BAB 4

Vano’s Pov

Sinar fajar mulai memasuki ruang kamarku melalui ventilasi jendela, aku membuka mataku dan perlahan beranjak dari kasurku hendak menuju kamar mandi. Aku sangat terkejut saat mendapati Mila sedang meringkuk di lantai, aku lupa bahwa semalam dia tidur dikamarku. Aku melirik ke arah jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul 06.20 WIB dan Mila belum juga bangun dari tidurnya padahal ini adalah hari pertamanya sebagai menantu di rumah ini. Aku menyenggol kakinya dengan kakiku mencoba untuk membangunkannya, tapi ia tak kunjung bangun. Ia hanya bergerak sedikit membenahi posisi tidurnya dan itu sangat membuatku kesal.

“Bangun Mila!” Bentakku. Tapi, ia sama sekali tidak menghiraukan perkataanku. Aku segera pergi ke kamar mandi dan mengisi penuh bathup dengan air, dan aku kembali menghampiri Mila.

“Mila, aku bilang bangun sekarang!” Bentakku sekali lagi, dan ia masih sama seperti sebelumnya. Tanpa berpikir lagi, aku langsung mengangkat Mila dan membawanya ke kamar mandi. Ku ceburkan tubuhnya ke dalam bathup yang telah ku isi penuh dengan air sebelumnya, dan usahaku tidak sia-sia akhirnya Mila bangun dari tidurnya.

“Aaaaa…. Kamu gila ya!” Teriaknya.

“Siapa suruh kamu tidur kayak kebo?” Ucapku ketus.

“Kamu benar-benar bukan manusia, sudah membiarkanku tidur kedinginan dilantai dan sekarang kamu membuatku basah kuyup pagi-pagi seperti ini.” Gerutunya dengan bibir gemetaran.

“Ini hari pertamamu sebagai menantu, pergilah ke dapur untuk menyiapkan sarapan.” Seruku.

“Aku tidak bisa masak.” Jawabnya singkat.

“Bisa atau tidak, suka tidak suka kamu harus tetap ke dapur. Jadi istri dan menantu yang baik. Jangan buat siapapun curiga padamu.” Jelasku.

“Aku tidak bisa ke dapur dengan pakaian basah seperti ini, aku tidak punya satu helai pakaianpun untuk ku kenakan.” Ujarnya.

“Gunakan handuk ini dan mandilah. Aku akan meminjam pakaian kak Indira, semoga saja pas dengan tubuhmu.” Seruku sambil melemparkan handuk padanya, lalu berlalu pergi meninggalkannya. Aku tahu sikapku mungkin keterlaluan padanya, jauh dilubuk hatiku paling dalam aku merasa sakit menyiksanya seperti ini. Tapi, aku juga tidak bisa menghilangkan rasa benciku padanya. Bagaimana bisa aku terjebak antara cinta dan benci seperti ini, dan ini sangat menyiksa batinku. Aku segera mengetuk pintu kamar Indira untuk meminjam pakaiannya, untunglah Indira sudah bangun.

“Kenapa Kak, kok pagi-pagi udah kemari?” Tanyanya bingung.

“Boleh pinjamkan beberapa pakaian kamu? Mila tidak punya pakaian untuk ia kenakan, rencananya sepulang dari kantor baru mau Kakak belikan pakaian untuknya.” Jelasku.

“Tunggu sebentar ya, aku ambilin dulu.” Ujar Indira. Tidak begitu lama aku menunggu, Indira sudah memberikan pakaiannya padaku. “Nih, pakaian ini kebetulan semuanya belum pernah akupakek. Jadi buat Kak Mila aja.”

“Makasih banyak ya dekk, nanti akan Kakak ganti dengan pakaian yang baru.” Ucapku.

“Tidak perlu, istri Kakak juga kakak aku.” Ujarnya tersenyum.

Akupun segera kembali ke kamarku dan memberikan pakaian yang baru saja diberikan kak Indira pada Mila. Saat aku masuk kedalam kamar, Mila masih berdiri didepan pintu kamar mandi dengan handuk yang diselimutkannya. Aku langsung menghampirinya dan melemparkan pakaian yang ku bawa padanya.

“Nih, gunakan pakaian ini. Segeralah mandi, dan turunlah ke bawah. Siapkan sarapan untuk semuanya.” seruku. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Mila kembali masuk kedalam kamar mandi setelah menatapku dengan tatapannya yang tajam.

***

Mila’s Pov

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di dapur, sebelumnya aku belum pernah menyiapkan sarapan untuk siapapun apalagi untuk satu keluarga. Vano benar-benar telah membawaku dalam masalah besar, dan dengan bodohnya aku dengan suka rela masuk dan terjebak dalam masalah yang ia ciptakan.

“Apa yang Non lakukan disini?” Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya mendekatiku, dengan segera aku menoleh ke arahnya.

“Aku cuma mau menyiapkan sarapan, tapi bingung mau nyiapin apa. Soalnya gak tau kebiasaan dirumah ini gimana.” Jelasku.

“Non kembali aja ke kamar, ini kan tugasnya Bibik. Biar Bibik aja yang nyiapin sarapan.” Serunya.

“Bibik ini kerja disini?” Tanyaku.

“Iya Bibik asisten rumah tangga disini.” Jawabnya.

“Yaudah gak pa-pa Bik, kalo gitu Mila bantuin Bibik aja ya. Gak enak Mila numpang makan tidur disini tapi gak ngelakuin apa-apa.” Pintaku.

“Jangan Non, Non Mila kan istrinya Den Vano. Saya takut dimarahin nanti Non.” Ujarnya menolak.

“Plisss Bik, Bibik tenang aja. Ini Vano kok yang nyuruh. Boleh ya Mila bantuin Bibik? Biar Mila bisa belajar masak sama Bibik.” Jelasku.

“Beneran gak pa-pa?” Tanyanya kembali.

“Beneran bik. Percaya deh sama Mila. Nanti Mila yang tanggung jawab.” Ucapku meyakinkannya.

“Yaudah, kalo gitu Non Mila bantuin Bibi potong bawang ya.” Serunya. Akupun menggangguk dan langsung meraih bawang untuk ku kupas dan potong.

“Emang kita mau bikin apa Bik?” Tanyaku.

“Bikin nasi goreng aja, disini semuanya pada suka makan nasi goreng. Apalagi Den Vano.” Jawabnya.

“Oh iya nama Bibik siapa? Masak Mila panggil Bibik aja.”

“Sumiati, mereka disini biasa manggil Bibik Bik Sum.” Jawabnya.

“Bik Sum udah lama kerja disini?” Tanyaku.

“Udah lama Non, sejak ibunya Den Vano sama Non Indira masih hidup.” Jawabnya.

“Ibunya? Loh bukannya yang sekarang itu Ibunya?” Tanyaku penasaran.

“Yang sekarang itu Ibu sambungnya, Ibu kandungnya udah meninggal sejak Den Vano kelas dua SD.” Jelasnya. Aku menganggukkan kepalaku. “Non beruntung jadi istrinya Den Vano. Den Vano itu orangnya baik banget Non.” Lanjutnya.

“Baik? Bibik gak salah muji Vano kayak gitu?” Tanyaku tidak percaya.

“Non Mila kan istrinya. Pasti lebih tahu seberapa penyayangnya Den Vano itu.” Jawabnya tersenyum. Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

Setelah menyelesaikan masakan, aku menghidangkan sarapan diatas meja makan, semua orang yang melihatku menatapku diam. Entahlah aku tidak mengerti, mungkin mereka membenciku karena menikah dengan putra mereka dengan cara yang tidak beretika menurut kedua keluarga kami.

“Kenapa kamu yang menyiapkan sarapan? Kan ada Bik Sum.” Tanya Ibunya Vano.

“Gak pa-pa tante, lagian Mila juga gak ada kegiatan.” Jawabku.

“Lain kali gak perlu, biar Bik Sum aja yang nyiapin.” Serunya. Aku hanya menunduk diam.

Tiba-tiba ponsel Om Harlan berbunyi memecah keheningan di ruang makan.

“Hallo Nay? Ada apa…….syukurlah kalo begitu….nanti aku mampir kesana liat Abi……..tidak, jangan berkata begitu…….oke baiklah……” Aku yakin itu Mama yang menelpon. Aku ingin sekali berbicara dengan Mama, karena panggilan dan sms dariku tidak satupun yang direspon oleh Mama.

“Om, itu Mama kan? Mila boleh ya bicara sama Mama?” Pintaku. Mereka semua memandangku, Om Harlan menganggukkan kepalanya tanpa senyuman lalu memberikan ponselnya padaku. Aku merasa sangat bahagia karena bisa bicara dengan Mamaku.

“Hallo Mama. Ma, gimana keadaan Papa Ma?” Tanyaku. Namun sama sekali tak ada jawaban dari seberang sana.

“Ma?? Mama denger Mila kan?” Ucapku kembali. Tapi tetap sama, masih tak ada jawaban. Aku melihat ponsel Om Harlan memastikan bahwa sambungannya tidak terputus. Panggilannya masih menyambung. Tapi Mamaku sama sekali tidak ingin berbicara denganku, aku tahu itu alasan mengapa Mama diam saja.

“Ma? Jawab Mila Ma, jangan hukum Mila seperti ini Ma.” Air mataku mulai berlinang. Mama benar-benar sudah tidak ingin berbicara lagi denganku hingga akhirnya sambungannya terputus.

“Hallo Ma.. Hallo??” Sambungannya benar-benar sudah terputus. Aku mengembalikan ponsel milik Om Harlan dan langsung pergi kembali ke kamar Vano, meninggalkan mereka semua. Ku kunci pintu kamarnya, agar tidak ada siapapun yang dapat melihatku. Bahkan aku melupakan bahwa ini adalah kamar Vano. Aku menangis dalam sendiriku di kamar Vano, meratapi nasibku yang malang.

“Tuhan, kenapa Engkau berikan aku cobaan seberat ini? Apa tujuan-Mu membiarkan hidupku seperti ini? Aku sangat merindukan keluargaku. Apa yang sebenarnya aku lakukan di rumah bak istana ini tapi bagaikan neraka bagiku. Mengapa Engkau membiarkan aku berurusan dengan orang yang kejam seperti Vano? Apa salahku Tuhan?” Lirihku sambil menangis.

***

Vano’s Pov

Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi bekerja, sejak aku menginjakkan kaki ke kantorku tapi pikiranku masih saja ada di rumah. Memikirkan apa yang akan dilakukan gadis itu dirumah, atau ia akan meminta bantuan Deni laki-laki brengsek itu, untuk melawanku.

Tok…Tok…Tok…

Suara ketukan pintu ruanganku membuyarkan lamunanku. Pastilah itu Jeje sekretarisku.

“Masuk.” Seruku.

“Permisi pak, saya hanya ingin mengingatkan sepuluh menit lagi kita akan rapat pak.” Ujarnya. Bahkan aku lupa pada agenda rapat itu.

“Iya baiklah.” Ucapku. Lalu Jeje pun pergi meninggalkan ruanganku.

Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu hendak menyusul Jeje ke ruang rapat. Aku tidak ingin membuang waktu walau hanya semenit, aku tidak suka jika harus menunggu ataupun ditunggu. Saat aku hendak membuka pintu ruanganku, sayup-sayup aku mendengar suara kegaduhan diluar ruanganku. Aku segera membuka pintu ruanganku, ingin memastikan apa yang sedang terjadi diluar sana.

“Ada apa ini?” Tanyaku, dan aku langsung menemukan jawabannya saat aku melihat Mila sedang berdiri dihadapan Sekretarisku.

“Maaf Pak, saya sudah mencegahnya. Tapi wanita ini memaksa untuk bertemu dengan Bapak.” Ujar Jeje. Aku tidak tahu drama apa yang ingin Mila ciptakan di kantorku.

“Pergilah. Biarkan wanita ini menyampaikan maksudnya memaksa kesini.” Ucapku pada Jeje. “Hal apa yang membawamu kemari Nona?” Tanyaku.

“Kamu harus ikut aku ke rumah sakit sekarang, aku mau kamu menjelaskan semuanya pada keluargaku. Atau setidaknya tolong buat mereka memahami keputusanku, tolong bantu aku.” Pintanya.

“Tidak. Aku sibuk.” Jawabku singkat.

“Aku tidak ingin mendengar jawaban tidak darimu Tuan Alvano Adibrata.” Ucapnya dengan tatapan yang menantang.

“I’m busy.” Ucapku lalu hendak meninggalkannya. Namun, ia menarik tanganku.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”

Menjengkelkan sekali harus berdebat dengannya didepan karyawanku seperti ini. “Please let me go Mila, and you go away!” Bentakku sambil menepis tangannya.

“Kau manusia yang kejam” umpatnya padaku.

“Make your own sandwich.” Aku sama sekali tidak perduli dengan ucapannya apalagi dengan permintaannya.

“Aku sedang tidak ingin makan sandwich, aku sedang tidak lapar. Berhentilah mengalihkan pembicaraan.” Ungkapnya.

“Siapa yang menyuruhmu untuk makan sandwich?” Teriakku tidak percaya, maksudku ingin mengatakan masa bodoh, tapi Mila malah mengganggapku menyuruhnya makan sandwich. Aku memukul pelan jidatku.

“Baiklah hentikan ocehanmu itu! And you get out of my office area!” Ucapku sambil mendekatkan wajahku padanya.

“Yah, no smoking area.” Balasnya padaku dan sukses membuatku menganga tidak percaya dan membuat semua orang disana tertawa, tidak mungkin orang sepertinya tidak bisa bahasa Inggris. “Baiklah lupakan hal itu. Sekarang ikut bersamaku, temui orang tuaku.” Pintanya kembali.

“Kau tidak malu meminta hal itu padaku Nona? Lihatlah semua orang disini menatapmu.” Ucapku tersenyum miring.

“Aku tidak pernah perduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang aku, yang aku tahu kamu harus ikut aku sekarang.” Ujarnya memaksaku hingga dengan beraninya ia menarik tanganku untuk ikut bersamanya. Aku menepis tangannya.

“Lepaskan tanganku, memangnya kamu siapa sehingga berhak memaksaku seperti ini.” Ucapku ketus.

“Siapa? Aku siapa? Apa perlu aku mengatakannya disini dihadapan semua orang bahwa aku ini siapa? Jika aku mau, saat ini juga aku bisa mengatakan bahwa aku adalah istrimu, kita terpaksa menikah siri karena kau telah menghamiliku.” Bisiknya mengancamku. Dia gadis yang gila. Tentu saja reputasiku lebih penting bagiku. Aku menatapnya begitu tajam.

“Jika kau melakukan itu, keluargamu game over.” Balasku berbisik. Aku tersenyum penuh kemenangan lalu berlalu meninggalkannya yang masih berdiri mematung didepan ruanganku. Sesaat kemudian aku mendengar dia memanggil namaku.

“Vano..” panggilnya. Dengan senang hati aku berbalik ke arahnya, namun sialnya.

BLURRRR…

Mila malah menyiramku dengan secentong air, aku yakin air itu ia dapatkan dari OB kantorku yang sedang melintas disana, dan basahlah wajahku beserta pakaianku bagian depan.

“Apa yang kau….aaaahhh.” Teriakku kesal.

“Ini akibat karena telah berani mengacaukan hidupku.” Ungkapnya, lalu ia melangkah menjauhiku dan hendak meninggalkan kantorku setelah mempermalukanku. Tanpa berpikir panjang lagi, aku mengambil seember air yang dibawa oleh OB itu dan ingin ku balas perlakuan Mila padaku.

“Mila!” Teriakku.

“Apa lagi yang ing….hhhhhhh…” Kalimatnya terputus saat seember air itu aku guyurkan pada tubuhnya dari atas sehingga ia basah kuyup.

“Ini akibatnya karena telah berani menyiramku.” Ucapku padanya. “Panggilkan keamanan, bawa wanita ini keluar dari kantorku sekarang juga.” Perintahku pada semua karyawanku yang sedang menonton drama gratis.

“Dia siapa? Lancang sekali memperlakukan Pak Vano seperti itu?” Terdengar pelan salah satu karyawanku berucap.

“Wanita tidak beretika.” Timbal salah seorang lagi dibelakangku. Akupun meninggalkan Mila disana, dan hendak mengganti pakaianku yang sudah basah.

***

“Dimana Mila?” Tanyaku pada Ibu dan Indira yang sedang menata bunga.

“Mungkin di kamarmu. Ada apa Van? Kenapa kamu terlihat kesal begitu?” Tanya Ibuku. Aku sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan Ibuku dan langsung menuju ke kamarku. aku akan memberi pelajaran padanya karena telah berani mempermalukanku dan juga dirinya sendiri didepan semua karyawanku. Aku membuka pintu kamar dengan kasar, dan berteriak memanggil namanya.

“Mila! Keluarlah, aku sedang tidak ingin bercanda denganmu.” Bentakku. Tapi ia tak kunjung muncul dihadapanku, aku beralih menuju kamar mandi dan teras kamarku mencoba menemukannya tapi ia tetap tidak ada disana.

“Mila! Jangan menguji kesabaranku.” Teriakku kembali. Sesaat kemudian aku mendengar suaranya dari bawah ranjang.

“Aduuhh kepalaku, awww..” Terdengar ia meringis kesakitan. Aku segera berjongkok memeriksanya dibawah ranjang, dia sangat histeris ketika melihatku dan hal itu membuatku bingung melihatnya. “Tolong aku! Selamatkan aku! Tolong aku!” berulang kali ia mengucapkan kalimat itu. Melihatnya ketakutan seperti itu, aku membaringkan tubuhku dan merangkak mendekatinya. Aku genggam tangannya erat.

“Kamu kenapa?” Tanyaku bingung. Tidak mungkin ia berubah menjadi setakut ini padaku hanya karena kejadian di kantor tadi.

“Tolong aku, tolong aku…” Ia terus mengulang kalimat itu dengan matanya yang terpejam.

“Lihat aku! Ini aku, Vano!” Teriakku. Mila kemudian menatapku, matanya berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang sedang ia pikirkan. Keringatnya mengalir.

“Tolong bawa aku keluar dari sini, aku takut.” Pintanya dengan bibir gemetar. Akupun membantunya untuk keluar dari bawah ranjang dan membuatnya duduk diatas kasurku. Dia terlihat sangat ketakutan, di dahinya penuh dengan keringat.

“Kamu kenapa?” Tanyaku kembali.

“Aku..a-..a-ku tidak apa-apa.” Jawabnya gemetar.

Aku meraih wajahnya dengan kedua tanganku. “Katakan saja, ada apa?” Aku melembutkan suaraku.

“A-ku tadi ingin bersembunyi darimu, karena a-..aa-ku tahu kamu pasti sangat marah padaku. Tapi ketika dibawah sana, aku merasa sangat ketakutan. Aku merasa ada seseorang yang ingin membunuhku, aku merasa bahwa itu seperti nyata.” Jelasnya. Aku tidak tahu apa yang sedang ia jelaskan padaku, atau apa yang sedang mengganggu pikirannya. Aku langsung memeluknya dan mencoba menenangkannya, tentu saja hal yang aku lakukan sangat membuatnya terkejut.

“Tenanglah, aku disini. Tidak akan ada siapapun yang menyakitimu. Tenangkan dirimu.” Aku mengusap lembut rambutnya. Jujur saja, jantungku berdetak kencang sekali. Pertama kalinya aku memeluk seorang wanita selain Ibuku dan Adikku.

“Van…” Ucapnya pelan.

“Hmm” Jawabku.

“Kenapa kau..”

Aku tahu apa yang ingin ia katakan padaku, sebelum dia berbicara terlalu jauh, aku langsung saja memotongnya. “Jangan mengatakan apapun, ikuti saja skenarioku. Mereka sedang memperhatikan kita.” Bisikku.

“Siapa?” Tanyanya berbisik.

“Ibu dan Indi.” Jawabku singkat.

“Baiklah akan ku ikuti skenariomu, tapi dengan satu syarat. Jika tidak, aku tidak mau bertingkah seperti ini.”

“Apa itu?” Desakku.

“Tolong perbaiki hubunganku dengan keluargaku. Ku mohon.” Pintanya.

“Baiklah akan ku lakukan.” Aku melepaskan pelukanku padanya, jika terlalu lama dia pasti akan meminta syarat yang lebih lagi. Aku tidak suka gadis ini memiliki banyak keinginan. “Ayo bersiaplah, kita ke rumah sakit menjenguk Papamu. Kamu pasti sangat ingin bertemu dengannya kan? Ayo bersiaplah.” Ajakku sambil merapikan rambutnya kebelakang telinganya.

“Terima kasih Van.” Ucapnya tersenyum manis padaku. Pliss Mila, jangan tersenyum didepanku. Aku sangat membencimu, aku tidak ingin mencintaimu. Batinku. Aku melirik ke arah pintu kamarku, untunglah Ibu dan Adikku sudah tidak lagi menempel disana karena mengintipku dan Mila.

“Jangan terlalu senang. Aku tunggu dibawah.” Ucapku. “Oh iya, Satu lagi. jangan tersenyum padaku. Aku sangat tidak suka melihat senyummu itu.” Jelasku lalu berlalu pergi meninggalkannya.