Pendekar Bayangan

Fajar tiba bersamaan riuh kokok ayam jantan bersahutan di desa Jawi Bhumi. Empat orang komplotan Gagak Hitam yang berhasil merampok uang dari tangan seorang pemabuk sibuk menyusuri beberapa rumah. Mereka membagikan kepingan uang rampokan kepada para penduduk.

Salah satu anggota Gagak Hitam, menaruh beberapa keping uang di depan rumah Satria Braja. Gemerincing suara keping uang itu terdengar oleh telinga Arsi Arsanti. Ia segera bangun dari tidurnya. Firasatnya mengatakan, ada seseorang di depan rumahnya. Ia bergegas menuju pintu. Sebelum membuka pintu, wanita itu mencoba mengintip dari celah dinding anyaman bambu.

Tidak ada siapa-siapa, pikirnya.

Ia kemudian membuka pintu. Betapa terkejutnya Arsi Arsanti melihat kepingan uang tergeletak di tanah tepat depan pintu rumahnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun tak menemukan seorang pun. Tangannya bergerak cepat menyambar kepingan uang. Lalu buru-buru menutup pintu. Di balik pintu, ia mendekap kepingan uang di dadanya. Sambil memanjatkan syukur, ia berterima kasih kepada siapa pun yang memberinya uang.

Ia mencoba menebak siapa pemberi kepingan uang itu. Desas-desus di masyarakat desa tersebar kabar adanya sekelompok pendekar yang melakukan perampokan harta terhadap para bangsawan, orang kaya, dan perwakilan kerajaan untuk dibagikan kepada rakyat kecil yang hidupnya susah. Mereka menyebutnya pendekar bayangan. Sepengetahuan Arsi Arsanti, para pendekar bayangan mencoba menolong rakyat kecil yang hidup susah karena berbagai kebijakan kerajaan yang hanya menguntungkan pihak istana dan menyengsarakan rakyat.

Salah satunya, aturan tentang upeti. Pihak kerajaan mewajibkan rakyat menanam padi tapi 4/5 dari hasil panen harus diserahkan pada kerajaan. Hanya 1/5 hasil panen yang boleh dimiliki oleh rakyat. Bahkan, rakyat dilarang memakan daging-daging tertentu seperti sapi, kerbau, kambing, kuda, rusa, babi, kelinci, burung, ayam, dan bebek. Sebab, hanya raja dan para pembantunya yang boleh makan daging-daging lezat itu. Rakyat hanya boleh makan daging tikus, kadal, ikan, belalang, dan beberapa serangga.

Arsi Arsanti teringat pada sepiring tempe. Ia membayangkan betapa bahagianya Satria Braja menyantap makanan kesukaannya. Genggamannya pada kepingan itu semakin erat. Senyum Satria Braja terpampang di depan matanya.

"Terima kasih, Pendekar Bayangan," ucapnya lirih.

Arsi Arsanti merasa para dewa mendengarkan doanya. Sejak ia mengucapkan janji sepiring tempe, ia berusaha mencari kerja ke sana ke mari namun tak mendapatkan. Tak mudah mendapat kerja di masa yang serba sulit ini. Hanya orang-orang dengan garis keturunan yang jelas yang bisa kerja.

Para tuan tanah di desa hanya memperkerjakan buruh tani berdasarkan garis keluarga. Sementara Arsi Arsanti merupakan seorang pendatang di Jawi Bhumi tanpa seorang saudara satu keluarga. Ia hanya punya Satria Braja yang saat itu berusia dua tahun, saat pertama kali tinggal di Jawi Bhumi. Hidup Arsi Arsanti hanya bergantung pada tanaman singkong.

***

Setelah membagikan uang rampokan, komplotan Gagak Hitam datang ke sebuah pondok kecil di tepi hutan. Mereka menemui tiga orang yang sudah menunggu. Tiga orang itu adalah seorang pengembara, seorang pengemis, dan seorang pemilik rumah bordil.

"Terima kasih atas kehadirannya sedulur-sedulurku," ucap pimpinan rombongan.

"Terima kasih kembali atas undangannya, Wiyasa Item Utara," jawab sang pengembara.

"Ada kabar apa di kerajaan Pawana Nagara?" tanya Wiyasa Item Utara kepada pengembara itu.

"Tampaknya Pawana Nagara belum mengambil sikap terkait surat ajakan koalisi dari kerajaan Bantala Nagara. Mereka masih menghitung segala kemungkinan. Bisa saja mereka berkoalisi dengan Negara Atas Angin yang semakin kuat dengan koalisi gemuknya," beber sang pengembara.

"Apakah mereka sudah persiapan untuk perang?" tanya Wiyasa Item Utara yang kurang puas dengan jawaban sang pengembara.

"Persiapan perang? Sepertinya mereka dalam kondisi normal, namun mereka tentu sadar dan waspada lokasinya tepat berada di tengah-tengah kerajaan besar seperti kerajaan Bantala Nagara maupun Negara Atas Angin. Hanya saja, hingga saat ini mereka tampaknya fokus pada mempertahankan wilayah. Belum nampak tanda-tanda persiapan perang," jawab sang pengembara.

"Bagaimana jika kita mengajak Pawana Nagara untuk bersekutu?" tanya Wiyasa Item Utara dengan penekanan intonasi yang kuat pada kata terakhir.

"Bersekutu? Aku kira itu adalah ide yang terlalu berani," sahut sang pengembara.

"Bagaimana pendapatmu, Kakanda Pengemis?" tanya Wiyasa Item Utara kepada seseorang yang tua renta dengan pakaian compang-camping.

"Aku sepakat bahwa mengajak Pawana Nagara bersekutu adalah ide yang gila. Terlalu berani. Namun, layak untuk dicoba. Saat ini, rakyat Jawi Bhumi sudah merasa sangat sengsara dengan berbagai aturan kerajaan. Propaganda kita dengan mudah disambut oleh rakyat. Mereka mengelu-elukan kita dengan menyebut Pendekar Bayangan. Kita dijadikan sebagai simbol keberanian terhadap raja yang lalim. Mereka memimpikan lahirnya pemberontakan. Dan, kita adalah harapan mereka," jelas sang pengemis.

"Meski begitu, kita tidak boleh gegabah. Ingat, raja telah mengutus putranya, Pangeran Aryasuta Cadudasa ke desa Jawi Bhumi. Namun hingga saat ini, orang-orangku di rumah bordil belum mendapatkan informasi tentang keberadaanya. Padahal, seharusnya ia sudah berada di desa ini. Kita harus berhati-hati dalam bergerak," timpal satu-satunya pemilik rumah bordil di Jawi Bhumi itu.

Wiyasa Item Utara diam sejenak. Bola matanya bergerak mengamati ketiga orang di depannya. Ia sempat mengangguk sebelum menenggak minuman arak di dalam gelas yang terbuat dari bambu. Ia menenggaknya dalam sekali hembusan nafas.

"Kita memang harus hati-hati, itulah pesan dari Ketua Wiyasa Item. Kita harus tetap gerilya sambil membangun kekuatan. Propaganda terhadap rakyat harus terus kita lakukan. Kita hanya perlu melemparkan api pada tumpukan jerami kering. Maka, api perlawanan akan muncul dengan sendirinya. Hari yang kita tunggu-tunggu pasti datang, pemberontakan terhadap raja yang sewenang-wenangnya pasti terjadi. Hidup perlawan. Hidup Wiyasa Item!" teriak Wiyasa Hitam Utara.

"Hidup perlawanan. Hidup Wiyasa Item," sambut anggota lainnya.

"Kesempatan untuk berkoalisi dengan kerajaan Pawana Nagara dan Baruna Nagara akan aku sampaikan kepada Ketua Wiyasa Hitam. Saat ini, aku bersama Kakanda Pengemis akan fokus untuk membangun gerakan akar rumput melalui propaganda kebencian terharap kerajaan. Kita harus terus mendampingi rakyat agar harapan mereka tidak padam. Kita harus bisa menciptakan keadilan meski melalui bayangan. Hingga tiba waktunya kita merobohkan kerajaan ini," ucap Wiyasa Item Utara.

"Baiklah, aku kira pertemuan ini sudah cukup mengingat matahari akan segera terbit. Terima kasih atas segala jasa-jasa kalian. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Silakan kembali bertugas masing-masing. Para dewa selalu bersama kita, pejuang keadilan. Hidup perlawanan. Hidup Wiyasa Item!" pungkas Wiyasa Item.

"Salam hormat, Wiyasa Item Utara. Hidup perlawanan. Hidup Wiyasa Item!" ucap sang pengemis.

"Salam hormat, Wiyasa Item Utara. Hidup perlawanan. Hidup Wiyasa Item!" ucap sang pengembara.

"Salam hormat, Wiyasa Item Utara. Hidup perlawanan. Hidup Wiyasa Item!" ucap sang pemilik rumah bordil.

Selanjutnya, mereka berpencar. Wiyasa Item Utara bersama tiga anggotanya berjalan menuju hutan. Sang pengembara kembali menuju kerajaan terangga, Pawana Nagara. Pemilik rumah bordil dan pengemis berjalan bersama menuju pemukiman desa Jawi Bhumi. []