CWS 15

Sesampainya di kamar, Clara meletakan bubur itu di atas laci, dia memeriksa keadaan Bram yang masih belum membaik. Merasakan sentuhan, Bram pun terbangun dan melihat Clara. Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing.

"Apa kamu baik-baik saja? Mau minum?" Clara membantu Bram bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Dia merasakan ada aroma aneh di dalam kamar itu.

"Aku sedikit pusing," ucap Bram.

"Ya, kamu demam. Sebaiknya, minum air putih dulu. Setelah itu makan buburnya, aku membuatkanmu bubur barusan," ucap Clara.

Bram menuruti Clara, dia meminum air putih itu. Clara duduk di samping Bram, mengambil handuk kecil yang masih menempel di dahi Bram kemudian membantu menyuapi Bram. Ditiupnya sebentar bubur yang masih panas itu, dan menyuapkannya pada Bram.

Bram mengernyit ketika memakan bubur itu, aromanya aneh sekali. Terasa sekali aroma gosong.

"Apa ada yang aneh dengan rasanya?" tanya Clara cemas. Dia khawatir Bram akan mencium aroma gosong di buburnya.

"Tidak, terimakasih untuk buburnya," ucap Bram tersenyum tipis.

"Hm ... Kamu harus minum obat setelah ini, tubuhmu masih demam," ucap Clara.

"Ngomong-ngomong, sebaiknya tak perlu ke kantor untuk hari ini. Kamu istirahat saja. Jika butuh sesuatu, hubungi aku," ucap Clara.

"Apa kamu akan ke butik?" tanya Bram.

"Tidak, aku akan mengunjungi Mamaku, tapi setelah itu, aku akan cepat kembali. Pekerjaanku masih banyak, aku harus segera menyelesaikannya," ucap Clara.

"Hm ... Baiklah," ucap Bram.

Beberapa suap bubur telah masuk ke mulut Bram. Bram pun tak sanggup lagi memakannya karena rasanya benar-benar tak layak makan. Hanya saja, Bram mencoba menghargai usaha Clara yang sudah mau repot-repot membuatkannya bubur.

"Sudah cukup, aku kekenyangan!" ucap Bram.

Clara berhenti menyuapi Bram, dan mengambil obat demam. Clara pun membantu Bram meminum obat itu.

"Sudah selesai, istirahatlah!" Clara membantu Bram merebahkan tubuhnya kembali dan menyelimuti tubuh Bram.

"Aku akan bersiap," ucap Clara dan pergi menuju ruang wardrobe. Dia pun bersiap.

Bram terdiam untuk sesaat, dia menutupi kepalanya dengan telapak tangannya.

'Memalukan sekali, aku bahkan sampai demam karena masalah semalam,' batin Bram.

Baru membahas tentang pernikahan, Bram bahkan sudah dibuatnya demam. Apalagi jika benar-benar dia melamar seorang wanita, mungkin dia bisa sekarat, pikirnya.

Tak lama Clara keluar dari ruang wardrobe, penampilan yang santai tetapi terlihat kasual, dengan rambut dicepol sembarang membuat Clara terlihat tampak manis.

Clara mengambil tasnya dan pamit pada Bram. Namun, belum sampai di pintu keluar, langkah Clara terhenti saat Bram memanggilnya.

"Ada apa?" sahut Clara.

"Belikan sesuatu untuk Mamamu, aku mungkin tak mengenalnya. Tapi, jangan biarkan kamu datang dengan hanya membawa tangan kosong," ucap Bram.

"Apa kamu sedang mencoba membayar jasaku, karena sudah membuatkan mu bubur?" tanya Clara bercanda.

"Hm ... Kamu makin pintar, buatlah harga yang menurutmu pantas untuk membayar semangkuk bubur, dan juga tenaga mu saat membuatnya tadi," ucap Bram tanpa ekspresi.

Clara menghela napas panjang, Bram benar-benar menyebalkan.

"Baiklah, aku akan membuatmu menyesal karena membiarkan-ku menentukan harga sendiri," ucap Clara tersenyum sinis dan keluar dari kamar.

'Menyebalkan sekali, apa dia pikir aku asisten rumah tangganya? Sehingga dia ingin membayar bubur, dan juga tenagaku? Aku bahkan tak berpikir sejauh itu, aku melakukannya, karena kasihan melihat dia tak baik-baik saja,' kesal Clara.

Clara pun meninggalkan apartemen dengan membawa beberapa paper bag yang dibawa asistennya tadi.

Di kamar, Bram merasa tak habis pikir pada Clara. Bram bermaksud berniat baik, mengingatkan Clara agar dia tak berkunjung menemui mamanya dengan hanya tangan kosong. Nyatanya, pertanyaan Clara justru membuatnya menjadi ikut bodoh. Sebetulnya, Bram tidak bermaksud bicara seperti itu, hanya saja dia gengsi menunjukan kepeduliannya terhadap orangtua Clara.

Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Clara pun sampai di sebuah rumah minimalis berlantai dua di daerah Bandung. Rumah itu tak terlalu besar hanya saja terlihat asri. Di halaman depan tampak dipenuhi tanaman yang tersimpan di dalam pot. Pot-pot itu tampak berjejer menghiasai halaman depan rumah.

Clara melihat seorang wanita yang tengah memotong daun-daun yang kering dari tanaman-tanaman tersebut. Dia pun menghampiri wanita itu dan memeluknya dari belakang.

"Oh ... Siapa coba ini yang datang?" tanya wanita itu.

"Anakmu yang cantik," ucap Clara tersenyum.

Wanita itu adalah mama Clara, dia tinggal di rumah itu hanya sendiri dengan ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.

Clara memanggil bibi dan memintanya membawa barang-barang yang Clara bawa masuk ke rumah. Setelah itu dia dan sang mama.

"Kamu selalu membawa banyak sekali jika pulang ke rumah," ucap sang mama.

"Apa kamu punya uang? Jangan terlalu boros, Clar. Kamu pasti punya banyak pengeluaran untuk kebutuhan hidupmu di Jakarta," ucap mama.

"Tidak apa-apa, Ma. Aku jarang sekali pulang, ini tidak seberapa," ucap Clara.

"Bagaimana pekerjaanmu? Apa semua baik-baik saja? Apa Bos mu memeperlakukan mu dengan baik?" sederet pertanyaan dilontarkan, membuat Clara terkekeh gemas mendengarnya.

"Semua baik-baik saja, aku baru saja mendapatkan bonus dari atasanku, karena itu aku bisa membeli semua ini," ucap Clara tersenyum.

"Apa kamu bahagia, Clar?" tanya mama.

"Maksud Mama?" Clara tampak bingung mendengar pertanyaan sang mama.

"Perlahan, kehidupanmu mulai membaik. Meski tak sepenuhnya seperti dulu, ketika masih ada Papa, setidaknya keuanganmu membaik, Mama bangga sekali padamu. Pekerja keras," ucap mama tersenyum.

Clara tersenyum getir. Andai saja sang mama tahu, apa yang Clara miliki saat ini sebagian besar adalah pemberian dari Bram karena dirinya menjadi wanita simpanan Bram.

Beberapa tahun belakangan, bisa dikatakan kehidupan Clara sangatlah tak beruntung.

Masa kecil hingga masa SMA-nya Clara hidup dalam kemewahan. Memiliki orangtua yang lengkap, perusahaan keluarga yang sukses. Dia bisa dengan mudah mewujudkan apa yang diinginkannya.

Memasuki masa kuliah, hidup Clara semakin bahagia. Bagaimana tidak? Dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Sempat bertemu kekasih pertamanya, lalu kandas. Bisa dibilang cinta di masa remaja saat itu. Sakit hati kah dia? Tentu saja. Meski cinta monyet, dirinya tetap memakai perasaan kala itu.

Hingga akhirnya bertemu dengan Reino, pria yang begitu gigih mendekatinya. Clara yang pada awalnya tak tertarik pun menjadi tertarik seiring banyaknya perhatian yang Reino berikan. Di mata Clara, Reino adalah penyembuh lukanya karena cinta monyetnya.

Clara mempercayai Reino sepenuhnya, melebihi dia mempercayai dirinya sendiri. Sayangnya, suatu ketika kehidupannya hancur.

Orang-orang yang dia cintai meninggalkannya. Sang papa meninggalkannya bahkan disaat Clara belum mewujudkan cita-citanya. Sang papa meninggal akibat serangan jantung setelah berakhirnya secara sepihak sebuah kerjasama perusahaannya dengan sebuah perusahaan lain. Perusahaan pun hancur seketika. Clara dan keluarganya kehilangan segalanya.

Sempat melaporkan ketidak adilan itu, dan sempat menjalani proses sidang di pengadilan, tetapi yang didapat pun hanya ketidak adilan. Karena pengadilan tak berpihak padanya. Lawannya memiliki segalanya, dan mencoba menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan kasus tersebut.

Meski sempat dirawat beberapa hari di Rumah Sakit. Namun nyawa sang papa tak dapat tertolong. Harapan Clara adalah Reino, pria yang memikat hatinya dengan segala kebaikannya saat itu. Bukan ingin meminta bantuan pada Reino, Clara berniat ingin bercerita melepaskan segala kesedihannya.

Sayangnya, bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula, Clara pun harus kecewa karena Reino mengkhianatinya. Kekecewaan yang begitu mendalam, ketika dia sudah merelakan segalanya untuk Reino, tetapi Reino justru mengkhianatinya. Clara bahkan merelakan harta berharganya sebagai seorang wanita pada Reino. nyatanya, Clara bukanlah wanita satu-satunya yang menjadi pelampiasan hasrat Reino.

Benar kata pepatah. Jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Namun, menyedihkannya wajah Reino terlihat baik, membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati. Nyatanya Reino adalah penjahat kelamin yang senang meniduri banyak wanita.

Sejak saat itulah, Clara pun menjadi sering datang ke klub malam. Menghabiskan waktu di sana hanya demi menghilangkan segala kesedihannya. Meski sesungguhnya tak ada satupun masalahnya yang selesai hanya dengan dia mabuk di klub. Mungkin dia bisa melupakan masalahnya untuk sesaat, tetapi setelah itu dia pun kembali hancur.

Ketika tak memiliki penghasilan kemudian harus tetap hidup, membuat dirinya yang menjadi anak satu-satunya harus bertanggung jawab pada keluarga satu-satunya yang dia miliki yaitu sang mama, membuat Clara tak mengerti harus dengan cara apa menghasilkan uang karena saat itu tak ada yang bisa dia lakukan. Ingin melamar pekerjaan, tetapi tak ada yang sesuai dengan keahliannya. Dia menyukai fashion sudah sejak dulu. Karena itu dirinya mengambil sekolah design busana, dan bermimpi menjadi designer hebat yang melahirkan gaun-gaun cantik kelak.

Bram, ketika itu adalah penyelemat bagi Clara. Bram adalah pemilik dari perusahaan yang satu-satunya Clara coba melamar pekerjaan di sana meski tak sesuai dengan keahliannya. Alih-alih menerima Clara sebagai pegawai di perusahaan Bram, Clara justru diminta untuk menjadi wanita simpanan Bram.

Meski pada awalnya Clara tampak bingung, dan tak ingin menerima tawaran Bram. Namun, Clara berubah pikiran ketika Bram menawarkan begitu banyak fasilitas kemewahan untuknya. Tak hanya itu, bahkan Bram yang menanggung biaya sekolah design busana Clara dan mewujudkan mimpi Clara untuk benar-benar menjadi  seorang designer dan memiliki butik sendiri. Tetapi hingga saat ini sang mama hanya tahu Clara bekerja di sebuah butik ternama dengan kontrak sebagai designer busana di Jakarta.

"Aku akan melakukan apapun, agar kehidupan kita seperti dulu," ucap Clara.

"Namun, tetaplah berada dalam batasan. Jangan sampai hanya demi uang, kita rela merendahkan harga diri kita. Bahkan sampai rela menjual tubuh kita. Wanita harus bisa menjaga kehormatannya. Mama hanya berpesan itu saja," ucap sang mama.

Mata Clara memerah. Sungguh dia tak tahan mendengar ucapan sang mama.

"Aku ke kamar mandi dulu," ucap Clara dan bergegas menuju kamar mandi.

Clara menangis, dia tak tahan lagi untuk tak terisak. Hatinya hancur karena sang mama begitu bangga pada keburukannya yang selama ini dia tutupi. Terlebih ketika Clara mendengar ucapan sang mama.

'Jangan sampai hanya demi uang, kita rela merendahkan harga diri kita. bahkan sampai rela menjual tubuh kita. Wanita harus menjaga kehormatannya,'

Clara pun menangis sejadi-jadinya. Dia tak peduli lagi dan tak mencoba menahan suara isakannya. Bahkan ketika ponselnya berdering pun, Clara hanya melihatnya sesaat, kemudian dimasukannya kembali ke tas. Tanpa sadar, layar jawab telepon tersentuh oleh jarinya, sehingga telepon itupun terjawab.