CWS 33

Di dalam kamar Clara.

Clara terkejut saat Bram dengan tiba-tiba melepas penyatuannya dengan Clara dan menendang lemari nakas di samping tempat tidur.

Tendangan yang cukup kuat, ketika Bram dengan kesal melakukannya karena ponselnya terus berdering ditengah kegiatan panasnya bersama Clara. Ada panggilan telepon masuk ke ponselnya beberapa kali, membuat Bram kesal dibuatnya. Orang yang meneleponnya benar-benar tak tahu aturan karena terus saja menghubunginya meski tak dia jawab.

"Mungkin itu penting, kamu bisa menjawabnya terlebih dahulu," ucap Clara.

Bram melihat Clara sekilas dan menjawab telepon itu.

'Halo, ada apa?' kesal Bram.

Tampak Anita di sisi lain merasa terkejut mendengar ucapan Bram yang cukup lantang.

'Bram, ini aku, Anita. Kenapa nada bicaramu seperti itu?" tanya Anita.

'Ya, ada apa?' tanya Bram masih tampak kesal tetapi nada bicaranya sedikit melembut.

'Kamu di mana? Apa tak kembali ke Hotel?' tanya Anita.

'Sudah kubilang, jangan menungguku. Tidur saja duluan," ucap Bram.

'Tapi aku kesepian,' ucap Anita.

'Jika begitu, minta saja Niko menemanimu!' ucap Bram dan mematikan teleponnya.

Dia menonaktifkan ponselnya, tak ingin ada yang mengganggu dirinya lagi, sekalipun itu Anita.

Clara terlihat bingung, tubuhnya masih polos di atas tempat tidur.

Bram kembali naik ke tempat tidur, memposisikan dirinya di atas Clara dan melanjutkan percintaannya dengan Clara.

"Apa itu Anita?" tanya Clara.

Bram tak menjawab, dia masih fokus menghujamkan miliknya ke milik Clara.

"Kamu bisa pergi jika Anita membutuhkanmu," ucap Clara.

"Aw ... Bram!" Clara berteriak ketika Bram dengan kuat mencengkram pinggangnya dan menghujamkan lebih dalam miliknya.

"Jangan membicarakan orang lain ketika kita hanya berdua Clara!" kesal Bram.

Clara diam, tak berani bicara lagi.

Hingga akhirnya Bram mendapatkan puncak kenikmatannya dan berlalu menuju kamar mandi. Setelah dia keluar dari kamar mandi, Clara gantian masuk ke kamar mandi.

Tubuhnya terlihat merah-merah karena cengkraman tangan Bram. Kepalanya terasa pusing, perutnya mual karena masuk angin. Dia terlalu lama berada dalam keadaan tubuhnya tak terbalut apapun.

Clara membersihkan tubuhnya, setelah itu keluar dari kamar mandi. Dia melihat Bram tengah duduk di tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur.

Clara diam saja, dia memilih memakai dress tidurnya dan naik ke tempat tidur.

"Clara!"

"Ya?"

Clara dan Bram terdiam sejenak, saling tatap satu sama lain.

"Apa kamu terluka?" tanya Bram.

Clara mengerutkan dahinya. Ada apa dengan Bram? Pikirnya.

Nada bicara Bram terdengar cemas.

Bram mendekati Clara dan memeriksa wajah Clara. Dia menarik tali dress tidur Clara dan melihat bekas merah di pundak Clara.

"Ke-kenapa?" tanya Clara gugup.

Dia takut Bram akan kembali menyakitinya.

"Maafkan aku atas kejadian tadi, sepertinya aku sudah keterlaluan padamu," ucap Bram.

Clara lagi-lagi terdiam. Semakin bingung mendengar permintaan maaf Bram.

'Apa tadi dia kesurupan hantu?' batin Clara.

"Clara!"

"Ha?" Clara tersentak ketika Bram menyentuh wajahnya.

"Aku akan menikah dengan Anita," ucap Bram.

"Lalu?" tanya Clara heran.

Clara sudah tau Bram akan menikah dengan Anita, lalu untuk apa Bram mengatakannya lagi?

"Aku tak pernah mencintainya," ucap Bram.

Clara mendekati Bram. Menatap mata Bram dalam-dalam. Dia menyentuh dahi Bram. Rasanya normal saja suhu tubuh Bram.

"Apa kamu bercanda? Menikah tapi tak mencintai? Yang benar saja," ucap Clara terkekeh.

"Ya, hubungan kami hanya sebatas bisnis," ucap Bram.

Clara menggelengkan kepalanya. Dia semakin terkekeh.

"Kamu suka sekali membuat hubungan bisnis, bahkan menikah saja untuk urusan bisnis. Apa sebegitu melekatnya jiwa pebisnis mu, hingga semuanya kamu jadikan sebagai kebutuhan bisnis?" ucap Clara.

"Aku serius!" kesal Bram menatap Clara dengan tajam.

Clara menelan air liurnya melihat tatapan Bram.

"Aku serius, Clara. Jangan menertawaiku! Aku menikah dengan Anita hanya sebagai kebutuhan bisnis saja. Tak lebih, aku bahkan tak pernah mencintainya," ucap Bram.

"Jika aku ada diposisi mu, aku takan pernah menikahi orang yang tak pernah aku cintai," ucap Clara.

"Kenapa begitu?" tanya Bram penasaran.

"Karena aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku, dan orang itu adalah orang yang mencintaiku dan aku cintai. Menerima segala kekuranganku, dan harus siap menanggung kebutuhan hidupku yang banyak," ucap Clara tersenyum.

"Bukankah kamu hanya menginginkan uang?" tanya Bram.

"Ya, mungkin pernikahan tak ada dalam pikiranku saat ini. Tapi, suatu saat aku akan menikah bukan? Dan aku tak ingin menikah dengan orang yang tak pernah aku cintai," ucap Clara.

"Apa tak ada satupun pria yang kamu cintai?" tanya Bram.

Clara mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Bram.

"Maksudnya, saat ini," ucap Bram.

Clara menggelengkan kepalanya dengan masih terkekeh.

"Benarkah? Satupun tak ada yang memikat hatimu?" tanya Bram tak percaya.

"Tidak ada. Aku sedang tidak mencintai siapapun, dan aku menikmati hidupku," ucap Clara.

Bram terdiam. Dia meninggalkan Clara keluar kamar, membuat Clara merasa bingung karena sebelum pergi ekspresi Bram terlihat berbeda.

Tak ingin ambil pusing, Clara memilih tidur. Tubuhnya benar-benar lelah. Sebelum memejamkan matanya, Clara berpikir tentang sikap Bram akhir-akhir ini. Bram memperlakukannya dengan kasar, apalagi ketika dia membuat kesalahan. Namun, entah mengapa Clara tak merasa takut, bahkan jika harus mendapatkan siksaan kembali. Dia mungkin takut sesaat, tetapi ketika melihat Bram kembali bersikap biasa saja, dia akan terbawa suasana.

Di sisi lain.

Bram pergi menuju balkon ruang tamu dengan perasaan kesal. Dia kesal setelah mendengar jawaban Clara, bahwa tak ada satupun pria yang membuatnya jatuh cinta saat ini. Tak terima mendengar jawaban Clara, entah apa masalahnya, Bram pun tak mengerti.

Dante yang masih ada di balkon berbalik, bernita akan masuk ke apartemen tetapi dia terkejut ketika berpapasan langsung dengan Bram yang baru saja sampai di sana.

"Maaf, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Dante.

"Ambilkan Saya anggur!" pinta Bram.

Dante mengangguk dan bergegas menuju mini bar. Dante mengambil segelas anggur dan memberikannya pada Bram. Bram mengambil, meminumnya sedikit. Pandangannya melihat ke bawah jalanan Ibukota yang tampak terlihat dari ketinggian gedung apartemennya. Lampu-lampu menyala memberikan penerangan ke setiap jalanan dan juga gedung-gedung tinggi di hadapannya.

"Saya permisi, Tuan," ucap Dante dan membuyarkan lamunan Bram.

Bram memanggil Dante, meminta Dante menemaninya sebentar.

"Bagaimana cara membuat wanita mengerti, bahwa ada pria yang menyukainya?" tanya Bram tanpa melihat Dante.

Dante merasa bingung, pada siapa Bram bicara? Dante mencoba melihat ke arah telinga Bram, dia berpikir mungkin Bram sedang bicara ditelepon melalui handsfree. Sama seperti kebiasaan Dante yang juga senang bicara di telepon melalui handsfree. Namun, Dante tak melihat handsfree di telinga Bram.

"Maaf, Tuan. Saya tak mengerti," ucap Dante. Dante berbicara dengan kepercayaan dirinya bahwa Bram memang bicara padanya.

"Ya sudah, lupakan saja!" ucap Bram dan masuk kembali ke apartemen. Bram meletakan gelasnya di atas meja ruang tamu dan pergi ke kamarnya.

Bram melihat Clara sudah terlelap, dia mendekati Clara dan menatap Clara sejenak. Setelah itu dia naik ke atas tempat tidur.

Bram meletakan kepalanya di atas lengannya yang ditekuk, dia melihat langit-langit kamar. Sesaat kemudian Bram melihat punggung Clara yang sedikit terbuka. Dia menyentuh punggung Clara dengan jari telunjuknya. Begitu pelan, dia tak ingin Clara sampai terbangun karena merasakan sentuhannya.

Bram mendekatkan wajahnya ke punggung Clara, dia mengecup punggung itu cukup lama. Pandangannya kembali melihat ke arah bekas merah di pundak Clara, itu jejak cengkraman dari tangannya ketika tengah bercinta tadi.

"Maaf, Clar. Aku tak bisa mengontrol diriku ketika aku merasa terusik atas sesuatu. Entah bagaimana caraku menjelaskannya, akupun terkadang tak mengerti dengan perasaanku," gumam Bram.

Bram teringat pada seseorang, dia mengambil ponselnya dan membuka kotak galeri yang dia sembunyikan dan dia kunci. Ketika akan melihatnya, Bram harus mengetik sebuah password terlebih dahulu.

Dia melihat foto wanita cantik yang tengah duduk dipangkuannya. Foto itu diambil candid ketika Bram tengah berlibur bersama wanita itu. Di foto itu, Bram menatap wanita itu seraya mengaitkan rambut wanita itu di telinga.

Wanita itu adalah wanita terakhir kali yang menjadi kekasih Bram. Keduanya menjalin hubungan cukup lama. Saling percaya satu sama lain, itulah komitmen Bram saat menjalin hubungan dengan mantan kekasih terakhirnya. Bram tak pernah mengekang kekasihnya, dia membebaskan kekasihnya ketika itu. Cinta, itulah alasan Bram untuk tak menaruh curiga sedikit pun pada mantan kekasihnya ketika itu.

Bram pebisnis, tentu dia tak memiliki banyak waktu bersama kekasihnya. Dia sibuk dalam dunia pekerjaannya, bahkan untuk sekedar beristirahat saja rasanya sulit. Bram bukan tipe pria yang ketika mencintai seseorang, lalu dia akan selalu menunjukannya dengan melakukan hal-hal yang romantis. Dia bukan tipe pria yang romantis, bahkan dia tak pernah memberikan bunga melalui tangannya secara langsung. Namun, Bram akan memberikan apa saja ketika dia sudah mencintai seseorang. Dia bukan tipe orang dominan terhadap pasangannya. Dia bisa menempatkan diri ketika berada dilingkungan pribadi dan pekerjaannya. Bram tegas sebagai pemimpin sudah pasti, tetapi dia lembut terhadap orang yang dia cintai.

Hingga suatu ketika, Bram mendapatkan hal terburuk dalam hidupnya, di mana kekasihnya mengkhianatinya dan bukannya minta maaf, kekasihnya justru menyalahkan Bram yang tak pernah ada untuknya. Bram bahkan tak pernah tahu, kapan kekasihnya tengah sedih dan membutuhkannya, Bram tak mengerti akan hal itu.

"Kamu tak pernah mencintaiku, Bram. Kamu hanya mencintai duniamu sendiri!"

Kata itu selalu terngiang di telinga Bram. Kata terakhir sebelum berakhir hubungan asmaranya dengan wanita itu. Bram mungkin tak seromantis kebanyakan pria di luar sana, bahkan mungkin tak seromantis pria yang sudah membuat kekasihnya mengkhianati Bram. Namun, Bram selalu berusaha mencukupi kebutuhan kekasihnya. Entah berapa banyak uang yang Bram keluarkan untuk kekasihnya, dan dia tak pernah memperhitungkan itu. Bram tak memiliki banyak waktu untuk menemani kekasihnya ketika itu, karena itu sebagai penggantinya apapun yang diinginkan kekasihnya maka akan dia berikan.

Hanya saja, yang membuat Bram tak habis pikir, karena kekasihnya tak pernah menyadari cinta yang Bram miliki untuknya. Tak perlu dikatakan, Bram begitu mencintai wanita itu. Dia begitu terluka ketika harus menelan kenyataan pahit bahwa kekasihnya memilih memutuskan hubungan keduanya dan memilih pria lain.

Ketika itu pula, Bram pergi menuju Klub dan bertemu Clara. Entah mengapa, dia tertarik untuk menjadikan Clara sebagai simpanannya sebagai pelampiasan rasa sedihnya. Ketika itu bahkan banyak wanita yang menginginkannya, tetapi dia justru memilih Clara. Tak ada penyesalan sedikit pun di hati Bram, karena menjadikan Clara pelampiasan rasa sakitnya. Karena dia menyadari Clara pun menginginkannya, dia tak pernah memaksa Clara.

Bram menekan foto itu cukup lama, dan muncullah kata 'Delete' Dia menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan perlahan. Dia klik kata 'Delete' tersebut hingga foto itu hilang terhapus.

Dia menyimpan kembali ponselnya, dia melihat Clara sekali lagi.

'Foto itu tak lagi berguna, bahkan aku tak pernah lagi merindukan wanita di foto itu,' batin Bram.

Bram memejamkan matanya, dia pun tertidur.