ada rasa sedih yang menyelinap di ucapannya itu. Aku ingin bertanya tetapi lidahku terasa kelu. Aku tak bisa memalingkan pandanganku darinya. Sekali lagi dia tersenyum lebar seakan-akan tidak ada yang terjadi.
Sebelum bangkit dan mengambil tasnya ia mengelus kepalaku sekali lagi. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang perlahan-lahan menjauh dariku.
"Bang Adrian mau kemana??" Akhirnya mulutku bisa merespon.
Ia tidak menjawab apapun. Bahkan ia tak sempat membalikkan badannya ke arahku. Yang kudapatkan hanya lambaian tangan dan sosoknya yang hilang masuk ke dalam mobil. Tak lama, Papanya Elvis keluar dari dalam rumah dan masuk ke dalam mobil mengikuti Bang Adrian.
Kalau gitu Elvis mana? Aku berlari melewati pekarangan dan masuk ke dalam rumah. Ada Elvis dan Mamanya di ruang tamu. Elvis duduk dengan kepala tertunduk dan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya. Sedangkan Mamanya mengelus lembut pundaknya. Ekspresi Mamanya juga terlihat sedih seperti Bang Adrian. Akhirnya aku sadar ada suara tangis yang berasal dari Elvis. Apa yang terjadi?
Aku berjalan mendekat. Ketika Mamanya menyadari kehadiranku, beliau memberi isyarat untuk segera mendekat. Aku mempercepat langkahku, kemudian Mamanya Elvis berdiri.
"Tolong jagain Elvis sebentar ya Axel. Bisa kan?"
Aku kembali mengangguk. Kemudian Mama Elvis menghilang ntah kemana.
Aku duduk disampingnya. Ku lihat lagi sosok Elvis perlahan. Aku tidak tahu dia sudah menyadari kehadiran ku atau tidak, jadi kutepuk pundaknya pelan.
"Elvis..., ada apa?" Hanya tiga kata itu yang sanggup ku ucapkan.
Ia mengusap hebat bekas air mata di wajah dengan lengan bajunya. Lalu ia melihat ke arahku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Axel..., Bang Adrian gak akan pernah balik kesini lagi..." Ujarnya terbata-bata.
Aku shock. Tentu saja aku shock. Seperti ada petir yang menyambar di siang bolong begini. Tangan dan kakiku rasanya lemas. Elvis yang sangat menyayangi abangnya itu kembali banjir air mata. Ia memelukku, dan aku membalas pelukannya tapi tetap saja aku masih shock. Tanpa sadar air mataku ikut menetes.
Sekitar dua tahun kemudian akhirnya Mama Axel menjelaskan apa yang terjadi pada hari itu. Mama dan Papanya Axel cerai karena suatu alasan, apa alasannya itu beliau tidak ingin memberitahukannya lebih lanjut. Sebenarnya aku sendiri yang bertanya tapi beliau dengan senang hati memberitahukannya kepadaku.
Mulai saat itu Elvis hanya tinggal dengan Mamanya dan Bang Adrian ikut dengan Papa mereka. Semuanya berlanjut dengan normal, aku dan Elvis yang masih selalu bersama. Gantian main ke rumah masing-masing. Bahkan masuk di SMP yang sama. Yang berubah hanyalah Bang Adrian yang sampai saat itu tidak pernah terlihat lagi. Dan aku yang selalu gagal move on.
Di SMP kami bertemu dengan Eki dan Alfin yang akhirnya menjadi bagian dari persahabatan kami. Disaat yang sama Mama nya Elvis menikah lagi dengan seorang pria dan melahirkan seorang anak laki-laki. Dengan kata lain adiknya Elvis. Hanya melihat saja aku tahu perlahan-lahan Elvis mampu melupakan Bang Adrian dan memulai kehidupan baru yang bahagia bersama keluarga barunya. Hanya aku yang masih tertinggal di masa lalu.
Aku pikir suatu saat aku bisa melupakan Bang Adrian dan menemukan cinta yang baru. Tapi semakin aku memaksa untuk melupakannya semakin kuat perasaan ini melekat pada diriku. Kenapa harus begini?
***
Tenang Axel. Tenang.
Aku berkali-kali menghembuskan nafas untuk menenangkan diri. Ku lirik kembali Elvis, ia tampak tak tenang dan mukanya merah padam. Aku nggak tahu alasan kenapa mukanya bisa memerah gitu, tapi satu hal yang pasti. Dia sadar guru fisika baru ini memang Bang Adrian yang asli.
Kepalaku pusing. Kenapa kami harus dipertemukan kembali dengan keadaan seperti ini? Di saat kupikir aku akan memulai lembar baru tanpa ada dirinya sama sekali.
Tak lama akhirnya ada yang bertanya lagi, mencairkan suasana yang sempat tegang. Perkenalan itu hanya sebentar saja, kemudian kami melanjutkan pelajaran fisika yang sempat tertunda. Kalau diperhatikan lagi ia memang sangat cocok menjadi guru. Dulu terkadang ia mengajariku dan Elvis tentang pelajaran IPA atau Matematika. Dia juga jadi jauh kelihatan lebih keren.... Ah, kenapa aku jadi memerhatikannya seperti ini?
Saat jam istirahat tiba, Eki langsung melesat ke meja Elvis dan Alfin yang daritadi sepertinya sedang ribut-ribut membahas sesuatu.
"Lo yang anj*ng!" Bentakan Elvis bahkan sampai ke telingaku. Biasalah, Eki sama Alfin emang tukang gangguin.
Akhirnya aku juga ikut gabung di meja mereka.
"Aww makasih. Elvis imut kok sensi banget sih hari ini? Lagi 'dapet' ya?" Balas Eki dengan penuh kemenangan.
"Gue cowok anjir."
"Ha? lo cowok anjir?"
"Udah deh kalian berdua gak usah ngajak Elvis ribut." Aku menengahi mereka dengan tampang cemberut, sambil menyubit telinga Eki yang sekarang berada disampingku.
"Woy Xel, lepasin woy, merah nih kalo lo terusin." Rengek Eki kesakitan.
"Eh iya iya maap, jadi ini ceritanya ada apa?" Tanyaku sambil dengan santainya melepas jemariku dari telinga Eki.
"Itu tuh si Elvis, dia sama Pak Adrian yang guru baru tadi itu ada hubungan." Celetuk Alfin sembarangan.
"Hubungan?" Tanpa kusadari mimik wajahku langsung berubah menjadi serius. "Tunggu... jangan-jangan itu beneran bang Adrian?"
Maaf ya Vis, aku udah pura-pura gak tau.
Elvis mengangguk pelan.
"Terus apa dia gak tau kalau ada lo disini?" Aku sengaja nanya begini kalau-kalau Elvis beneran merasa dinotice atau nggak.
Eki dan Alfis cuma bisa nyimak, mungkin udah capek ngeledekin Elvis. Menyisakan aku dan Elvis yang jadinya ngobrol serius.
"Selama ini kami gak pernah kontakan lagi, jadi mungkin aja dia udah lupa sama aku atau udah nggak tanda sama mukaku lagi."
"Kenapa pulang nanti gak kita samperin aja?" Aku tahu saranku ini bodoh banget.
"Hah? Apa?"
"Kita tanya...-"
"Nggak ah! Malu!" Teriak Elvis memotong perkataanku sampai satu kelas ngeliatin, gak semua sih soalnya lagi banyak yang keluar nyari makanan.
"Bukannya lo dulu cerita rindu banget sama doi?" Kali ini Eki ikut angkat bicara.
"Itukan dulu..." Elvis mematung.
"Ah udah dulu deh! Masih ada besok! Kalo gini mah bagusan kita ke kantin aja deh. Udah lapar gue jadinya." Serobot Alfin sambil menarik Elvis keluar kelas.
"Eh woy!" Dengan entengnya Alfin menyeret Elvis keluar kelas, diikuti oleh aku dan Eki yang hanya bisa senyam-senyum ngeliat tingkah Alfin.
Bener kata Alfin, masih ada besok. Aku gak perlu buru-buru buat nyari tahu kondisi Bang Adrian sekarang. Bahkan aku nggak yakin dia masih ingat dengan ku.
To be continued.